Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Angklung: Ditiru, Lalu Diaku

14 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah brosur wisata Malaysia yang sampai ke tangan Taufik Hidayat Udjo, 43 tahun, menegaskan rasa curiganya. Brosur itu memuat gambar angklung yang dimodifikasi untuk memainkan nada-nada musik modern ciptaan Daeng Soetigna, guru ayahnya. Di situ tertulis ”traditional music bamboo from Malaysia”. Taufik berang. Brosur itu pun ia kirim ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata setahun lalu. “Baru sekarang ramainya,” kata putra Mang Udjo, pendiri Saung Angklung Mang Udjo di Jalan Padasuka, Bandung, itu pekan lalu.

Taufik putra kesembilan dari sepuluh bersaudara anak mendiang pasangan Udjo Ngalagena dan Uum Sumiati. Angklung yang dikembangkan di sanggar itu adalah angklung besutan Daeng Soetigna. Pada 1938, guru Hollandsch-Inlandsche School di Kabupaten Kuningan itu memodifika­si alat musik angklung sehingga tak hanya memainkan nada-nada pentatonis—tangga nada di musik-musik tradisi—tapi juga nada-nada diatonis kromatis, yakni skala nada yang digunakan musik Barat. Sebelum Daeng melakukannya, angklung secara tradisional adalah alat musik tanpa nada.

Menurut Taufik, ayahnya menuruti pesan Daeng agar menyebarkan alat musik angklung ke seluruh dunia atas nama perdamaian. Diawali oleh anak-anak kampung, kini Saung Angklung ramai didatangi tamu mancanegara. Kunjung­an tamu Malaysia terus meningkat. Pada 2008, rata-rata pe­ngunjung sebulan mencapai 58 orang, sedangkan sampai Agustus tahun ini sudah mencapai 171 orang.

Kunjungan mereka tak sebatas belajar cara bermain, tapi juga cara membuat angklung. Dua tahun lalu, Saung Angklung mulai mendapat undangan memainkan pertunjukan di Kuala Lumpur. Ada pula tawaran mengelola satu kawasan saung angklung di sana dan tawaran mengajar di universitas. Karena Taufik menolak, tawaran beralih ke staf Taufik dengan iming-iming gaji besar. “Saya tak berpikir macam-macam, hanya kagum bagaimana mereka sangat mencintai angklung,” katanya.

Suatu saat Taufik menemukan pertunjukan angklung di Kuala Lumpur yang konsepnya hampir persis meniru Saung Angklung. Kemudian brosur itu sampai ke tangannya. Lengkap sudah kecurigaan itu, sesuatu yang berban­ding terbalik dengan sikap Thailand yang saat merayakan seratus tahun angklung di Thailand terang-terangan mengakui angklung berasal dari Jawa.

Lalu apa perhatian dari pemerintah? ”Nol,” katanya.

Kurie Suditomo, Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus