Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan telunjuk dan jempol tangan kanannya, Suminah menggoreskan canting berisi cairan malam. Tekun dan teliti, perempuan 61 tahun itu membuat motif lereng panjang bercampur motif bunga abstrak dan huruf kaligrafi pada lembaran mori yang terhampar di depannya. ”Ini pekerjaan yang mengasyikkan. Meski sekarang bekerja di negeri orang, Mbah merasa seperti di kampung sendiri,” ucapnya setengah berbisik.
Menurut Mbah Sum begitu dia disapa ia tinggal di Kuala Terengganu, ibu kota Negara Bagian Terengganu, yang menjadi salah satu sentra batik di Malaysia, bersama keluarga besarnya sejak delapan tahun lalu. Ia mengangguk ketika diajak pindah oleh juragan batik Malaysia. ”Matur nuwun sanget, sekarang Mbah, anak-anak, dan para cucu hidup berkecukupan,” ujarnya girang.
Mbah Sum sesungguhnya made in Laweyan, Solo. Sebelum tinggal di Kuala Terengganu, ia lahir dan puluhan tahun tinggal bersama keluarga besarnya di kota batik itu. Turun-te murun ia membatik, tapi tak pernah berkecukupan. Sebagai perajin, ia punya kewajiban menyetor kain batik buatannya ke rumah para juragan batik. Toh, hidupnya selalu kekurangan. ”Walaupun jumlahnya banyak, tetap saja harganya selalu murah. Hasilnya hanya cukup untuk makan, pakaian, dan sekolah,” ia bercerita.
Namun situasi berubah ketika Mbah Sum memberanikan diri hijrah ke negeri jiran. Kini ia bersukacita. ”Selama di sini, setiap tahun anak dan cucu Mbah sudah disodori daftar mau meneruskan sekolah ke mana saja. Mbah juga diberi kesempatan pelesir ke mana pun yang Mbah suka,” ucapnya sumringah.
Mbah Sum bisa jadi tak mengetahui peristiwa penting pekan lalu, ketika UNESCO lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani pendidikan dan kebudayaan menyetujui batik sebagai warisan dunia nonbenda (intangible world heritage) dari Indonesia. Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie seusai rapat terbatas di Istana Bogor, Senin lalu, ia telah menerima surat persetujuan UNESCO. Dikatakan, yang masuk kategori yang sama adalah budaya lisan seperti cerita dan bahasa, seni pentas, adat istiadat, pengetahuan tentang semesta, dan kerajinan tradi sional. ”Batik dianggap sebagai ikon budaya yang unik dengan filosofi mendalam,” katanya.
Bila sesuai dengan rencana, peresmiannya akan dilakukan UNESCO dalam sebuah rangkaian acara akhir bulan ini di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Batik (dari bahasa Jawa, amba-titik, membuat titik) akan menjadi tradisi leluhur ketiga yang tercatat sebagai wa risan dunia, setelah wayang dan keris. Keputusan serupa masih ditunggu antara lain untuk angklung Jawa Barat, kolintang Sulawesi Utara, naskah Negara Kertagama versi Majapahit, dan epos La Galigo asal Bugis.
Pengakuan ini melegakan, tentu, setelah isu klaim-mengklaim benda budaya yang dilakukan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir ramai me ngundang protes di Indonesia. Sebutlah batik, reog Ponorogo, hingga insiden tari pendet yang asal dicomot saat pembuatan iklan wisata Malaysia oleh stasiun Discovery Channel. Sampai-sampai Menteri Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Datuk Rais Yatim menjelaskan bahwa semua itu semata-mata salah paham. ”Takkanlah hanya karena satu gerak tari yang dibuat stasiun negara lain, kita langsung membakar bendera dan melempar batu,” ucapnya Selasa lalu.
Ada yang ironis ketika dua negara membutuhkan ”intervensi” pihak ketiga, dalam hal ini UNESCO, untuk menyelesaikan kesalahpahaman itu. Sejarah mencatat, ”pihak ketiga” jualah yang mengubah ka wasan Asia Tenggara dari wilayah flek sibel, cair dengan perbatasan yang ber ubah-ubah, menjadi satuan-satuan negara. Pihak ketiga di sini adalah kaum kolonial: Belanda, Prancis, Inggris, Portugis, dan Spanyol, yang mulai datang pada abad ke-16. Sebelum mereka, migrasi penduduk dan budaya nya yang didukung sistem pelayaran ber basis angin muson telah berabad-abad mengantarkan penduduk Sumatera, Makassar, dan Jawa menjadi penduduk tetap kawasan Malaya.
Menurut Prof Dr Datuk Abdul Latif Abu Bakar, Ketua Institut Seni Malaysia Melaka, dosen senior Universiti Malaya, yang pertama kali datang adalah etnis Palembang, disusul orang Minang, Bugis, dan terakhir Jawa. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, tapi semuanya mudah diterima karena budayanya familiar. ”Orang Jawa kurang suka dengan politik dan kekuasaan. Mereka lebih suka bekerja, berniaga, atau jadi seniman,” katanya kepada Tempo di kantin Universiti Malaya, Kuala Lumpur, pekan lalu. ”Walaupun begitu, pengaruh Jawa terhadap orang Melayu sangat kuat. Tempe yang dibawa orang Jawa juga disukai orang Melayu. Begitu juga urut-meng urut dan kesenian seperti silat.”
Di era digital kini, Mbah Sum meng ulang pengalaman migrasi itu. Tentu saja ia tidak sendiri. Di sepanjang sentra batik Kelantan dan Kuala Terengganu, Tempo menemukan banyak pembatik wa nita tua atau separuh baya serupa. Se bagian berasal dari kampung batik tersohor: Laweyan, Solo, Pekalongan, atau Yogyakarta. Tak aneh bila aneka batik dari Malaysia yang mereka hasilkan pun kental dengan nuansa Indonesia. Ada perpaduan motif kawung, parang, teruntum, sidomukti, dan merak, bercampur dengan motif abstrak dari Malaysia.
Ratmini, pembatik asal Yogya yang bergabung dengan Fine Batik Malaysia, menuturkan, bukannya tak sayang kepada negeri sendiri, selama tinggal di Malaysia ia justru merasa lebih dipa hami dan dihargai. Ia tak pernah pu sing dengan masalah sekolah, kesehatan, atau rekreasi. ”Jujur, tugas kami hanya membatik sebaik mungkin,” ka -ta janda dua anak yang sudah lima tahun tinggal di Malaysia itu.
Pembatik seperti Mbah Sum dan Ratminilah yang kemudian banyak menyelesaikan desain dan produksi batik Malaysia, seperti yang diduga D. Ali, pengusaha dan desainer batik asal Pekalongan. Menurut dia, pengusaha Malaysia banyak memborong batik setengah jadi dari Indonesia, salah satunya dari Pasar Klewer di Solo, dan melakukan sentuhan akhir di Malaysia dengan memakai tenaga pembatik Indonesia yang sudah diboyong ke sana. Hasilnya adalah batik made in Malaysia.
Ali sendiri sering diminta meneruskan tawaran dari para pengusaha negeri tetangga itu bila ada pembatiknya yang tertarik pindah ke Malaysia. Ali banyak berbisnis dengan pengusaha Malaysia, antara lain mengerjakan pesanan mengecap atau mencetak batik sesuai dengan desain yang mereka minta. ”Saya sih bisnis saja, wong motif begitu saya jual di Indonesia tak laku,” kata generasi ketiga perusahaan batik keluarga itu.
Victor Ooi Boon Beng, pemilik Fine Batik, mengaku kesempatan para pe rancang dan pengusaha batik di nege rinya mendapat pengetahuan batik tak lepas dari peran orang Indonesia. Dia mengakui, Indonesialah yang memiliki master atau ahli batik sesungguhnya. Pada awal 1990-an, ia diberi kesempat an oleh asosiasi pengusaha Indonesia untuk bertukar pengalaman. Lalu ia dan beberapa kawan Malaysia berkunjung ke Solo dan Yogya. Di sana mereka berkenalan dengan perajin setempat dan menawarkan pekerjaan. ”Mereka tertarik dan memilih tinggal di sini,” dia menuturkan.
Victor mempopulerkan batik organik atau batik ramah lingkungan pada proses pembuatannya. Lagi-lagi ia mengaku pengetahuan tentang proses pembuatan batiknya diperoleh setelah belajar dari karyawannya yang berasal dari Yogya dan Solo. Batik buatan Victor memakai motif abstrak, bunga, daun, dan pohon. Dia pun memakai buah ke tapang, kayu manis, akasia, buah manggis, dan bahan-bahan alami lain untuk pewarnaan alami serta penegasan motif batiknya. ”Semua saya pelajari dari perajin tersebut. Namun, untuk hasil lebih lanjut, saya mengembangkannya berdasarkan riset sendiri,” kata Victor, yang membuat batiknya pada bahan sutra dan tafeta.
Perancang Noor Fatimah Ishak, yang dikenal sebagai perancang batik populer di Malaysia, mengaku batik nege rinya berbeda dengan batik Indonesia. Di Malaysia, soal motif tak terlalu pen ting. Semua diserahkan pada kreativitas para perancang. Biasanya motif yang dipilih adalah tumbuhan, etnik, dan abstrak. Tak aneh bila batik Malaysia terasa sangat kontemporer. ”Saya kagum pada batik Indonesia, yang sangat kuat di motif, dengan teknik mendetail yang bagus dan sarat filosofi,” katanya.
Menurut Datin Noor, panggilan akrab nya, salah satu faktor penunjang berkembangnya batik di negerinya adalah dukungan pemerintah. Di Malaysia, murid sekolah wajib mengenakan batik dan punya mata pelajaran membatik. Pemerintah juga membina perancang batik amatir dengan mengadakan pelatihan dari ahli-ahli rumah mode dunia, seperti Giorgio Armani dan Donna Karan. Untuk pengusaha, pemerintah mendorong mereka menjajal pasar ka wasan seperti Brunei dan Singapura serta pasar internasional seperti Hong Kong, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Ini sejalan dengan yang pernah diungkapkan Perdana Menteri Najib Tun Razak dua tahun lalu bahwa batik negerinya memang pengembangan dari Indonesia, terutama Jawa, ”Tapi, sejak 1940-an, batik Malaysia sudah dikembangkan,” kata Najib.
Tak aneh bila Mbah Sum pun menjatuhkan pilihan sekehendak hatinya, sebagaimana para nenek moyang pelaut kita memilih berlayar ke mana mereka suka. Pada dasarnya toh mereka bebas memilih peruntungan mana yang terbaik. Dan Mbah Sum memilih Malaysia.
Kurie Suditomo, Hadriani Pudjiarti (Kuala Terengganu), Masrur Dimyathi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo