Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah pertemuan selama 1 jam 40 menit, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry keluar dari ruangan Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki, didampingi anggota delegasinya, tanpa berkata apa pun. Tak ada keterangan resmi yang disampaikan kepada media seusai pertemuan di Bagdad itu. "Pertemuan tadi berjalan baik," kata Kerry singkat, sebelum masuk ke mobilnya ketika diantar Menteri Luar Negeri Irak Hoshiyar Zebari, Senin pekan lalu, seperti dilansir Reuters.
Kunjungan Kerry ke Bagdad merupakan lawatan darurat dan rahasianya ke Timur Tengah. Di tengah kondisi Irak yang sedang menghadapi serbuan kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), atau yang disebut juga Negara Islam di Irak dan Levant (ISIL), pengamanan terhadap rencana kunjungan Kerry diperketat. Jurnalis yang mengikuti perjalanan itu bahkan dilarang memberitakannya hingga pesawat militer C-17 yang membawa mereka dari Amman, Yordania, mendarat di bandara dekat Bagdad.
Dalam konferensi pers pada Senin petang, Kerry menekankan pentingnya membuat semua sekte dan agama di Irak merasa diinvestasikan dalam kepemimpinan negara itu. Kerry mendesak Maliki membentuk pemerintahan yang lebih inklusif dalam menghadapi pemberontak ISIS, yang kini sudah menguasai sebagian besar wilayah utara dan barat Irak.
Dalam 10 hari terakhir, ISIS telah menduduki Mosul, kota terbesar kedua di Irak, dan Tikrit. Beberapa kota lain juga sedang berada dalam gempuran mereka, termasuk kota perbatasan, seperti Qaim dan Turaibil. Kini ISIS dilaporkan tengah bergerak ke Bagdad, wilayah mayoritas kaum Syiah.
Jatuhnya kota perbatasan makin membuat posisi Maliki tertekan. Diperkirakan, ISIS akan lebih mudah memindahkan peralatan perang dari Irak ke Suriah dan sebaliknya melalui perbatasan itu.
Untuk merespons situasi tersebut, Maliki telah meminta Amerika membantu pemerintahnya memerangi milisi ISIS dengan serangan udara. Permintaan ini dia ajukan lewat Menteri Luar Negeri Hoshyar Zebari, yang mengungkapkannya kepada wartawan. Tapi Presiden Amerika Barack Obama tak langsung memenuhinya. Obama pekan lalu hanya sepakat mengirimkan sekitar 300 personel pasukan khusus yang akan bertugas semata sebagai penasihat militer. "Kami tak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah ini dengan mengirimkan ratusan ribu pasukan dan melakukan pembunuhan. Hal ini menjadi tugas pemerintah Irak untuk menyelesaikannya," katanya.
Sikap Obama itu membuat Maliki gusar. Sekutu dekat Maliki yang meminta namanya tidak dipublikasikan menjelaskan Maliki memendam kekecewaan terhadap penolakan Amerika memberikan dukungan militer.
Namun Obama benar bahwa penyelesaian masalah Irak adalah tugas Maliki. Banyak kelompok Sunni marah karena terpinggirkan secara politik oleh pemerintahan Maliki, yang didominasi kelompok Syiah. Mereka yang marah dan kecewa banyak yang memilih bergabung dengan ISIS.
Tekanan terhadap Maliki datang pula dalam rupa tuntutan agar meletakkan jabatan karena tak mampu mengatasi ISIS. Tuntutan datang, misalnya, dari ketua parlemen dari kelompok Sunni, Osama Nujeifi. "Milisi ISIS menimbulkan ancaman bagi seluruh dunia," kata Nujeifi, yang saudaranya menjabat Gubernur Mosul, yang direbut kelompok ISIS.
Desakan mundur juga datang dari ulama Syiah kenamaan Ayatullah Ali al-Sistani. Ulama yang sangat dihormati ini mendesak Maliki mendekati kelompok Kurdi dan muslim Sunni untuk mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
Meskipun seruan untuk pengunduran dirinya kian kencang, tak ada indikasi Al-Maliki akan melakukannya. Menurut The Guardian, juru bicara perdana menteri Zuhair al-Nahar justru menekankan Maliki tak akan mengundurkan diri "sebagai syarat dari permintaan kepada Amerika Serikat untuk serangan udara militer".
Mengenai permintaan Amerika itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Jen Psaki, mengatakan Washington telah mencatat ketidakpuasan yang ditunjukkan masyarakat Kurdi, Sunni, dan Syiah terhadap Maliki yang berasal dari Syiah. "Karena pemerintah yang berkuasa adalah kekuatan negara, mereka harus mewakili seluruh warga yang ada dan diterima semua kalangan," kata Psaki.
Washington berharap pemerintahan yang lebih inklusif di Bagdad akan memupus pemberontakan. Melalui Kerry, Amerika berusaha membujuk para pemimpin Kurdi di Irak mendukung Maliki. Tapi kelihatannya tak mudah. Saat bertemu dengan Kerry, Presiden Kurdi Massoud Barzani mengatakan persatuan dan kesatuan Irak sudah terancam. "Kita saat ini menghadapi kenyataan baru dan juga kemungkinan akan ada Irak baru," katanya.
Maliki sendiri sudah menegaskan komitmennya untuk membentuk pemerintahan baru pada 1 Juli mendatang serta menentukan ketua parlemen, perdana menteri, dan presiden Irak. Belum ada kepastian apakah dia akan menjabat perdana menteri untuk ketiga kalinya.
Rosalina (The Guardian, NBC News, RT.com, VOA News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo