Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zulhasril Nasir
Pada peringatan Hari Kemerdekaan Malaysia sembilan tahun lalu, televisi RTM menayangkan atraksi kesenian dari Negeri Sembilan, termasuk menayangkan musik dan tari Indang Sungai Ga ringgiang. Sebagaimana biasa ada wawancara dengan ketua tim rombongan. Sebagai penonton, saya sedikit kaget mendengar jawaban ketua tim kesenian ini. ”Kesenian Negeri Sembilan tak beda dengan tarian Minangkabau lainnya, karena kami bernenek moyang dari Sumatera Barat,” jawabnya.
Dari pewawancara RTM, saya tak melihat ada reaksi tertentu. Sebagai orang yang bukan warga negara Malaysia, saya merasakan ada panorama baru dalam hubung an antarpuak di Malaysia. Patutkah saya atau pewawan cara RTM itu tersinggung? Jawabnya jelas, tidak. Kesultanan Negeri Sembilan dalam sejarah Mala ysia adalah negeri yang didirikan oleh perantau Minangkabau (Raja Malewar) pada abad ke-16. Kesultanan Johor juga turunan kekuasaan Bugis. Begitu pula Pahang dan beberapa bagian daerah pantai lainnya. Orang Aceh, Jawa, Bawean (mereka sebut Bayan), Palembang sangat mudah kita temukan di sana. Dengan mudah pula kita dapat menerka mereka keturunan suku-suku itu.
Suku-suku bangsa asal Indonesia itu kini disebut orang Melayu. Jadi anehkah bila orang Melayu Malaysia merasa rendang, reog (barong), Gelang-Sipaku Gelang, Rasa Sayange, Sungai Garinggiang, batik, wayang kulit, keroncong juga menjadi bagian dari kebudayaan mereka? Kecuali ini, tentulah kita tak setuju dengan tari pendet yang diklaim sebagai bagian dari budaya Malaysia karena tak ada akar Hindu-Bali di situ.
Tentang batik sesungguhnya banyak perbedaan antara batik Jawa dan batik Malaysia, sebagaimana perbedaan batik Jawa dengan batik Jambi dan Banjar. Namun belakangan memang banyak pembatik Solo-Yogya dan Pekalongan berdatangan ke Malaysia. Mereka sengaja datang (atau didatangkan) karena penghasilan mereka lebih besar di sana—maka besar kemungkinan keterampilan dan garis-garis cipta tangan Jawa akan mendaulat batik Malaysia di masa datang. Lalu siapakah yang salah?
Di Kelantan, yang merasa masih keturunan Jawa, orang-orang tetap merayakan 1 Muharam dengan pertunjukan wayang kulit dengan iringan gamelan. Bahkan radio dan televisi pada satu-dua dekade lampau masih menyelenggarakan kejuaraan keroncong, dan Sultan Johor sampai kini masih menyenangi nyanyian yang mendayu-dayu itu. Lantaran mudah dinyanyikan itu pula lagu Rasa Sayange yang dibawa oleh orang Indonesia ke sana mudah populer. Ini sama dengan Injit-injit Semut, Anak Kambing Saya, Kakatua yang sudah terdengar di Malaysia sejak 1960-an.
Angklung pun tak beda dengan kedatangan Rasa Sa yange. Dulu angklung diperdengarkan dan diajarkan langsung kepada peserta Konferensi Asia Afrika 1955. Denyut progresif-revolusioner Soekarno memang kuat terasa di Semenanjung Malaya saat itu. Ini tak meng herankan, karena para tokoh perjuangan kemerdekaan Malaysia sebagian besar orang Melayu keturunan Indonesia (Minangkabau, Bugis, Palembang, Mandailing, dan Jawa).
Sejarah Malaya tak pula dimulai dari UMNO, tapi oleh Kesatuan Melayu Malaya (1938) lalu menjadi Partai Kesatuan Melayu Malaya (17 Oktober 1945) yang dipimpin oleh Ibrahim Jaacob bersama Ahmad Boestaman dan beberapa keturunan Indonesia lain. Sebagaimana irama pergerakan di Indonesia, di sana juga ada Pembela Tanah Air (PETA), Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Angkatan Pemuda Insyaf (API), Kekuatan Rakyat Istimewa dan berubah menjadi Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS). Mereka pun memakai istilah murba dan marhaen, dan panggilan Bung. Mereka semua berkeinginan Malaya bebas dari penjajahan Inggris. Ibrahim Jaacob yang lahir di Ipoh, Perak, pun kemudian memilih bergabung dengan tentara Indonesia dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata dengan pangkat letnan kolonel.
Ketika Soekarno dan Hatta berangkat ke Dalat, Saigon, memenuhi panggilan Panglima Perang Jepang Terauchi, 8 Agustus 1945, keduanya disambut Ibrahim Jaacob dan Burhanuddin Helmy (dari Kesatuan Melayu Malaya) di Singapura dan berjanji akan bertemu di Tai ping, Perak, sekembali dari Saigon (Giebels 2001:105 dan Legge 1985:221). Kedua pejuang Malaya ini menyatakan Tanah Melayu tak dapat dipisahkan dengan Indonesia Raya (Mohammad Salleh Lamry, 2006:51).
Lalu di mana perbezaan Indonesia dan Malaysia sekarang ini? Keduanya memiliki negara-bangsa (nation-state) berbeda—ini suratan sejarah, bukan suratan bangsa. Pada 52 tahun Malaysia merdeka, Melayu hanyalah 60 persen, di antara puak Cina (25 persen), India (10 persen), dan puak lainnya (5 persen). Memanglah benar rakyat Malaysia dewasa ini sedang mencari identitas diri. Tindak-tanduk yang aneh-aneh orang Malaysia yang telah menyinggung rasa orang Indonesia itu sepatutnya dipahami—karena mereka itu adalah dulunya Indonesia yang sekarang membangun jati diri bangsa.
Ketika meresmikan seminar ”Peranan Bugis dalam Perkembangan Alam Melayu” tahun lalu di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan kenapa kita harus meributkan kesenian kita yang diklaim Malaysia, toh yang di sana juga orang Bugis, Minang, Jawa. Seharusnya kita berbangga budaya kita dipakai dan dikembangkan oleh negara lain. Sebagaimana musik rap di Indonesia, kan tak ada orang Amerika yang protes?
Jika demikian, persoalannya bukan hanya masalah sejarah dan budaya, tentu pada masalah yang menjadi kelalaian kita selama ini, yakni neoliberalisme. Neoliberalisme adalah wujud global dari kapitalisme yang menjadikan dunia tanpa batas, dan mereka membangun segalanya untuk mengembangkan uang—seperti menjual tari pendet tadi untuk wisata. Maka seharusnya kita tak boleh terlambat dari Malaysia agar tak terus-menerus menjadi orang yang dikecewakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo