Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Matinya Seorang Siswa Elektro

Tubuh Mohammed Hussein Abu Khdeir ditemukan dalam keadaan hangus terbakar. Korban balas dendam kematian warga Yahudi.

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari keempat Ramadan di Shuafat, Yerusalem Timur. Waktu menunjukkan pukul 03.30. Mohammed Hussein Abu Khdeir akhirnya menyudahi bermain game di laptopnya. Bersama sejumlah kawan, ia melangkah menuju masjid tak jauh dari rumahnya.

Di sebuah toko, kawan Khdeir berhenti untuk membeli santap sahur. Remaja 16 tahun itu hanya menunggu di luar. Ia duduk di salah satu anak tangga toko. Jarum jam bergerak ke angka 03.48 saat sebuah mobil, Hyundai warna terang, menepi dan menarik Khdeir masuk.

Kawan-kawan Khdeir mendapatinya sudah raib. Hussein Abu Khdeir, ayah Khdeir, melaporkan kehilangan anaknya itu kepada polisi Israel. Setelah sempat tak ada tanggapan, polisi menemukan tubuh Khdeir sudah dalam keadaan hangus terbakar di hutan pinggir Yerusalem pada pukul 7 pagi.

Rekaman closed-circuit television dari toko permen di seberang lokasi Khdeir duduk menunggu menampilkan kejadian penculikan remaja berambut cepak itu. Hussein menyebutkan warga Israel sebagai pelakunya. "Mereka membunuh anak saya. Mereka menculik dan membunuhnya," kata pria 48 tahun itu sekembali dari pos polisi Yerusalem.

Tuduhan itu berdasarkan laporan warga setempat bahwa sehari sebelumnya juga ada upaya penculikan Mussa Zaloum, bocah 9 tahun, oleh dua orang. Percobaan ini terjadi di perhentian kereta Bait Hanina, kawasan yang berbatasan dengan Shuafat. Seorang warga, Amjad Dweik, 18 tahun, menyebutkan pelakunya warga Yahudi. Ia bercerita bocah itu ditarik di bagian leher ketika sedang bersama ibunya. Meski terluka gores, anak lelaki itu dapat diselamatkan. Sejumlah orang yang melintas membantu sang ibu menarik anaknya.

Hussein yakin anaknya adalah korban lain. Ia merasa Khdeir tak punya musuh.

Khdeir anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Hussein dan Suha Abu Khdeir. Tiga saudaranya laki-laki dan empat perempuan. Sehari-hari ia siswa elektro dari sekolah kejuruan Amal. Sebelum dibunuh, baru-baru ini, pada awal Ramadan, dia sempat membantu memasang lampu-lampu untuk menghiasi kawasan rumahnya.

Kehidupan keluarga Hussein memang tak jauh dari urusan barang elektronik. Sang ayah memiliki toko peralatan rumah tangga. Keluarganya tergolong keluarga besar dan memiliki beberapa rumah di Shuafat.

Hussein sempat kesal ketika polisi Israel menduga Khdeir korban kejahatan biasa. Dia menyebutkan polisi menanyakan pertanyaan bodoh. "Mereka bertanya berapa banyak uang di kantongnya, siapa saja temannya, apakah dia punya musuh, apakah seseorang membencinya," kata Hussein.

Polisi juga bertanya apakah Khdeir pernah diculik. "Mereka tidak mengungkit soal Khdeir diculik oleh warga Israel. Ketika saya mengungkitnya, mereka bertanya kenapa saya bertanya begitu. Mereka menutup mata soal itu." Malam sebelum kejadian, kelompok ekstremis Israel sempat berkonvoi di kawasan tersebut. Menurut Hussein, mereka punya motif balas dendam atas kematian tiga remaja Israel pada akhir Juni lalu.

Beberapa jam setelah kematian Khdeir malah beredar isu di jejaring sosial Twitter bahwa Khdeir dibunuh oleh remaja Palestina akibat perkelahian antargeng. Isu lain yang diembuskan media Israel, ia dibunuh oleh sepupunya sendiri sebagai bentuk pembunuhan demi kehormatan keluarga karena ia diduga homoseksual. Keluarga Khdeir menampik semua rumor itu. Menurut mereka, Khdeir tidak bermasalah dengan siapa pun dan tidak terlibat kejahatan apa pun.

Sawsan, warga sekitar, berharap rumor bahwa Khdeir adalah gay itu benar. Sebab, jika tidak, dia mengaku warga Palestina tidak akan bertahan dari serangan lain Israel. "Kami lemah dan tidak punya apa pun untuk mempertahankan diri," katanya.

Warga lain, Areen Ashhab, yang tempat tinggalnya berjarak lima menit dari rumah Khdeir, menyatakan tak percaya pada rumor itu. Seperti kebanyakan warga Palestina lain, ia yakin kejadian ini didalangi Israel. Setelah kematian Khdeir, meski pada Ramadan, amuk warga pecah selama lima hari berturut-turut menunjukkan mereka melihat pola serangan dari kubu Israel.

Baiq Atmi Sani Pertiwi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus