Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pasal Berbeda Ganjaran Susi

Hakim pengadilan antikorupsi menghukum terdakwa kasus jual-beli putusan sengketa pemilihan kepala daerah, Susi Tur Andayani, dengan menerapkan pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa. Dua hakim menyatakan berbeda pendapat.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang sidang, wajah Susi Tur Andayani terlihat "datar-datar" saja. Tak terlihat gundah, tak terlihat tegang. Padahal, Senin pekan lalu itu, hakim tengah membacakan vonis untuknya. Selama sidang, terdakwa kasus jual-beli putusan sengketa pemilihan kepala daerah itu lebih banyak menyandarkan tubuh di kursi sembari memainkan jemarinya.

Sesekali dia duduk tegak dan membetulkan kacamatanya yang melorot serta merapikan jilbab ungunya. Ketika ketua majelis hakim Gosyen Butar Butar mengetukkan palu vonis lima tahun penjara plus denda Rp 150 juta, Susi hanya mendongakkan kepala sekilas dan menghela napas. Saat Gosyen bertanya tentang tanggapannya terhadap vonis itu, dia menjawab pendek, "Saya pikir-pikir dulu, majelis…."

Hakim memvonis Susi bersalah menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Lebak, Banten, dan pilkada Lampung Selatan. Menurut hakim, pengacara 43 tahun itu melanggar Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Putusan ini tak sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam sidang beberapa pekan sebelumnya, jaksa menuntut Susi penjara tujuh tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Tak cuma itu. Pasal yang digunakan majelis hakim pun berbeda dengan dakwaan yang diajukan jaksa.

Ketika mendakwa Susi pada Februari lalu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Avni Carolina, menuding Susi sebagai pihak yang turut menerima duit suap, bukan pemberi suap. Karena itu, jaksa menjerat perempuan yang akrab disapa "Uci" itu dengan dakwaan kumulatif Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Dalam sidang, hakim anggota Matheus Samiaji menyatakan hakim mempertimbangkan bahwa Susi secara jelas terbukti melakukan tindak pidana karena menjadi perantara suap Rp 1 miliar dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Chaeri Wardana alias Wawan, kepada Akil. Suap itulah yang membuat Akil memenangkan gugatan pasangan Amir Hamzah-Kasmin dalam sengketa pilkada Lebak. Akil menganulir putusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Lebak yang memenangkan pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi dan memerintahkan pencoblosan ulang. Amir Hamzah-Kasmin adalah "jago" yang didukung Atut.

Susi juga disebutkan terbukti menjadi perantara pemberian uang Rp 500 juta kepada Akil dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan. Uang setengah miliar rupiah itu dibayarkan agar Akil menolak gugatan yang diajukan tiga pasangan calon terhadap putusan KPU Lampung Selatan yang memenangkan calon Ricko Menoza-Eki Setyanto. "Dengan demikian, unsur sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan telah terpenuhi menurut hukum," ujar hakim Matheus.

Namun tak seluruh majelis berpendapat sama. Dua dari lima anggota majelis menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion. Hakim Sofi Aldi dan Alexander Marwata menilai dakwaan yang disusun jaksa terhadap Susi kabur. Menurut Sofi, Susi seharusnya dibebaskan karena dakwaan sebagai penerima suap tak terbukti di persidangan. Sedangkan Alexander menuding jaksa ceroboh karena menerapkan pasal yang tak tepat dalam dakwaan. "Tidak tertutup kemungkinan ke depannya penuntut akan membuat dakwaan asal-asalan dengan pertimbangan majelis hakim akan memperbaikinya di pengadilan. Maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut," ujar Alexander.

Menanggapi putusan Susi ini, jaksa penuntut Edy Hartono menyatakan banding. Menurut Edy, putusan itu membuktikan ada cara pandang yang berbeda antara jaksa dan hakim dalam melihat peran Susi. "Terdakwa (Susi) melekat pada Akil dan bukan pada pemberi sebagaimana vonis hakim," kata Edy.

l l l

Perubahan pasal yang dilakukan hakim dalam putusan Susi Tur Andayani mengundang polemik. Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bondan, mengatakan putusan itu berisiko. Susi, menurut dia, dapat lolos di tingkat banding dengan konstruksi putusan seperti ini.

Merujuk pada Pasal 182 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ganjar mengatakan putusan hakim seharusnya berlandaskan dakwaan jaksa dan fakta persidangan. Menurut Ganjar, hakim tak boleh berinisiatif mencari pasal lain meski Susi terbukti melakukan tindak pidana. Untuk tetap menjerat Susi, kata dia, seharusnya hakim dalam putusannya memerintahkan jaksa melakukan penuntutan baru atau memulai penyidikan baru. "Kalau orang didakwa mencuri tapi ternyata di persidangan dia terbukti membunuh, hakim tidak boleh memvonis dia dengan pasal pembunuhan," ujarnya kepada Tempo.

Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan mengapresiasi putusan hakim itu. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, ini menunjukkan ada kesamaan cara pandang antara KPK dan majelis hakim, yaitu kesepakatan ada tindak pidana. Hanya, dia menunjuk ada perbedaan dalam memandang peran Susi. Bambang berkukuh bahwa konstruksi hukum yang diajukan jaksanya benar.

Bambang mengatakan, dalam penggunaan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jaksa KPK sadar betul pasal itu secara spesifik diperuntukkan kepada hakim. Namun KPK melihat Susi sebagai perpanjangan tangan Akil. Alasannya, Susi sudah lama kenal Akil. Kedua, Susi pernah lama bekerja di kantor pengacara Akil di Pontianak. Selain itu, menurut Bambang, tidak cuma sekali Susi mewakili kepentingan Akil.

Dari fakta persidangan, peran Susi sebagai orang yang mewakili Akil jelas terlihat. Dalam rekaman pembicaraan antara Akil dan Susi yang pernah diputar jaksa, misalnya, Akil memerintahkan Susi meminta Atut menyiapkan uang Rp 3 miliar untuk pengurusan pilkada Lebak. Hal ini, kata Bambang, menunjukkan peran aktif Akil terhadap Susi. "Ada peran aktif ke Susi. Kalau menggunakan pasal 6, jelas salah karena pemberinya yang aktif, bukan penerimanya."

Susi juga aktif melobi agar Wawan mau memberi tambahan uang muka yang akan diserahkan kepada Akil. Lobi ini terjadi lantaran Wawan awalnya hanya memberi uang sebesar Rp 1 miliar sebagai persekot dari nilai Rp 3 miliar yang disepakati, sedangkan Susi meminta tambahan Rp 300-500 juta. Bahkan Susi menyebut Akil sebagai bos. "Tambahin ajalah, 500 atau 300. Jadi enggak satu aja. Nanti sisanya, saya bilang, ini beliau SMS-kan, sisanya nanti saya tagihin setelah pada menang. Saya bilang gitu sama bos saya itu," begitu bunyi percakapan antara Susi dan Kasmin, calon Wakil Bupati Lebak. Dalam persidangan, Susi pun mengaku sudah lama mengenal Akil. Dia sempat bekerja di kantor hukum Akil di Pontianak pada 1996. Dia juga mengatakan sempat bermukim di kediaman Akil saat itu.

Bukti lain bahwa, menurut KPK, Susi merupakan bagian jaringan mafia hukum yang didalangi Akil adalah soal aliran dana pengacara itu ke Akil. Susi diduga berperan sebagai penagih dan pengepul uang untuk disetorkan ke Akil. Dalam kasus pilkada Lebak, misalnya. KPK menemukan uang Rp 1 miliar itu di kediaman orang tua Susi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Akil saat itu memang belum mau menerima uang tersebut karena tak sesuai dengan kesepakatan awal sejumlah Rp 3 miliar.

Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menunjukkan hal serupa. Susi dua kali menyetorkan uang ke rekening perusahaan yang dijalankan istri Akil, Ratu Rita, CV Ratu Samagat. Nilainya masing-masing Rp 250 juta dengan keterangan pembayaran kelapa sawit dan pembayaran tagihan. Uang itu diberikan secara bertahap oleh Ricko kepada Susi sebelum akhirnya diserahkan ke Akil. Dugaan bahwa uang tersebut merupakan pembayaran pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan itu muncul lantaran KPK menemukan salah satu transfer Susi kepada Akil tepat beberapa hari setelah Akil memutus kemenangan Ricko Menoza-Eki Setyanto.

Dalam persidangan, Susi membantah tudingan bahwa uang itu biaya pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan. Menurut dia, uang itu berasal dari seorang rekannya, Sugiarto, dan merupakan pembayaran utang. Namun dugaan KPK bahwa uang ini adalah suap terbukti dari keterangan Eki, yang mengaku pernah memberi Rp 100 juta kepada Sugiarto dengan dalih sebagai biaya operasional.

Fakta persidangan itu, menurut Bambang, menjadi bukti kuat bahwa Susi adalah pihak yang menjadi bagian dari penerima suap. Meski dari segi hukumannya KPK menilai vonis hakim sudah cukup baik karena mengabulkan lebih dari dua pertiga tuntutan jaksa, Bambang mengatakan tetap akan melakukan banding. Tujuannya, "Untuk meluruskan pandangan bahwa dia bagian dari penerima suap," ujarnya.

Febriyan, M. Rizki Gaga, Aisha Saidra


Berubah di Tangan Hakim

Pasal yang didakwakan:

Pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Pasal yang dipakai hakim:

Pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Ayat 1: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus