Bagaimana masa depan Maroko tanpa Raja Hassan II? Ini pertanyaan yang agak sulit dijawab, melihat sang Putra Mahkota, Pangeran Sidi Mohammed, yang menggantikan ayahnya itu dikenal sebagai seorang playboy, suka keluyuran ke klub malam, dan gemar balap mobil. Meski Sidi, 35 tahun, yang masih bujangan ini adalah sarjana hukum lulusan sebuah universitas di Prancis dan menguasai tiga bahasa asing, pengaruh dan popularitas ayahnya di dalam negeri dan di dunia internasional tampaknya akan sulit ditandingi.
Lihatlah para pelayat yang menghadiri pemakaman ayahandanya. Presiden Clinton memboyong Hillary Clinton, Chelsea Clinton, bekas menteri luar negeri Warren Christopher, dan bahkan bekas presiden George Bush, menunggang Air Force I, terbang ke Maroko. "Timur Tengah telah kehilangan salah satu tokoh perdamaian terbesar. Demi kehormatannya, kita harus kembali mendedikasikan diri untuk cita-citanya: sebuah perdamaian akhir bagi semua anak-anak Timur Tengah," ujar Presiden Clinton. Tak kurang dari Presiden Jacques Chirac, Pangeran Charles, Raja Juan Carlos, Presiden Hosni Mubarak, Presiden Yasser Arafat, Presiden Ezer Weizman dari Israel, Perdana Menteri Ehud Barak, dan sejumlah utusan kepala negara lainnya ikut menghadiri pemakaman.
Kematian Raja Hassan II, dalam usia 70 tahun, Sabtu dua pekan lalu itu—akibat serangan jantung—mengejutkan dunia internasional. Reputasinya dalam diplomasi internasional memang tak diragukan. Hassanlah yang pertama kali mencomblangi pertemuan rahasia antara Mesir dan Israel—kemudian berhasil memboyong (almarhum) Presiden Anwar Sadat dalam penerbangan bersejarah ke Israel pada Mei 1977 untuk bertemu dengan seterunya, Perdana Menteri Menachem Begin. Dua tahun kemudian, Perjanjian Camp David ditandatangani, yang menandai berakhirnya permusuhan Mesir-Israel.
Hassan pulalah yang bertemu dengan (almarhum) Yitzhak Rabin dan Simon Peres pada 1980, dan akhirnya mempertemukan kedua pemimpin Israel itu dengan Yasser Arafat dalam Perjanjian Oslo pada 1993. Meski hingga saat ini Maroko belum sepenuhnya memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, kedekatan Hassan dengan Israel sudah menjadi rahasia umum.
Popularitas Hassan di dunia internasional tak diragukan. Harian The New York Times menjulukinya "Man in the News". Hassan II mewarisi takhta dari ayahnya, Raja Mohammed V, pada 1961. Rakyat Maroko menyebutnya orang yang memiliki "baraka" (karisma). Tapi oleh musuh politiknya ia dituding sebagai seorang despot yang kasar. Ia sempat memerintah secara absolut dengan diberlakukannya keadaan darurat hingga konstitusi baru terbentuk pada 1970. Pada masa itu, banyak mahasiswa dan kaum oposisi yang ditangkap dan dieksekusi. Tokoh oposisi yang selamat lari ke luar negeri, tapi beberapa di antaranya diculik dan hilang hingga kini.
Tak berlebihan jika Hassan menghadapi dua kali percobaan pembunuhan. Salah satu upaya percobaan pembunuhan terjadi ketika 1.000 anggota pasukan bersenjata lengkap—sebagian besar adalah mahasiswa akademi militer—menyerbu istananya saat pesta ulang tahunnya yang ke-42 pada Juli 1971. Hassan bersembunyi di kamar mandi ketika pasukan yang loyal kepadanya menumpas penyerbu.
Sejak saat itu, gaya kepemimpinan Hassan agak berubah. Ia menerima kehadiran kelompok oposisi dan memberikan kebebasan pers yang relatif baik. Tapi tetap saja ia mengharamkan kritik terhadap keluarga istana. Belakangan, ia memperkenalkan "Demokrasi ala Hassan" dengan memberikan kebebasan politik yang lebih luas. Bahkan, setelah pemilu tahun lalu, Hassan menunjuk pemimpin partai sayap kiri, Abdurrahman Youssufi, selaku perdana menteri. Youssufi selama sembilan tahun menjalani tahanan rumah atas perintah Hassan.
Sikap politik bergaya moderat dan reformasi politik belakangan ini tampaknya akan diteruskan oleh Pangeran Sidi Mohammed. Ia diduga akan menjaga jarak dengan penasihat ayahnya, Driss Basri, yang menjabat selaku menteri dalam negeri selama 20 tahun. Basrilah yang menelurkan kebijakan garis keras ayahnya terhadap kelompok sayap kiri dan kelompok Islam yang beroposisi. Kedua kelompok ini sebelumnya diharamkan membentuk partai politik. Sidi juga mengambil sikap yang lebih egaliter, misalnya menolak kebiasaan mencium tangan raja sebagai wujud kesetiaan.
Tapi, di balik citra yang lebih demokratis itu, Sidi mewarisi persoalan serius, yakni pengangguran dan buta huruf. Secara resmi, tingkat pengangguran di negeri itu 25 persen, tapi angka nyatanya bisa dua kali lipat. Karena itu, Sidi diharapkan lebih serius menangani negaranya.
R. Fadjri (Reuters, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini