Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setengah Ransum Satu Kepala

Pyongyang dan Washington bertikai keras tentang nuklir, sementara jutaan rakyat Korea Utara terancam kelaparan.

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahkan pada tengah hari bolong, Pyongyang sunyi senyap seperti kota yang disatroni penyamun. Beberapa orang bergegas dengan wajah kaku melintasi sudut-sudut kota. Sesekali derap sepatu serdadu yang berbaris sedikit menghidupkan suasana. Tapi tanda-tanda kehidupan di Pyongyang sesungguhnya baru terasa saat sirene meraung saban pukul tujuh pagi, siang, dan malam. Ini sirene untuk mengatur jadwal makan, kerja, dan tidur penduduk kota. Lalu pada setiap pukul 08.15 pagi, sekelompok marching band remaja akan memainkan lagu-lagu patriotis untuk membangkitkan semangat warga memulai hari. Rutinitas itu agak berubah pada Selasa pekan silam. Hari itu ribuan penduduk Pyongyang—ibu kota Korea Utara—mengalir ke jalan-jalan. Mereka tidak sedang mendemo Presiden Kim Jong-il. Mereka justru memberi semangat kepada sang pemimpin yang sedang mengalami halusinasi ketakutan diserang Amerika Serikat. Serangan itu belum terjadi dan boleh jadi tak akan pernah tiba. Tapi ada serangan lain yang jauh lebih menyeramkan yang kini sedang dihadapi negeri itu: bahaya kelaparan. Pada 5 Januari lalu, Badan Pangan PBB (World Food Program) memberi ancang-ancang bahwa sekitar 7 juta penduduk atau sepertiga dari 23 juta populasi Korea Utara sedang di ambang krisis. Jika tak ada pasokan bantuan hingga awal Februari, jutaan penduduk bisa-bisa mati kelaparan. "Stok beras tinggal 35 ribu ton dan akan habis pada awal Februari," kata Gerald Bourke, juru bicara Badan Pangan PBB di Beijing. Badan Pangan sendiri tak bisa lagi menyuplai bantuan karena sedang seret dana. Ada saudara serumpun di Korea Selatan yang selama ini rajin mengirim bantuan. Tapi mereka menyetopnya sejak dua bulan lalu, setelah Pyongyang mengakui punya program nuklir. Jepang sebetulnya bisa memberi bantuan. Tapi ada ganjalan: Jepang menuduh pihak Korea Utara telah menculik warganya. Nah, bantuan makanan hanya akan dikirim bila Pyongyang bersedia mengakui sudah lancang menculik warga Jepang. Aneka tekanan politik yang menghalangi datangnya bantuan ini membuat rakyat betul-betul kelaparan. Setiap orang hanya dijatah 270 gram padi per hari lewat sistem distribusi. Jumlah ini sama dengan separuh dari standar ransum darurat. Sudah berlangsung selama satu dekade, kelaparan di Korea Utara bukanlah cerita baru. Bangkrutnya Uni Soviet yang menjadi panutan komunis dunia turut memporak-porandakan ekonomi Korea Utara. Maklum, Soviet adalah mitra dagang utama Korea Utara. Celakanya, ketika Rusia dan Cina mulai mereformasi ekonomi dengan mengadopsi sistem pasar, Korea Utara di bawah Pemimpin Besar Kim Il-sung justru kian kencang mendekap filosofi Junche alias percaya pada diri sendiri. Saking percaya dirinya, negara itu mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Sistem ekonomi dan politik dikontrol ketat. Tidak ada investasi asing dan perusahaan partikelir. Sedangkan anggaran untuk militer gila-gilaan besarnya. Kebijakan ini makin menggiring Korea Utara menuju jurang kemacetan ekonomi. Pyongyang sebenarnya sempat membuat eksperimen model pasar bebas yang menjiplak reformasi ekonomi Cina pada tahun 1980-an. Caranya dengan membangun zona ekonomi khusus Rajin-Sunbong di dekat perbatasan Rusia. Di zona ini berlaku sistem keuangan internasional, perdagangan, industri, pusat hiburan, dan turisme. Tapi zona bisnis ini gagal menarik minat investor asing akibat infrastruktur yang tak memadai. Ketika Kim Il-sung wafat pada 1994, putranya, Kim Jong-il, mengambil alih kekuasaan. Dia menjadi presiden sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis. Di bawah sang Putra Mahkota, perbaikan tak kunjung terjadi. Apalagi, di tengah kehidupan ekonomi yang senin-kamis, Pyongyang terus menggenjot program senjata nuklir yang menghabiskan biaya besar. Maka kelaparan dan kurang gizi pun mulai merajalela. Pada pertengahan 1990-an, sekitar dua juta orang mati kelaparan—belum lagi kesusahan hidup yang datang dari bencana alam. Harga makanan membalap harga anggur buatan Korea. Akibatnya, jumlah pemabuk pun meningkat. "Saya melihat banyak korban alkohol di rumah sakit, karena hanya itu kesenangan yang bisa mereka peroleh," kata Vollersten, dokter relawan asal Jerman yang bekerja di rumah sakit Pyongyang selama 18 bulan. Kondisi rumah sakit amat memprihatinkan. Listrik hanya hidup dua jam sehari, pasien kedinginan dan kurang makan. Pemerintah sempat mendirikan pabrik makanan alternatif berupa mi yang dihasilkan dari campuran 40 persen tepung beras dan 60 persen ranting, daun, dan kulit kayu. Tapi apa akibatnya? Makanan ini justru sering menimbulkan diare, disentri, dan pendarahan. Bantuan pangan sempat mengalir dari Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Tapi ekonomi yang morat-marit, kemarau panjang, dan banjir besar berturut-turut pada 1995, 1996, 1997, mengakibatkan gagal panen 50 persen. Badan Pangan PBB sampai mengajukan permintaan bantuan makanan US$ 378 juta (sekitar Rp 3,7 triliun). Ini sumbangan paling besar yang dikeluarkan Badan Pangan PBB setelah bencana kelaparan di 10 negara Afrika bagian selatan pada 1992. Sejak tahun 1995, Korea Selatan—lewat "kebijakan matahari terbit"—telah mengirimkan pangan senilai US$ 100 juta. Di samping itu, mereka juga menyumbangkan ratusan kambing, makanan ternak, alat tulis, dan pakaian. Bahkan 10 peralatan karaoke yang berisi program lagu Barat dan lagu pop Korea Selatan turut diluncurkan ke Utara. Sayang, bantuan ini tak menjamah penduduk pedesaan. Dokter Vollersten menyaksikan bagaimana anak-anak tergeletak sekarat di jalan-jalan pedesaan. "Masa depan Korea Utara amat suram. Anak-anak menanggung lapar hingga nyawa mereka terenggut," kata Kim Dong-su, pelarian Korea Utara yang kini menetap di Seoul. Anak-anak, perempuan hamil, dan penduduk berusia lanjut adalah kelompok yang paling menderita karena kekurangan makanan. Statistik pemerintah menunjukkan 45 persen balita mengalami kekurangan gizi. Sebanyak empat juta anak usia sekolah rusak pertumbuhan fisik dan mentalnya karena asupan gizi yang jauh di bawah standar. Karena itu, Badan Pangan PBB terpaksa melebarkan bantuan dari anak-anak 6 tahun hingga di bawah 12 tahun. Kelaparan juga mencengkeram 500 ribu perempuan hamil. Solusi terhadap prahara kelaparan ini makin tertutup karena pemerintah Korea Utara bertahan dengan pengembangan nuklir. Sedangkan pihak AS, Korea Selatan, serta sejumlah negara Barat bertahan tidak mengirimkan bantuan selama Kim Jong-il masih keras kepala dengan urusan nuklir. Dan yang membayarnya adalah: anak-anak dan warga yang tak berdosa. Di Korea Utara, bencana kelaparan kini jauh lebih nyata daripada ancaman perang nuklir. Raihul Fadjri (The Independent, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus