TIDAK mengejutkan Presiden Boumedienne meninggal. Umurnya 51. Ia
sudah terbaring di tempat tidur khusus di rumah sakit Mustafa
sejak 18 Nopember. Empat puluh dokter dari pelbagai negeri yang
merawatnya sudah putus asa. Mingguan Algerie Actualite yang
diterbitkan oleh koran Al Moudjahid sudah beberapa lama
menyerukan agar rakyat bersiap menghadapi "kesukaran"kalau nanti
Houari Boumedienne meninggalkan kehidupan publik.
Dan rakyat memang nampaknya siap, bahkan menunggu. Mereka, yang
tak mendapat keterangan yang jelas dari sumber resmi tentang
keadaan presiden mereka, setiap kali mendengarkan siaran dari
Monte Carlo atau kota Eropa lain. Percakapan tentang apa yang
bakal terjadi bila Boumedienne tak ada lagi dibisikkan di
mana-mana. Di ibukota, Algiers, yang biasanya penuh kerahasiaan,
orang juga berani buka omong. Tapi keadaan tenang. Seperti sejak
13 tahun yang lalu, sejak Boumedienne menggulingkan presiden
pertama Ben Bella yang kini dalam tahanan, rakyat terbiasa
menyerahkan saja segala soal penting keatas.
Di atas itu kini ada Rabat Bitah. Menurut aturan konstitusi,
setelah Presiden wafat, tokoh tak menonjol inilah yang akan
memegang pucuk plmpman negara -- buat selama 45 hari, sesuai
dengan jabatannya sebagai ketua Majelis Nasional Rakyat. Tak
seorang pun sampai hari ini bertaruh bahwa Rabat Bitah akan bisa
terus. Sebagaimana "parlemen" yang diketuainya tak berarti
apa-apa, dia juga harus berlladapan dengan para anggota Dewan
Revolusi yang kini tinggal delapan .
Tukang Intrik
Dewan ini dulu dibentuk dan memerintah bersama Boumedienne
dengan 25 anggotanya, sejak sang presiden memegang kekuasaan.
Perlahan-lahan, kekuasaannya berkurang. Akhirnya Boumedienne --
seorang yang tak pernah tampak ambisius, yang tenang dan hidup
sangat bersahaja -- menjadi semacam penguasa tunggal. Banyak
anggota Dewan Revolusi yang ia pindahkan dari kedudukan
berkuasa, misalnya dari dinas intel atau komandan tentara, dan
"diangkat"nya jadi menteri dalam kabinet Mei yang lalu. Ia
sendiri tak punya wakil presiden. Orang yang paling dekat
dengannya hampir tak ada. Yang banyak disebut ialah Menteri Luar
Negeri Abdul Azis Bouteflika.
Tapi mungkinkah Bouteflika akan jadi presiden? Menurut bekas
menteri pertanian Ahmad Mashas, yang kini hidup di Paris,
kemungkinan itu kecil. Bouteflika dibenci para anggota Dewan
Revolusi yang lain. "Dia seorang tukang intrik," kata Mashas
dalam wawancara dengan Georges Menant dalam Paris Match (8
Desember). Mashas mungkin salah satu korbannya, hingga ia
tersingkir dan kini menghidupkan gerakan opsi terhadap rezim
Boumedienne di ibukota Perancis itu.
Di bawah Boumedienne yang penuh rahasia itu, sukar memang
memperoleh gambaran persaingan kekuasaan dalam Dewan Revolusi.
Hampir semua mereka, kecuali satu orang, adalah militer. Tak
jelas bagaimana mereka bisa melakukan pemilihan di antara mereka
sendiri. Sumber yang dikutip pers di Timur Tengah sudah beberapa
waktu yang lalumelihat, bahwa beberapa di antara mereka sudah
mengadakan kontak dengan pihak oposisi yang tersebar. Tujuannya
tentu mendapatkan hasis yang lebih kuat untuk memerintah
Aljazair ke masa depan.
Basis yang lebih luas itu perlu. Di bawah Boumedienne, Aljazair
yang cukup dinamis itu belum berhasii memecahkan masalah
ketidak-puasan petani. Mereka ini menentang "sosialisasi tanah",
ketika kebun jeruk, anggur dan persawahan gandum diambil oleh
negara. Program industrialisasi juga belum mencapai hasil yang
diinginkan baru 30% industri berat yang berjalan efektif.
Sementara itu, masalah penduduk cukup serius. Separuh dari
rakyat Aljazair yang 15 juta itu berumur di bawah 16 tahun,
bahkan 22% belum mencapai 7 tahun. Itu tentu merupakan beban
juga, karena di bawah usia produktif.
Namun yang banyak dikeluhkan ialah sentralisasi yang ketat. Dan
dengan gaya Boumedienne yang dingin serta kaku, keluhan itu
bergabung dengan kerinduan kepada tokoh kharismatis seperti
bekas presiden Aljazair dulu, Ben Bella (TEMPO, 23 Desember).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini