LAIN Britania Raya, lain pula Muangthai. Bila keluarga kerajaan Inggris masih bisa diisukan dan dipergunjingkan, bahkan oleh koran-koran kuning sekalipun, maka kebebasan yang sama jangan harap bisa ditemukan di Negeri Gajah Putih. Raja Thai bukan hanya tak bisa disalahkan, tapi juga tak boleh dicela. Rakyatnya senantiasa takzim pada hukum lesse majeste: memfitnah, menghina, atau mencela Raja serta anggota keluarganya secara lisan atau tertulis, bisa diganjar 3 sampai 15 tahun penjara. Sampai sekarang, tak seorang pun pelanggar hukum bisa terlepas dari sanksi itu, tak peduli apa jabatannya. Tahun lalu misalnya, Veera Musikapong, bekas Wakil Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, yang dalam acara kampanye menyindir lembaga kerajaan, divonis 3 tahun penjara. Dan bulan lalu, seorang mayor polisi diampuni Raja, setelah menjalani hukuman 5 tahun penjara -- vonisnya 6 tahun. Kini kekuatan hukum itu dicoba lagi. Masalah suksesi, yang dianggap paling sensitif di Muangthai, tiba-tiba muncul di salah satu artikel mingguan Far Eastern Economic Revie7 (FEER) -- terakhir majalah ini diperkarakan oleh pemerintah Singapura terbitan Hong Kong. Penulisnya adalah Sukhumband Paribatra, dosen Universitas Chulalongkorn dan pengamat politik kelas wahid di sana. Lewat artikel berjudul Joy and Apprehension over the Thai Monarchy, dia mempertanyakan masa depan kerajaan, dan kemampuan Putra Mahkota memerintah rakyatnya. "Segala ketidakpastian tentang masa depan kerajaan menimbulkan keresahan rakyat," demikian tulisnya. Paribatra terutama mengulas kemampuan Putra Mahkota. Katanya, keresahan terjadi karena masyarakat tak lagi diam-diam tapi sudah terbuka: Selintas bisa ditafsirkan, mereka tak lagi terlalu khawatir pada hukum lesse majeste. Keraguannya berkisar pada satu hal: mungkinkah Putra Mahkota menggalang kesetiaan politik masyarakat dan kelompok-kelompok kekuatan politik lainnya, seperti selama ini dilakukan oleh ayahnya. "Dia (ayahnya) telah berhasil meletakkan standar keberhasilan yang mungkin terlalu tinggi bagi penerusnya," tulis Paribatra. Kelemahan lain ialah, adanya istri kedua yang mendampingi Putra Mahkota. Kenyataan ini luas dipublikasikan oleh berbagai media massa. Bahkan disebut, 5 orang anak mereka. Padahal, perjalanan menuju takhta sudah jelas makin dekat. Buktinya, Putra Mahkota, yang berpangkat mayor jenderal dengan jabatan militer sebagai Komandan Pasukan Penawal Istana itu. kini makin banyak dibebani tugas-tugas kerajaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara itu, pihak kerajaan juga tak pernah membantah kabar angin, yang belakangan makin santer, tentang rencana Raja Bhumibol untuk menarik diri dari panggung istana dan masuk biara, pertengahan tahun ini. Tindak-tanduk Raja justru memperkuat kabar itu. Alasannya, dalam perayaan ulang tahun ke 60, Desember lalu, Raja ada menyatakan, "Kita hanya melaksanakan tugas. Ketika kita pensiun akan ada orang lain yang menggantikan. " Tapi bagaimana Sukhumband Paribatra berani menyingkap masalah yang demikian tabu bagi orang Muangthai? "Saya merasa berkewajiban untuk menjelaskan, betapa pentingnya masalah ini demi kebaikan negeri," ujarnya, dalam wawancara khusus dengan TEMPO. Dia juga mengakui, sejak artikel itu muncul, ia merasa takut, kendati pihak kerajaan atau militer belum menunjukkan reaksi apa-apa. Yang akan bertindak tentu pihak intelijen -- Dewan Sekuriti Nasional (NSC) dan Komando Operasi Sekuriti Intern (ISOC). "Mereka penganut garis keras," tambahnya. Tapi dengan menulis artikel itu, bukan berarti Paribatra mengingkari asal-usulnya yang ningrat. "Saya 'kan juga keturunan langsung raja Muangthai," tutur ilmuwan bergelar Mon Rajawong -- setingkat pangeran itu. Mendiang kakeknya, Pangeran Paribatra Sukhumband, adalah putra sulung permaisuri pertama Raja Chulalongkron yang punya 4 permaisuri. Malang, dia akhirnya hanya menjadi penasihat raja, lantaran ada permaisuri lain yang melahirkan putra lelaki lebih dulu. Dan pada tahun 1932, ketika terjadi kudeta militer yang berhasil menghapus sistem kerajaan absolut, kakeknya dibuang ke Indonesia. Meninggal tahun 1944 di Bandung. Latar belakang penulisan artikel itu, menurut Paribrata, tak lain karena keprihatinannya pada peristiwa November lalu, yang tak dipublikasikan oleh media massa. Saat itu, di tengah kegembiraan rakyat Muangthai merayakan ulang tahun rajanya, beredar ribuan pamflet gelap. Isinya menyerang Putra Mahkota, yang kemudian disusul dengan beredarnya surat celaan kepada raja. Buntutnya, empat orang tersangka penyebar pamflet ditangkap Senin lalu. Yakni sepasang suami istri dan dua mahasiswa. "Apa isi pamflet itu, Anda lebih baik tidak tahu. Pokoknya sangat kejam," ujar Paribatra. Yang pasti, sampai sekarang belum terjadi apa pun atas diri Paribatra. Tapi kalau artikelnya kelak dianggap melanggar lesse majeste, nasib FEER bakal tak beda dengan koran Asian Wall Street Journal terbitan Hong Kong, yang 6 tahun silam sempat dilarang beredar di sana. Pasalnya, artikel Michael Schmicker -- berjudul Can Thailand's Monarchy Survive this Century dituduh menghina lembaga kerajaan. Dia Juga menyangsikan kemampuan kerajaan, untuk terus bertahan menghadapi kemelut politik sampai akhir abad ini. "Bukan rahasia lagi, kerajaan punya banyak musuh," tulis Schmicker. Kesangsian Schmicker bertolak dari keterlibatan Raja Bhumibol dalam kudeta yang dilancarkan kelompok perwira muda. Kala itu Raja terang-terangan memihak PM Prem Tinsulanonda, sehingga kudeta berantakan. Maka, menurut Schmicker, masyarakat mulai ramai mempertanyakan peranan politik Raja, termasuk suksesi, yang tak mustahil akan menimbulkan kemelut politik baru. Di situ Schmicker juga mengingatkan, adanya dua kekuatan politik: Partai Komunis yang berhasil menumbangkan raja Laos di tahun 1975 dan kekuatan intelektual di kampus, yang berhasil menumbangkan pemerintah militer PM Thanom Kitikachorn pada ta hun 1973. Dan itu semua dikaitkannya dengan kemampuan Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn, yang dinilainya kurang dekat dengan rakyat, serta tak cukup berwibawa seperti ayahnya. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini