Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAK-SURIAH
'Jihadis' ISIS dari Indonesia

Kelompok militan sempalan Al-Qaidah, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), dikabarkan merekrut anggota dari negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Saat ini diperkirakan ada 60 warga Indonesia yang telah pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan kelompok Sunni radikal itu, dan diyakini akan tumbuh cepat hingga mendekati 100 orang.

Pertumbuhan ini terjadi akibat tak adanya hukum yang melarang orang Indonesia bergabung dengan kelompok militan asing dan organisasi Islam yang secara terbuka menggalang dana untuk kelompok militan yang juga dikenal dengan sebutan Negara Islam di Irak dan Levant (ISIL) itu. "Pemerintah harus membuat undang-undang berisi hukuman bagi warga yang mendukung dan bepergian ke luar negeri untuk bergabung dengan kelompok teroris," kata Rohan Gunaratna, pakar terorisme di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura, seperti dilansir Channel News Asia, pekan lalu.

Dia menekankan Indonesia perlu melihat Malaysia yang sudah lebih dulu aktif menahan puluhan pria yang ingin berperang ke Suriah pada April lalu. Upaya ini pun tak sepenuhnya berhasil karena ada pemuda berusia 26 tahun yang berhasil pergi ke Irak. Di sana dia melakukan aksi bom bunuh diri, yang menewaskan 25 tentara.

Isu "legiun" asing dalam tubuh ISIS sejauh ini merupakan fokus kekhawatiran negara-negara Barat. Menurut data kelompok intelijen yang berbasis di New York, Soufan Group, dalam tiga tahun terakhir terdapat sekitar 12 ribu pemuda dari berbagai negara yang bepergian ke Suriah dan Irak untuk ikut "berjihad". Sekitar 2.000 orang disebutkan berasal dari Eropa. Mereka yang kembali ke negaranya dipandang berpotensi menimbulkan masalah keamanan.

Ahli tindak terorisme dari Institut Pembangunan Perdamaian Internasional, Taufik Andrie, mengatakan Indonesia seharusnya khawatir terhadap ancaman dari mereka yang pulang. Ada kemungkinan mereka akan melakukan tindak kekerasan baru yang bisa mengancam keamanan Indonesia.

"Ketika kembali, mereka akan dipandang sebagai jihadis dengan kemampuan tinggi. Para pemuda akan mendatangi mereka untuk berlatih dan membentuk kelompok baru buat merencanakan serangan, bahkan belajar cara membuat bom," ujarnya.

NIGERIA
Boko Haram Kembali Culik 60 Gadis

Kelompok militan Boko Haram kembali menculik 60 gadis, termasuk anak-anak, dan menewaskan 30 pria dalam sebuah serangan di desa sebelah timur laut Nigeria. Para penculik yang berpakaian seperti tentara dan bersenjata itu menyerbu desa di Kummabza, sekitar 95 kilometer dari ibu kota Negara Bagian Borno, Maiduguri, pada Rabu dua pekan lalu. Mereka menyandera semua penduduk desa selama empat hari.

Pejabat pemerintah daerah setempat mengatakan, setelah menembak mati 30 pria dewasa di desa itu, milisi Boko Haram menjarah bahan makanan, membawa pergi 60 gadis, lalu membakar desa dengan bensin dan bahan peledak. Puluhan gadis yang diculik itu rata-rata berusia 3-12 tahun.

Informasi tentang penculikan gadis ini terlambat diberitakan karena kelompok Boko Haram menghancurkan menara telekomunikasi di tempat tersebut. Berita penculikan baru diketahui ketika para penduduk mulai meninggalkan desa setelah pemberontak mundur.

"Mereka membuat desa terbakar lalu pergi setelah menjarah seluruh bahan makanan dari lumbung kami," kata pejabat setempat yang meminta namanya dirahasiakan, seperti dilansir CNN, Selasa pekan lalu.

Abba Aji Khalili, pemimpin Maiduguri, mengatakan penduduk yang selamat harus berjalan ke desa terdekat, Lassa, yang berjarak 25 kilometer, dan Kota Madagali sebelum masyarakat luas tahu apa yang telah terjadi. "Mereka menghadapi tantangan kemanusiaan yang serius karena mereka tidak punya akses mendapat makanan, air, dan tempat tinggal," ujarnya.

Wilayah timur laut Nigeria merupakan basis Boko Haram, kelompok Islam militan yang menculik 200 gadis pelajar pada 15 April lalu di Kota Chibok. Boko Haram ingin memberlakukan syariat Islam di seluruh Nigeria.

MESIR
Wartawan Al Jazeera Dipenjarakan

Pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada tiga wartawan Al Jazeera yang dituduh bersalah menyebarkan berita palsu dan terlibat dengan "organisasi teroris". Mereka yang dijatuhi hukuman adalah warga Australia, Peter Greste, dan warga negara Kanada-Mesir, Mohamed Fahmy, yang menjabat Kepala Biro Al Jazeera berbahasa Inggris.

Seorang lainnya adalah Baher Mohamed, produser Al Jazeera berkewarganegaraan Mesir. Dia divonis hukuman tambahan tiga tahun atas dakwaan terpisah, termasuk tuduhan kepemilikan senjata.

"Saya bersumpah mereka akan membayar ini," teriak Mohamed Fahmy dengan nada marah seusai putusan, seperti dilansir The Guardian, Senin pekan lalu.

Ketiga terdakwa akan mengajukan permohonan banding, meskipun mereka tak percaya pada sistem peradilan Mesir. "Semuanya sudah rusak di sini," kata Adel, salah satu anggota keluarga Fahmy.

Tiga wartawan itu ditahan sejak 29 Desember tahun lalu atas tuduhan menyebarkan berita palsu dan memiliki hubungan dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang dicap sebagai organisasi teroris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus