Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI depan kantor pusat Les Republicains di Paris, Katarina terduduk di pinggir jalan yang mulai sepi. Ahad malam dua pekan lalu itu, perempuan berdarah Rusia yang lahir dan besar di ibu kota Prancis ini tercenung, nyaris menitikkan air mata. Berkali-kali Katarina mengusap kedua kelopak matanya yang bermaskara biru. "Tidak ada yang lebih pantas menjadi Presiden Prancis kecuali Fillon," katanya sambil sesekali sesenggukan.
Satu jam sebelumnya, Katarina dan ratusan pendukung Les Republicains-istilah Prancis untuk Partai Republik-asyik bercanda tak lama setelah tempat pemungutan suara ditutup pukul 20.00. Mereka memutar musik disko di salah satu sudut gedung kantor yang memasang layar besar untuk menayangkan pengumuman hasil hitung cepat. Namun keriuhan itu tak berlangsung lama. "Kekalahan ini sungguh menyakitkan," Katarina bergumam sambil berbagi rokok dengan seorang rekan yang duduk di sampingnya.
Francois Fillon, nama yang disebut Katarina, keok dini. Fillon kandidat konservatif dari Partai Republik dalam putaran pertama pemilihan Presiden Prancis. Jagoan Katarina itu kandas di tangan Emmanuel Macron dan Marine Le Pen. Katarina, 36 tahun, agen pemasaran di sebuah perusahaan iklan, makin sakit hati saat Fillon menyerukan kepada pendukungnya agar memilih Macron di babak kedua. "Belum hitungan final, dia enteng saja berbicara seperti itu," ujar Katarina saat ditemui kontributor Tempo, Asmayani Kusrini.
Meski sudah diprediksi dalam berbagai jajak pendapat, kemenangan Macron dan Le Pen tetap mengejutkan publik Prancis. Untuk pertama kalinya kandidat dari Partai Sosialis dan Partai Republik, dua kekuatan yang mendominasi politik Prancis sejak era Perang Dunia II, terjungkal. "Isu utama kali ini adalah pengangguran," kata Benjamin Griveaux, juru bicara tim kampanye Macron. Menurut Griveaux, rakyat Prancis kecewa terhadap rezim sosialis Francois Hollande. "Ada 6 juta penganggur dan 9 juta orang miskin di Prancis."
Macron meraup 23,9 persen suara nasional, disusul Le Pen dengan selisih 2,5 persen. Fillon, Jean-Luc Mélenchon dari Partai Kiri, dan Benoit Hamon dari Partai Sosialis di urutan selanjutnya. Pendukung Macron tersebar di wilayah barat, tengah, timur, dan Paris. Le Pen mendulang suara di utara dan tenggara. "Le Pen unggul di kalangan pemilih muda," ujar Edouard Lecerf dari lembaga survei Kantar Public. Sedangkan Macron, kata Bruno Cautres dari lembaga Cevipof, "Didukung warga menengah-atas yang berpendidikan tinggi."
Kemenangan Macron di Paris boleh dikata tak terduga. Lima tahun silam, Paris menjadi medan tempur antara Francois Hollande dan Nicolas Sarkozy dari Partai Republik. Hollande saat itu mendominasi perolehan suara. Namun kini Hamon, kandidat penerus Hollande, gagal total. Dari beberapa area pemilihan yang dikunjungi Tempo pada Ahad itu, nama Macron kerap muncul sebagai juara. Dengan banyaknya pemilih kiri yang berpaling dari Hamon, Macron meraup dukungan telak di 13 dari 20 arrondissement atau distrik administratif.
Di 13eme arrondissement, yang menjadi kantong imigran Asia, khususnya asal Cina dan Vietnam, Macron meraup suara tertinggi dengan 34,6 persen. Namanya paling ramai diperbincangkan di kafe-kafe pada malam itu. "Ibu saya tidak bisa berbahasa Prancis, tapi dia memilih Macron," tutur Ah Bai, yang menjadi penerjemah ibunya di warung makan mereka tak jauh dari kantor wali kota. Pada 2012, Hollande mendulang 40 persen suara di distrik selatan Paris yang merupakan basis dukungan kelompok sayap kiri tersebut.
Macron juga menjadi pilihan Herve Le Roy, warga muslim di daerah 17eme arrondissement. Menurut Le Roy, Macron yang pro-Uni Eropa tidak akan menimbulkan banyak musibah bagi Prancis. Ini berbeda dengan Le Pen, kandidat dari Front National, dan Mélenchon, yang sama-sama ingin Prancis hengkang dari Uni Eropa. Macron juga lebih baik daripada Fillon, yang terbelit skandal korupsi istrinya. "Bagi saya, Fillon terlalu materialistis dan moralitasnya dipertanyakan," kata Le Roy lewat surat elektronik.
Di 17eme arrondissement, Fillon memang masih perkasa. Di kawasan basis dukungan Les Republicains itu, Macron hanya lolos di urutan kedua. Namun hasil itu tak banyak mengubah peta dukungan bagi Macron secara luas. "Sejak awal saya berniat memilih Macron," ujar Le Roy, 41 tahun, insinyur paten Eropa yang fasih berbahasa Indonesia. Di mata Le Roy, Macron bukan hanya ahli di bidang ekonomi. Kandidat 39 tahun yang menjabat menteri ekonomi di kabinet Hollande itu muncul sebagai politikus baru dengan solusi baru. "Dia menjelaskan pentingnya regenerasi politikus di Prancis."
Sementara Macron tampil sebagai kandidat yang segar dan masih "bersih", lain halnya Le Pen. Di tengah kekecewaan warga Prancis yang meluas, pentolan Front National dengan jargon anti-imigrasi dan anti-globalisasi itu rupanya cukup populer. Kantong-kantong pendukung Le Pen terserak di pinggiran kota yang miskin-dikenal sebagai banlieue. "Dua pertiga pemilih Le Pen memilihnya sebagai calon utama mereka," kata Pippa Norris, pakar populisme dari Harvard University. "Para pendukungnya mantap dengan Le Pen."
Pendukung Le Pen umumnya kelas pekerja, yang telah bergeser antara spektrum kiri dan kanan sejak akhir 1980-an. Di Arras di utara Prancis, misalnya, Marine menganggap Le Pen kandidat yang pas untuk menggantikan Hollande. "Saya pernah memilih kanan, kanan, kiri selama bertahun-tahun dan terus kecewa," ujar penjaga toko pakaian tersebut. Sikap senada dilontarkan Pauline, 19 tahun, pegawai toko kelontong. "Saya percaya dia (Le Pen) satu-satunya yang akan mengubah keadaan."
Kini Macron bersiap menghadapi Le Pen di babak final pada 7 Mei. Macron unggul dalam berbagai survei. Ditambah dukungan dari Fillon, Hamon, dan Presiden Hollande, bekas bankir investasi di Rothschild itu di atas angin. Lewat platform En Marche!, Macron siap menyingkirkan Le Pen, yang ekstrem kanan dan dicap anti-Islam. "Saya mendengar kemarahan dan ketakutan rakyat Prancis atas perubahan," katanya dalam kampanye di Paris. "Saya ingin menjadi presiden bagi semua orang yang melawan ancaman nasionalisme."
Di Henin-Beaumont, kota di utara Prancis yang terpuruk akibat penutupan pabrik-pabrik, Le Pen menyerukan perlawanan. "Kita sekarang mempertaruhkan sebuah referendum untuk melawan globalisasi," ujar Le Pen dalam pidatonya. Dengan dukungan yang terus menguat, perempuan 48 tahun itu optimistis. Pada 2012, Le Pen bertengger di urutan ketiga. Ayahnya, Jean-Marie Le Pen, pendiri Front National dan memimpin partai itu sampai 2011, pernah maju ke putaran kedua pada 2002, meski ia kalah oleh Jacques Chirac.
Macron berharap merebut suara dari penentang Le Pen. Sedangkan Le Pen membujuk mereka yang ingin Prancis keluar dari Uni Eropa. Salah satunya pendukung Jean-Luc Mélenchon. Di antara Macron dan Le Pen, terjepit para pemilih yang jengah terhadap agenda politik mereka. Di Paris, ratusan pengunjuk rasa menyuarakan penolakan Macron dan Le Pen, Kamis pekan lalu. "Tidak memilih bankir (Macron) ataupun rasis (Le Pen)," para demonstran berteriak di tengah bentrokan dengan polisi.
Mahardika Satria Hadi, Asmayani Kusrini (paris), (the Local, France 24, The Guardian)
Pertarungan Dua Orang Luar
Untuk pertama kali dalam sejarah modern Prancis, dua kandidat yang bertarung dalam putaran kedua adalah ”orang luar”, bukan calon yang mewakili dua partai tradisional di negeri itu, Partai Sosialis dan Partai Republik. Emmanuel Macron melaju dari jalur independen, sementara Marine Le Pen lewat Partai Front National. Macron dan Le Pen akan berebut kursi Istana Elysee pada 7 Mei mendatang.
Emmanuel Macron - (23,9% suara)
Lahir di Amiens 39 tahun
Marine Le Pen - (21,4% suara)
Lahir di Neuilly-sur-Seine 48 tahun
Perang Program Macron vs Le Pen
- Macron meraup dukungan tinggi di kota-kota besar dan daerah yang dinamis secara ekonomi, seperti Paris dan Bordeaux. Program pro-bisnis dan sosial yang progresif banyak diterima kalangan pemilih kelas menengah-atas dan berpendidikan.
- Le Pen mendulang suara di daerah dengan tingkat pengangguran tinggi dan upah rendah. Kampanye untuk menyetop imigrasi dan membawa Prancis keluar dari Uni Eropa banyak mendapat respons dari kelompok pemilih di perdesaan.
Imigrasi dan Keamanan
Macron: Tetap di zona bebas perbatasan Schengen; merekrut 5.000 polisi penjaga perbatasan dan 10 ribu polisi dalam tiga tahun pertama pemerintahan; menambah kapasitas penjara untuk 15 ribu tahanan.
Le Pen: Keluar dari zona Schengen; merekrut 6.000 petugas bea-cukai dan 15 ribu polisi; menambah luas penjara untuk 40 ribu tahanan pada 2022; memangkas penerimaan imigran legal hingga 10 ribu orang.
Uni Eropa
Macron: Ingin Prancis tetap bergabung dengan Uni Eropa, termasuk mengadopsi kebijakan untuk para pencari suaka.
Le Pen: Ingin menggelar referendum untuk meninjau keanggotaan Prancis di Uni Eropa, termasuk mengembalikan mata uang franc.
Ekonomi
Macron: Memotong pajak perusahaan dari 33,3 persen menjadi 25 persen.
Le Pen: Mendukung pemangkasan pajak 10 persen bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Sumber: New York Times, The Local, Telegraph, Visual Capitalist
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo