MEREKA duduk mengelilingi sebuah meja bundar. Hun Sen, Khieu Samphan, Norodom Ranariddh, dan Son Sann. Wajah mereka nampak cerah. Sementara itu, kilatan lampu kamera televisi dan foto mengabadikan pertemuan bersejarah itu, mereka senyum. Sebuah pertemuan bersejarah, memang, karena untuk pertama kali empat kelompok yang bertikai selama delapan tahun akhirnya bisa duduk bersama di satu meja. Orang bisa saja bilang pameran senyum tadi sengaja ditujukan kepada sekitar 200 wartawan dalam dan luar negeri, yang khusus datang ke Istana Bogor untuk meliput peristiwa JIM. Namun, siapa tahu terselip pula perasaan agak lega, karena akhirnya mereka bisa istirahat sebentar dari baku hantam yang pasti meletihkan semua pihak. Barangkali mereka juga sadar, saat bersejarah itu perlu dicatat. Dan sebagai pelaku-pelaku sejarah, mereka siap bermain dalam panggung yang tersedia. Dan pentas itu -- Pertemuan Informal Jakarta (JM) -- terjadi Senin pagi pekan ini di suatu ruangan yang tak terlalu besar, di Istana Bogor. Suasana agak kaku tampaknya sulit dihindari, sekalipun tak lama, tatkala para pimpinan kelompok itu, diikuti anggota delegasi masing-masing, memasuki ruangan. Beberapa anggota delegasi kabarnya saling sapa, ada pula yang mengangguk, dan di sana-sini, demikian menurut seorang yang menyaksikan, ada yang salamsalaman. Namun, pimpinan Khmer Merah, Khieu Samphan, kabarnya lebih suka menghindar, dan merasa enggan bersalaman dengan PM Republik Rakyat Kamboja, Hun Sen. Hatta, menurut yang empunya cerita, seorang pejabat Deplu mencoba menengahi, dengan mendatangi ketua delegasi Khmer Merah itu, dan berkata, "Apakah Anda tidak ingin berjabatan tangan dengan saudara Anda?" Khieu Samphan, yang mungkin tak menduga ada upaya begitu, tak bisa lain kecuali memenuhi permintaan itu. Dia pun menjabat tangan Hun Sen. Keduanya lalu tersenyum. Es pun terasa mulai mencair. Perjumpaan mereka ini sebetulnya bukan yang pertama kalinya. Minggu lalu, Menlu Alatas telah menjamu mereka makan malam, yang dihadiri juga oleh para peserta JIM yang lain, yakni dari Vietnam, Laos, dan ASEAN. Namun, pertemuan pertama pimpinan keempat kelompok, sesuai dengan rencana, tanpa dihadiri negara lain, memang terjadi Senin paginya. Sebuah kursi tambahan yang berbeda bentuknya dengan keempat kursi yang lain -- ditarik ke arah meja buat tempat duduk Menlu Alatas. Ia, sebagai tuan rumah, membuka pertemuan informal tu. Menlu Alatas agaknya sadar, bukan mustahil JIM ini bisa gagal. Padahal, harapan banyak pihak akan keberhasilannya sangat besar. Karena itu, dalam pidato pembukaannya ia mengakui betapa masih lebarnya jurang perbedaan pandangan antara keempat kelompok itu. Maka, ia mengimbau, "Namun saya yakin, unsur dan kepentingan yang menyatukan Anda semua, dalam semangat dan tujuan dasar, jauh lebih kuat dibanding perbedaan-perbedaan yang selama ini memisahkan Anda." Menlu juga mengingatkan, meski banyak pihak ingin membantu mencari perdamaian di Kamboja, usaha utama tentunya paling baik dilakukan oleh bangsa Khmer sendiri. Misalnya aspek kerukunan nasional, penentuan nasib sendiri, pembentukan pemerintahan sementara untuk mengatur pemilihan umum, dan pembangunan suatu Kamboja baru yang damai, netral, bebas, dan tidak memihak. Ali Alatas tampaknya juga ingin memanfaatkan "pesona lama" tatkala mengingatkan pada para peserta JIM tentang Konperensi Bogor pada 1954 yang dihadiri lima perdana menteri Asia: Ali Sastroamidjojo dari Indonesia, Ali Bhutto dari Pakistan, Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Burma, dan Sir John Kotelawala dari Sri Lanka. Pertemuan itu akhirnya melahirkan Konperensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 yang tersohor. Hal sama juga diulanginya tatkala ia membuka JIM tahap kedua, yang dimulai pukul tiga sore. Pertemuan yang berjalan lebih lancar dari tahap pertama dihadiri Vietnam, Laos, dan segenap ketua delegasi ASEAN. Sepertinya Menlu Alatas, yang kelihatan kurang tidur, berharap benar agar JIM, betapapun hasilnya, akan bisa dilanjutkan dengan berbagai perundingan lain, yang kelak, entah kapan, akan berhasil mewujudkan suatu perundingan amat bersejarah, yang mampu menetaskan suatu formula untuk memulai suatu babakan baru di Kamboja. Usai berpidato, keempat pemimpin Kamboja berbincang sebentar. Alkisah, pilihan jatuh pada Son Sann sebagai juru bicara. "Mungkin karena dialah yang tertua di antara keempat pemimpin Kamboja," kata seorang pejabat Deplu. Son Sann, 77 tahun, pun memberikan sambutan. Ia mengatakan, mereka semua terharu atas pertemuan ini. "Negara kami telah terkoyak-koyak oleh peperangan. Mudah-mudahan kami bisa menyelesaikan masalah kami. Kami akan berusaha keras mencapai itu," kata Son Sann. Setelah itu Menlu Alatas meninggalkan ruangan. Ia membiarkan keempat pihak berbincang-bincang sendiri. Menurut sebuah sumber, sebetulnya Ali Alatas bersedia menjadi moderator untuk menjembatani keempat kelompok tadi. Namun, kehadirannya ternyata tidak diperlukan. Selama sekitar dua setengah jam, keempat kelompok tadi berbicara, dalam bahasa negerinya. Tidak jelas apa dan bagaimana persisnya jalannya perundingan babak pertama. Tapi ada saja suara yang mengatakan, pertemuan sedikit alot. Masuk akal. Masing-masing boleh saja setuju dengan butir-butir yang akan dibahas. Tapi, seperti diakui Menlu Alatas, masing-masing mempertahankan pendiriannya. Masing-masing menyodorkan usulnya, dan formula penyelesaian kemelut di Kamboja dari sudut pandangnya. "Masalah Kamboja amat kompleks," kata Alatas kepada TEMPO. Soalnya, bukan hanya bangsa Kamboja sendiri yang terlibat. Mengharapkan JIM akan segera berhasil, jelas impian. JIM ini sekedar upaya penjajakan," kata Tuwono Sudarsono. Dekan FISIP UI. "Jelas, masalah yang begitu kompleks tidak bisa diselesaikan dalam semalam, atau melalui satu perundingan saja," kata Menlu Alatas. Dan JIM adalah langkah awalnya. JIM, seperti dikatakan Sukhumband Paribatra, ahli masalah Kamboja, dan pengajar tetap pada Universitas Chulalongkorn, Muangthai, merupakan "cahaya di akhir terowongan masalah Kamboja". Dia melanjutkan, "Tapi terowongan itu panjang sekali, siapa yang tahu halangan apa saja yang akan terjadi sebelum kita sampai pada cahaya itu." Kepada Yuli Ismartono dari TEMPO, Paribatra mengatakan, betapa besar perbedaan sikap di antara para aktor yang bermain di medan tempur Kamboja, "termasuk para pemimpin di Muangthai," katanya. Direktur Studi Asia Tenggara di universitas tua yang terkenal itu lalu mengemukakan betapa banyaknya "vested interest" yang terlibat di dalam kancah politik Kamboja. Dan semua orang tahu, halangan itu bisa sangat beraneka ragam. Keempat kelompok yang bertikai mempunyai perbedaan dan kepentingan masing-masing. Negara-negara superkuat seperti AS dan Uni Soviet, juga RRC dan Jepang, mempunyai kepentingan masing-masing. Bahkan ASEAN, khususnya Muangthai, mempunyai kepentingan yang berbeda. Lalu jangan dilupakan adanya pihak yang kurang suka bila JIM berhasil, terutama dari kalangan nonblok karena ingin prakarsa merekalah yang nantinya bisa memecahkan masalah Kamboja. Di tengah berbagai hambatan itulah JIM mulai memasuki terowongan yang bisa panjang tadi. "JIM memang langkah pertama. Meski mungkin JIM ini tidak menghasilkan keputusan penting, setidaknya lewat JIM bisa diinventarisasikan masalahmasalah yang ada dan bersangkutan dengan Kamboja. Dan itu suatu langkah pertama yang penting," kata Jusuf Wanandi, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Internasional dan Strategis (CSIS). Ada benarnya. Sekalipun bersifat informal, yang tak akan melahirkan keputusan-keputusan yang mengikat setiap peserta, paling tidak orang akan mengetahui posisi masing-masing secara lebih jelas. "Di situ akan ketahuan siapa, dan pihak mana saja yang sebenarnya bersikap keras, atau ngotot dalam mencari penyelesaian Kamboja," kata diplomat senior Indonesia. Masalah yang agaknya paling pelik, dan sulit untuk diduga, adalah faktor Khmer Merah yang menurut perkiraan, berkekuatan sekitar 45.000 pasukan. Beberapa laporan yang masuk mengatakan diam-diam mereka sudah menyimpan persenjataan dalam jumlah besar di hutan. Maka, kalau nanti para pengungsi Khmer Merah dibolehkan pulang ke Kamboja tanpa membawa senjata -- ini sesuai persyaratan yang dituntut oleh PRK dan Vietnam -- siapa menjamin mereka tak bangkit lagi? Spekulasi yang membuat orang Kamboja sulit tidur memang sudah diberitakan di beberapa media massa. Bisa jadi RRC suatu waktu akan menghentikan suplai senjata untuk Khmer Merah. Tapi, seperti kata seorang peserta JIM, persediaan persenjataan mereka yang ada sekarang diduga sudah cukup besar untuk melabrak tentara PRK dan ANS punya Sihanouk. Harap diingat, trauma Pol Pot masih besar di Kamboja. Dan tokoh yang berdiri di balik pembunuhan besar-besaran, yang selama empat tahun diperkirakan telah menghabisi satu sampai dua juta orang di Kamboja, kabarnya masih dianggap sebagai sang pemimpin. Barangkali, itu pula sebabnya mengapa Hun Sen, yang sembilan tahun silam membelot dari rezim Khmer Merah, tetap ngotot untuk menuntut "penyingkiran kepemimpinan Pol Pot..., dan penolakan terhadap kekuatan bersenjata Khmer Merah", sebagai salah satu dari tujuh syarat yang diajukan dalam mencari penyelesaian di Kamboja. Menlu Vietnam Nguyen Co Thac, menyatakan pemerintahnya, "menyambut dan mendukung sepenuhnya usulan tujuh butir", yang disodorkan PM Hun Sen. Menlu Alatas sendiri, setelah memandu pertemuan sehari di Istana Bogor yang teduh, nampak senang. Ia berpendapat sidang sehari berjalan "produktif", di bawah "suasana yang cukup baik", katanya. Alatas, yang selama empat tahun pernah berperan sebagai juru bicara Kelompok 77 UNCTAD di Jenewa, tampak bersemangat. Sekalipun, katanya, "tidak terlalu optimistis, maupun terlalu pesimistis". Ada satu hal penting yang barangkali membuat Alatas merasa optimistis: kedatangan Pangeran Sihanouk di Jakarta. Banyak orang menyayangkan mengapa dia tidak muncul di Bogor. Tapi Sukhumband Paribatra punya pendapat lain. Menurut dia, sidang justru akan berjalan lebih efektif dan berarti, tanpa peran serta sang pangeran. Bagi Sihanouk, demikian Paribatra, yang penting adalah kehadiran Vietnam. Apalagi yang hadir Menlu Co Thac sendiri, yang selain anggota politbiro, kini juga menjabat salah satu wakil ketua dewan para menteri kabinet Vietnam. Menlu Co Thac, yang punya humor, menaruh telapak tangannya di balik kupingnya ketika seorang wartawan bertanya, apakah dia akan menemui Sihanouk selama di Jakarta. "Maaf, saya tak bisa mendengar suara Anda," kelakarnya. Tapi PM Hun Sen kepada pers mengatakan, keempat pimpinan delegasi faksi Kamboja berniat menemui Sihanouk setelah usainya JIM." Sihanouk dikenal pandai melihat angin. "Dia memang suka emosional, tapi daya analisanya sangat tajam," kata seorang pengamat. Sihanouk rupanya tahu betul membaca peta politik RRC yang telah banyak berubah, termasuk dalam soal Khmer Merah. Kabarnya, Peking tak lagi mendesak kembalinya tentara Khmer Merah ke Kamboja sekalipun Cina juga keberatan kalau mereka dihapuskan. Kalau memang benar begitu, ada satu soal pelik yang boleh jadi masih mengganjal: Muangthai. Bicara soal dukungan Muangthai terhadap Khmer Merah, salah-salah mungkin bisa menggoyang tubuh ASEAN. Seperti kata Dr. Paribatra, "Masalah ini memang rumit sekali, karena melibatkan banyak unsur di Muanghtai: pihak militer, dewan keamanan nasional yang amat berpengaruh, dan beberapa tokoh politik." Paribatra menilai, soal yang satu ini butuh waktu yang tidak sebentar untuk dibicarakan. Bukan apa-apa. Para pemimpin di Negeri Gajah Putih tengah diarahkan menghadapi pemilu. Walau demikian, pengamat politik yang independen ini tak menutup kemungkinan, soal itu akan disinggung bila tiba waktunya. Mungkin masalah Khmer Merah ini juga akan bergantung pada upaya hubungan baik yang kini tengah dirintis antara Moskow dan Peking. Juga, sedikit banyak, peran AS. Ketika Menlu George Shultz berkunjung di Jakarta, dia mengatakan akan membicarakan masalah Khmer Merah dengan Deng Xiaoping. Termasuk pengiriman suplai senjata dari Cina untuk mereka. Jalan memang masih panjang untuk mencapai terobosan masalah Kamboja. Tapi, siapa tahu, dari Bogor, cahaya yang berada di ujung terowongan akan semakin mendekat. Susanto Pudjomartono dan Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini