SEBUAH berita bercerita. Sekelompok petani di suatu desa di Jawa Timur mengalami peristiwa pahit: tanaman kedelai mereka ditraktor oleh aparat pabrik gula, agar lahan mereka dapat ditanami tebu program TRI. Oleh pengadilan mereka juga didenda jutaan rupiah sebagai ganti rugi pada sebuah PTP yang mengelola program TRI. Sebelumnya, pada bulan Juni pula, ada berita lain. Sebuah harian Ibu Kota melaporkan perihal penderitaan fisik sejumlah petani dari suatu desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Para petani itu direndam dalam air, karena mereka tidak mampu membayar kredit yang mereka terima dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan program Supra-Insus. Berita-berita itu mengingatkan kita kepada kisah lama yang ditulis Multatuli, kisah Saijah, petani miskin yang harus berpisah dengan kerbau kesayangannya pada masa pemerintah Belanda menerapkan sistem "tanam paksa" atau cultuur stelsel. Padahal, kita hidup di masa kemerdekaan, ketika petani sebenarnya adalah pahlawan. Saya masih ingat, pada tahun-tahun pertama kita merdeka, pemerintah mengalami kesulitan ekonomi untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru kita rebut dari Belanda. Para petani Indonesia telah menyelamatkan kita semua sebagai bangsa. Dengan sukarela mereka menyerahkan surplus hasil pertanian mereka kepada pemerintah untuk ditukarkan dengan tekstil dan truk dari Indiauntuk mempertahankan kemerdekaan itu. Kemerdekaan bagi petani memang merupakan sesuatu yang sangat berharga, karena pada masa kolonialisme merekalah yang paling menderita. Karena menghargai makna kemerdekaan itulah maka para petani Indonesia dengan sukarela menyediakan makan dan perlindungan bagi mereka yang saat itu harus mengungsi ke desa karena serangan Belanda. Saya tidak dapat membayangkan apakah kita dapat menang perang melawan Belanda seandainya para petani Indonesia tidak mau membantu para prajurit gerilya kita dengan makan dan perlindungan. Kini pun pengorbanan petani masih dituntut. Mereka harus menanam padi dan mereka harus menanam tebu. Petani melakukan semua itu karena memang negara membutuhkan, walaupun mereka tahu bahwa apa yang harus mereka tanam itu secara ekonomis merugikan. Indeks nilai tukar produk pertanian terhadap barang bukan pertanian menurun dari 100 pada tahun 1976 menjadi hanya 66 persen pada 1985. Tetapi petani kita tidak protes karena mereka tahu tak ada gunanya, walaupun, menurut saya, pembangunan pertanian yang terjadi di negara kita saat ini pada dasarnya tidak sesuai dengan keinginan petani. Petani dalam hati kecilnya tidak ingin melaksanakan program TRI, tetapi mereka harus melaksanakannya. Mereka tidak ingin terus-menerus menanam padi, tetapi ingin menanam tanaman nonpadi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pembangunan pertanian mengharuskan mereka mengambil kredit, walaupun sebenarnya mereka tidak membutuhkannya. Dan apabila mereka tidak mampu membayar kredit itu, mereka harus menghadapi kemurkaan para aparat pemerintah. Hal-hal ini menunjukkan, bagi petani, pembangunan pertanian saat ini adalah sesuatu yang "asing", karena tidak membawa keuntungan ekonomis dan dilaksanakan dengan cara yang sering merampas kebebasan mereka. Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya menghargai pahlawan yang memiliki bintang jasa, tetapi juga menghargai pahlawan yang tidak berbintang Jasa: para petani. Kita, yang bukan petani, seharusnya mendoakan kesejahteraan mereka sebelum menikmati nasi dan lauk yang kita makan sehari-hari, karena itu semua adalah hasil kerja keras petani kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini