Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mayat-mayat dalam lumpur

Setelah tragedi berdarah di gedung mahkamah agung di bogota yang memakan korban 200 orang, gunung nevado del ruiz meletus, menelan korban 22.000 orang. tanda-tanda mau meletus tak dihiraukan pemerintah. (ln)

23 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH Bogota, Armero. Hanya dalam tempo sepekan, kedua kota di Colombia ini menyita perhatian seluruh dunia. Maut merajalela di sana. Korban jiwa pengepungan berdarah gedung Mahkamah Agung di Bogota 200 orang, korban Gunung Nevado del Ruiz yang meletus di Armero mencapai 22.000 orang. "Korban yang jatuh tercatat paling tinggi sejak letusan gunung berapi di Martinique tahun 1902," kata Richard Hoblitt, ilmuwan AS. Dr. Laurel Herd, juga dari AS, meramalkan bahwa sesudah letusan dahsyat Rabu malam itu, akan terjadi letusan lagi dalam waktu dekat. Apa yang bisa disaksikan di Armero benar-benar mengerikan. Sejauh mata memandang yang tampak genangan lumpur keabu-abuan, kotor menjijikkan. Daerah perkebunan kopi seluas 20.000 hektar itu dalam beberapa jam sudah menjadi areal yang tidak lagi bisa dimanfaatkan. Sebanyak 50.000 orang kehilangan tempat tinggal dan ratusan anak-anak - kini dijuluki anak-anak lumpur - kehilangan orangtua. Memang, dari berbagai pelosok Colombia datang permintaan mengadopsi, tapi mereka paling sedikit harus menunggu tiga bulan sebelum orangtua sang anak bisa diidentifikasi. Mengapa anak-anak lumpur? Karena semua korban yang bisa diselamatkan terbungkus lumpur dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Hanya kelopak mata yang bergerak-gerak menandakan bahwa korban masih hidup. Baju mereka compang-camping, hampir-hampir telanjang. Tidak sedikit yang mengalami patah tulang atau kehilangan anggota badan. Pada saat ditemukan, mereka umumnya lemas, susah bernapas. Ada yang bernasib baik, langsung diterbangkan helikopter ke rumah sakit. Tapi sebagian besar harus menunggu berjam-jam sebelum bala bantuan datang. Menurut laporan wartawan Reuter, Phil Davison, para korban mengerang sepanjang malam. "Tolong aku, tolong . . . aku terluka," begitulah satu suara merintih di malam dingin. Sekalipun begitu, di antara yang selamat masih ada yang sanggup mengupas kelapa, lalu dengan lahap memakan dagingnya. Mereka bahkan minum anggur dari botol-botol yang ditemukan utuh, satu hal aneh kalau mengingat lahar Gunung Ruiz telah dengan ganas memporak-perandakan empat kota kecil. Mereka yang selamat, umumnya, adalah yang kebetulan bisa berpegangan pada batang pohon atau bergayut di papan hanyut. Tapi mayoritas penduduk Armero tidak sempat berbuat apa-apa, karena lahar melanda di saat mereka sedang tidur. Wajar jika penduduk menyesalkan pemerintah setempat yang lalai memperingatkan tentang kemungkinan gunung meletus. Kabarnya, malah ada petugas yang melarang penduduk mengungsi justru di saat Gunung Nevado del Ruiz (tinggi 5.400 meter) mulai menyebarkan debu, Rabu petang. Debu itu tersembur sampai ketinggian 7.900 meter seperti dikatakan Pilot Fernando Cervera. "Kabin pesawat dipenuhi asap hingga saya mengharuskan penumpang menggunakan tabung oksigen." Bahwa petugas lalai, agaknya sulit dibantah. Soalnya, Gunung Nevado del Ruiz, yang puncaknya ditutupi salju itu, sudah menunjukkan berbagai kegiatan yang mencurigakan sejak 22 Desember tahun lalu. Bahkan, menurut Laurel Herd antara Desember 1984 dan September 1985, gunung itu menciptakan gempa bumi ringan rata-rata 35 kali dalam sebulan. Mengapa tanda-tanda seperti itu diabaikan? Presiden Belisario Betancur tidak sempat bicara soal tanda-tanda. Ia segera meninjau medan bencana dari helikopter dan melukiskannya sebagai "tragedi yang tak tertanggungkan". Sambil mengingat pengepungan berdarah di Bogota, ia berkata, "Tragedi ganti-berganti menimpa kita." Dalam peninjauan itu, Betancur bermalam di Armero, bahkan ikut sibuk bersama regu penyelamat. Bantuan 12 helikopter AS sangat melancarkan kerja mereka, tapi Ahad lalu, empat hari sesudah letusan gunung, pemerintah memutuskan untuk meninggalkan rawa lumpur Armero. Soalnya, tidak ada lagi yang bisa ditolong, sedangkan mayat yang bertumpuk dikhawatirkan dalam waktu singkat akan menyebarkan wabah penyakit. Maka, sejumlah besar mayat segera dibakar dalam satu pemakaman masal. Selebihnya terkubur dalam endapan lumpur maut. Omayra Sanchez, 12, adalah korban paling manis dan paling tragis dari lumpur keras itu. Selama tiga hari, gadis pemberani ini bertahan hidup di tengah genangan lumpur. Ketika ditemukan, ia masih segar, bicara tentang tes matematika, dan menganjurkan regu penyelamat untuk istirahat. Sebuah ban bekas dikalungkan ke lehernya sebagai penahan agar Omayra tidak tenggelam. Ia tidak segera bisa dikeluarkan dari rawa karena cengkeraman lumpur ternyata sangat ketat. Sesudah terangkat beberapa sentimeter, Omayra terpaksa ditinggal sendiri. Ketika regu penyelamat kembali dengan pipa penolong, gadis kecil itu sudah kehabisan tenaga. Tak lama kemudian ia meninggal, diiringi rasa pahit getir orang-orang Colombia yang mengetahui bahwa perjuangan menyelamatkannya sia-sia. Tidak heran jika Phil Davison melaporkan bahwa peristiwa lahar Gunung Ruiz adalah kejadian paling mengharukan yang dialaminya selama bertugas sebagai wartawan. Ia juga menulis tentang, seorang ayah yang sebelah lengannya luka parah tapi masih sanggup berjalan 7 km dengan seorang anak menggantung di pundak. I.S. Laporan Reuter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus