KALAU pernah menjadi murid, Thaksin Shinawatra mestinya tidak melawan guru. Tapi apakah itu karena sang Perdana Menteri lagi merasa berkuasa dan menjadi konglomerat? Gara-garanya, para guru di Provinsi Narathiwat, yang merasa tak cukup terlindungi dari serangan kaum separatis muslim, menggelar pemogokan dan berbicara keras. Thaksin pun gusar dan meminta para guru berlaku sopan, bahkan ia mengancam akan memecat pemimpin pemogokan.
Tak kalah galak, Federasi Guru Perempuan Narathiwat menantang Thaksin mengirim anggota keluarganya ke sana. "Jika Perdana Menteri sangat yakin di sini aman, ia seharusnya mengirim anaknya atau keponakan perempuannya menjadi guru di sini. Dia akan tahu apakah mereka betah tinggal atau ketakutan," ujar Sudsai Boonchuay, ketua federasi guru tersebut dengan sengit.
Teror kelompok separatis muslim memang nyata. Selain terhadap guru sekolah negeri, teror mereka ditujukan kepada polisi, tentara, dan pendeta Buddha, yang dianggap mewakili pemerintah Bangkok yang diskriminatif terhadap warga mayoritas muslim di provinsi-provinsi Narathiwat, Yala, dan Pattani. Misalnya Ronayuth Chuenchana, 34 tahun, salah satu dari ratusan korban. Selasa pagi pekan lalu, sersan polisi di Narathiwat ini baru saja usai menyantap makan pagi di satu kedai setelah mengawal seorang guru ke sekolah. Tiba-tiba dua pengendara sepeda motor mengedornya. Tiga peluru bersarang di lehernya. Ronayuth pun tewas.
Penembakan di sekitar sekolah negeri di selatan Thailand itu membuat guru dan siswa panik. Puncaknya, akhir Juni silam, sekitar 4.000 guru mengamini imbauan federasi guru agar mogok mengajar. Akibatnya, 422 sekolah negeri tutup. Federasi Guru Narathiwat dan Federasi Guru Perempuan Narathiwat mengancam Thaksin: pemogokan akan berlanjut jika pemerintah tak menjamin keamanan guru. Guru juga menuntut pemerintah mempersenjatai mereka.
Layaknya penguasa yang jumawa, Thaksin tak suka diancam. Dari Bangkok yang tenteram, Thaksin balas mengancam akan memecat pemimpin pemogokan dan memindahkan guru yang penakut. Ia menjamin serdadu dan polisi siap melindungi dan ia mengatakan guru seharusnya berbicara sopan kepadanya tanpa mengancam mogok. "Jika mereka main kayu, saya akan membalas dengan berlaku tidak sopan," katanya.
Thaksin lalu menunjuk dirinya yang mengaku tak takut bepergian ke selatan. "Saya tidak minta dilindungi selama kunjungan meski pejabat (keamanan) memaksa mengawal saya," ujarnya. Apalagi, katanya, guru di selatan telah memperoleh perlindungan dan bayaran tambahan agar tetap siap bertugas di sana. Tapi Presiden Federasi Guru Narathiwat, Tawat Saehum, mengeluh bahwa dari 2.500 baht atau sekitar Rp 560 ribu gaji tambahan yang ditawarkan pemerintah, yang diterima guru hanya 1.000 bath atau sekitar Rp 225 ribu.
Ancaman Thaksin cukup ampuh. Setelah mogok empat hari, Senin pekan lalu para guru mengajar kembali. Apalagi militer Thailand menambah personel untuk mengawal sekolah-sekolah negeri. Tapi situasi di tiga provinsi itu belum sepenuhnya aman. Serangan seperti pada 4 Januari masih mengancam, ketika sejumlah orang tak dikenal menyerang kamp militer Thailand. Saat itu, empat tentara tewas dan 300 pucuk senjata dirampas penyerang. Pemerintah Thaksin pun menerapkan undang-undang darurat perang dan menempatkan lebih banyak pasukan di selatan. Baku serang polisi dan tentara Thailand dengan kelompok muslim pun menewaskan 300 orang.
Gerakan separatis di ti-ga provinsi selatan Thailand berlangsung sejak 1980-an, yang sempat redam hingga pecahnya insiden Januari silam. Sejumlah grup perlawanan, antara lain kelompok Bersatu, Front Pembebasan Bersatu Pattani, Barisan Revolusi Nasional, dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani, kembali mengangkat senjata. Itu dipicu sikap diskriminatif pemerintah Bangkok sendiri, yang membangkitkan sentimen agama. Mereka melihat ada diskriminasi soal lapangan kerja. Pembangunan sarana jalan dan listrik di kampung umat Buddha tampak lebih diprioritaskan. Dan izin pembukaan klub malam lebih mudah diperoleh daripada izin pembukaan sekolah muslim.
Di sinilah akar masalahnya bagi Thaksin. Bukannya cekcok dengan para guru, yang justru menerima akibat dari aksi kaum yang terpojok dan terpinggirkan itu.
Raihul Fadjri (The Nation, Washington Post, USA Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini