Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA sebagian mahasiswa memukulnya dengan kepalan tangan, kemudian sebagian lagi mulai menghantamnya dengan potongan kayu, dan terakhir seseorang menembak kepalanya. Tapi mereka terus menghujani tubuh Khan yang sudah tak bergerak itu dengan sepakan dan pukulan, tak jauh dari kamarnya.
Khan, nama lengkapnya Mashal Khan, 23 tahun, salah seorang mahasiswa terbaik jurusan jurnalisme Wali Khan University di Mardan, kota terbesar kedua di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan, meninggal pada Kamis pagi pertengahan bulan lalu. Tubuhnya hampir tak bisa dikenali. Tatkala keluarganya hendak memakamkan jenazah yang mengenaskan itu keesokan harinya, para tetangga di kota kelahirannya menutup pintu.
Dalam pengakuannya kepada Geo TV, Yousafzai, aktivis hak asasi sekaligus anggota Partai Nasional Awami, bercerita tentang sepinya rumah Mashal Khan di hari pemakaman tersebut. Seorang ustad telah mengancam lewat pengeras suara: siapa saja yang ikut serta dalam pemakaman itu tergolong kafir dan otomatis terceraikan dari pasangannya. Pagi itu, hanya empat orang-imam, ayahanda Mashal Khan, Yousafzai, dan seorang anggota keluarga-yang menyalati jenazah anak muda tersebut.
Keadaan yang membuat keluarga Mashal Khan dan komunitas di sekitar rumahnya tertekan ini kemudian berubah. "Seorang gelandangan yang terus memperhatikan apa yang tengah berlangsung tiba-tiba bangkit. Tanpa mengenakan alas kaki, ia berlari dari satu rumah ke lain rumah di lingkungan itu dan meminta setiap orang keluar, ikut menyalati jenazah," tuturnya. Perlahan, kata Yousafzai, orang-orang muncul dan mulai melakukan salat jenazah berjemaah.
Dua pekan setelah jenazahnya dikebumikan, kesalahan Mashal Khan di mata para mahasiswa di atas belum juga jelas. Khan dinilai telah menyebarkan paham Ahmadiyah melalui akun Facebooknya-yang pada dasarnya kerap bermuatan pemikiran yang kritis-progresif dan acap membela gerakan perempuan. Sejak 1974, hukum Pakistan menyatakan Ahmadiyah sebagai kelompok nonmuslim. Namun tak ada bukti yang memperlihatkan bahwa Khan penganut Ahmadiyah. Sejauh ini, polisi telah menahan sepuluh mahasiswa, termasuk kawan-kawan Mashal Khan di Wali Khan University. "Mereka akan dikenai pasal penyiksaan sampai mati," ujar Kepala Kepolisian Daerah Khyber Pakhtunkhwa, Mohammad Alam Shinwari.
Apa yang terjadi di Kamis pagi berdarah itu bukanlah yang pertama. Dan semua ini mengikuti pola yang sama: dari sebuah rumor yang menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan penistaan agama-gustakhi dalam bahasa setempat-muncullah kerumunan orang yang jumlahnya makin lama makin besar, dengan amarah yang siap meledak, gampang dikendalikan dan dipancing untuk melakukan kekejaman di luar batas.
Pakistan memang memiliki Hukum Pidana Pasal 295 C, yang menegaskan bahwa pelecehan terhadap Nabi Muhammad dapat dikenai hukuman mati atau kurungan penjara seumur hidup-di samping pasal 295 yang mengancam "mencederai sentimen agama" dengan hukuman lebih ringan. Namun, ketika negara tidak pernah menjalankan eksekusi mati terhadap para terpidana, kerumunan orang yang marah senantiasa siap mengambil alih peran negara sebagai eksekutor. Eksekusi terjadi di jalan-jalan, bahkan di penjara. Sejak 1990, menurut pemberitaan media massa dan Center of Research and Security Studies, sudah 65 orang yang tewas dengan tuduhan penistaan agama di pengadilan-pengadilan jalanan.
Ya, pemerintah Pakistan senantiasa ragu menjalankan hukuman berat terhadap kasus penistaan. Namun, sejak masa kediktatoran militer Jenderal Zia-ul-Haq pada 1970-an sampai kini, beberapa kali pemerintah bermain mata dengan kelompok-kelompok garis keras yang biasa mengambil alih hukum dari tangan negara. Dan, terakhir, Perdana Menteri Nawaz Sharif bulan lalu mengingatkan mereka yang "menistakan agama" akan menghadapi hukuman yang keras.
IDRUS F. SHAHAB (THE NEWS, THE DAWN, DAN BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo