Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

PDI-P Menolak Amendemen UUD?

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DR. Dimyati Hartono, Ketua DPP PDI Perjuangan, seperti yang ditulis dalam Suara Pembaruan, 23 Juli 1999, menyatakan sikap PDI Perjuangan yang menolak amendemen UUD 1945 dengan alasan-alasan:

  1. Dibutuhkan pemikiran yang mendalam

  2. Banyak mengandung filosofi, ideologi negara, dan cita-cita bangsa

  3. Berisi sistem sosial, budaya, ekonomi, dan hukum.

Setelah membaca berulang-ulang alasan-alasan itu, saya mendapat kesan bahwa PDI-P sebenarnya tidak menolak amendemen UUD 1945. UUD 1945 dapat diubah tapi produknya nanti berupa undang-undang. Hasil amendemen itu tidak menjadi bagian integral dari UUD 1945, seperti amendemen-amendemen konstitusi Amerika Serikat. Kedua, perubahan itu bersifat partial, selektif, dan tidak boleh menyinggung Pancasila.

Memang di Amerika sendiri pernah ada sikap yang disebut adoration of constitution atau cult of constitution, yaitu sikap yang mendewakan konstitusi karena menganggapnya dokumen sakral yang tidak boleh diganggu gugat—seolah-olah UUD itu kitab suci. Saya tidak tahu apakah Dr. Dimyati menganut aliran cult of constitution atau adoration of constitution ini.

Saya yakin Dr. Dimyati tidak bermaksud mengatakan tidak boleh mengamendemen UUD 1945. Mungkin beliau setuju amendemen UUD 1945, cuma beliau khawatir, kalau isu amendemen diluncurkan, akan terjadi tuntutan untuk mengamendemen UUD 1945 secara keseluruhan, termasuk Pancasila, sebagaimana yang terjadi di masa konstituante dulu. Dan kalau sampai terjadi seperti yang dikhawatirkan itu, kemacetan bernegara dan berbagai hal yang tidak dikehendaki akan terjadi, misalnya disintegrasi wilayah dan separatisme. Pada masa konstituante dulu, ketika konstituante mengalami kemacetan dalam merumuskan UUD baru pengganti UUDS RI 1950, sedangkan kemelut pemberontakan, khususnya DI/TII, belum teratasi, maka Presiden Soekarno didesak ABRI untuk mendekritkan kembali ke UUD 1945, yang sebenarnya sudah lama tidak berlaku. Tapi mengapa kembali ke UUD 1945? Mengapa tidak memberlakukan terus UUDS RI 1950, yang jauh lebih lengkap daripada UUD 1945?

Jawabannya ialah, dalam keadaan genting seperti dialami waktu itu, diperlukan adanya presiden yang kekuasaannya luas sebagaimana dimungkinkan oleh UUD 1945. Hal itu dimanfaatkan benar-benar oleh orang-orang sekitar Bung Karno untuk menumpuk kekuasaan di tangan presiden. Kita masih ingat contoh-contoh sebagai berikut.

Bung Karno dielu-elukan sebagai presiden seumur hidup dan ternyata ini memang dimungkinkan oleh UUD 1945. Jabatan seperti ketua MPR(S) dan panglima-panglima angkatan diberi label menteri, sedangkan menteri adalah pembantu presiden. Jadi lucu, MPR yang merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat disubordinasikan kepada presiden. Dengan demikian, seluruh kekuasaan negara dimonopoli oleh presiden. Jadilah presiden itu orang yang otoriter dan sewenang-wenang atau dimanfaatkan oleh pejabat-pejabat untuk bertindak sewenang-wenang.

Orde Baru, di bawah Soeharto, bahkan lebih meningkat. Soeharto memerintah hampir seumur hidup, dengan filsafat gebuk. Andaikata Pak Harto bisa bertahan sampai berusia seratus tahun, barangkali sampai tahun 2022, setelah berusia hampir 80 tahun, RI hanya punya dua presiden, yaitu Bung Karno dan Soeharto. Orang yang terlalu lama berkuasa cenderung menjadi korup. Putra terbaik Indonesia seperti Syahrir (era Soekarno) dan banyak di era Suharto tewas di penjara kedua pemimpin Indonesia ini atau tidak lama sesudah keluar dari penjara BK dan HMS.

Karena itu, hendaklah dijauhi sikap cult constitution atau adoration of constitution (mendewakan konstitusi). Tapi juga harus dihindari keinginan untuk mengubah UUD hanya karena alasan sepele atau alasan egoisme golongan atau agama.

CORNELIS A. BOEKY
Rancho Indah, Jalan Tanjung 26/H-7
Tanjungbarat, Pasarminggu
Jakarta 12530

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus