WARTAWAN Richard Dudman dari koran St Louis Post, Missouri,
Amerika, salah satu dari beberapa wartawan Barat pertama yang
mengunjungi Kamboja sejak negeri itu dikuasai komunis, April
1975. Berada di Kamboja selama 2 pekan, melakukan perjalanan
sejauh hampir 2000 kilometer, Dudman hampir saja menjadi sasaran
peluru teroris tak dikenal pada dinihari 23 Desember. Sedikit
petikan dari laporannya mengenai kejadian yang mengerikan itu.
Kami menginap di sebuah perumahan pemerintah ketika serangan itu
terjadi. Kunjungan dua pekan kami sudah hampir berakhir, dan
esoknya kami akan terbang ke Peking. Jam 01.55 waktu setempat,
tembakan pertama terdengar. Dalam menit-menit berikutnya seorang
bersenjatakan pistol dan senapan mesin memuntahkan peluru ke
arah saya dalam jarak dekat. Pistol diarahkan ke Elizabeth
Becker dan Malcolm Caldwell mati tertembak.
Seorang teroris tertinggal mati di pintu terbuka Caldwell.
Kepalanya tertembus peluru, pistol dan senapan mesin di sisinya.
Pihak pemerintah menyebut 3 teroris memasuki gedung bertingkat
dua yang kami tempati di jalan Monivong 22, bagian kota yang
ditinggalkan. Seorang pgabat pemerintah mengatakan teroris yang
tertinggal mati itu membunuh dirinya sendiri. Orang kedua
tertangkap, sedang seorang lagi berhasil lari. Yang mati itu
menembak kepalanya sendiri setelah membunuh Caldwell. Di pihak
pemerintah, dua pembantu luka-luka dan seorang prajurit tewas.
Tioun Prasith, seorang pejabat Deplu, menggambarkan penembakan
itu sebagai "tindakan politik untuk mendiskreditkan kami di mata
dunia," serta memperlihatkan bahwa "kami tidak bisa
mempertahankan keselamatan kawan-kawan kami." Katanya, teroris
itu mengetahui arti penting kunjungan tiga orang Barat tersebut,
dan bahwa pembunuhan atas diri mereka akan sangat merusak nama
Kamboja.
Kejadian itu menimbulkan pertanyaan, apakah Kurt Waldheim,
Sekjen PBB, akan melanjutkan rencana kunjungannya ke Kamboja
Januari. Juga rencana normalisasi hubungan Phnom PenhBangkok
dipertanyakan setelah kejadian ini.
Caldwell, 47 tahun, pengajar sejarah ekonomi Asia Tenggara di
Universitas London. Dia juga editor Journal of Contemporary Asia
dan penulis buku teri bitan 1973, Cambodia in the Southeast
Asian War. Menlu Kamboja, Ieng Sary, dalam upacara singkat
sebelum jenazah , Caldwell diterbangkan ke Peking, menyebut
sarjana Inggeris itu sebagai sahabat Kampuchea, nama resmi
negara tersebut. "Caldwell bekerja menyempurnakan hubungan
Kampuchea dan dunia," katanya.
Nona Becker, wartawan Washington Post, yang pertama melihat
salah satu penyerang itu. Mendengar tembakan, ia keluar dari
kamarnya yang berada di tingkat bawah. Tiba-tiba ia menemukan
dirinya berhadapan dengan para penyerang yang berbaju kaos
hitam. Orang itu bersenjatakan pistol dan senapan mesin serta
berselempang peluru. Ia menodongkan pistol ke arah Elizabeth.
"Tidak, jangan," teriak perempuan itu. Ia lari masuk kembali ke
kamarnya, menutup pintu dn bersembunyi di kamar mandi.
Saya sendiri -- tidur di tingkat atas - terbangun oleh suara
tembakan yang rasanya dari rumah sebelah. Melalui jendela
terlihat orang-orang lari hilir mudik di sekitar rumah. Paling
sedikit seorang saya lihat membawa pistol. Berkesimpulan bahwa
pengacau sudah terusir, saya keluar ke arah kamar Caldwell dan
mengetuk pintunya. Ia membukanya. Lampu kamarnya menyala. Saya
sarankan agar lampu dimatikan dan supaya kita tetap dalam kamar.
Saya kembali ke kamar saya. Di ujung jalan di belakang rumah,
terlihat seorang anak muda membawa 3enapan mesin dan sepucuk
pistol, sedang di tubuhnya melilit peluru. Saya segera menutup
pintu, tapi ia melihat saya dan menembak dari jarak 20 kaki.
Saya meloncat ke dalam, menutup pintu dan tiarap di lantai
setelah mematikan lampu. Ia menembak pintu dua kali.
Tiarap dalam kamar yang gelap saya merasakan ketakutan yang
sebelumnya belum pernah saya alami. Saya tak tahu apa yang
terjadi atas diri teman-teman saya. Kami semua setiap saat bisa
terbunuh, begitu yang terfikir saat itu. Selama menanti sebelum
datangnya pejabat pemerintah, saya berkesimpulan bahwa sebuah
perebutan kekuasaan sedang terjadi. Andai kata betul demikian,
tidak ada kekuasaan yang bisa melindungi dan mengeluarkan kami
dari Kamboja.
Setelah satu setengah jam, beberapa orang berjalan masuk ke
halaman. Beberapa menit kemudian pintu saya diketok. Tiga
pejabat pemerintah berdiri di sana ketika pintu saya buka.
Mereka tersenyum, mencoba meyakinkan saya sebelum memeriksa
seluruh penjuru kamar. Seluruh rumah diperiksa.
Baru beberapa jam kemudian Prasith tiba. Ia menjelakan bahwa
Nona Becker selamat, tapi Caldwll tewas. Kami berdua diminta
datarlg menyaksikan jenazah. Malam itu juga kami dipindahkan ke
tempat lain. Di sana kam,i sibuk menulis pernyataan hingga pagi.
Pejabat di sana menjelaskan bahwa kami dijaga tiga tentara.
Dijelaskan pula bahwa sejam setelah terjadinya tembakan, pasukan
pemerintah mengepung rumah penginapan kami hingga datang pejabat
yang lebih tinggi. Teroris yang tertangkap itu masih berkeliaran
di rumah atau di kebun ketika pasukan pemerintah datang.
Prasith menjelaskan bahwa penyerang yang tertangkap atau yang
mati, semuanya tidak dikenal identitasnya. Ia menggambarkan
orang-orang itu sebagai agen musuh. Yang mati nampaknya orang
Kamboja. Menlu leng Sary berjanji akan menelpon isteri Caldwell
dan akan mengundangnya ke Peking supaya bisa menyertai jenazah
suaminya dalam penerbangan ke London.
Kejadian itu nampaknya akan menunda berduyun-duyunnya pengunjung
Barat ke Kamboja. Tapi ketika berkendaraan ke lapangan terbang
Pocenthong, kami melihat sejumlah sedan mengangkut tamu yang
baru saja mendarat. Mereka itu tiba dengan penerbangan mingguan
dari Peking dan kelihatan tidak begitu sadar akan tragedi yang
baru terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini