DUA pekan terakhir ini Beijing sudah bebenah diri. Pedagang kaki lima dihalau jauh-jauh, pembersih jalan bekerja siang malam. Tidak itu saja. Polisi memerintahkan penutupan sementara beberapa disko di hotel-hotel besar, yang biasanya penuh orang asing dan golongan gaoganzidi -- sanak saudara kader-kader petinggi Partai dan pemerintahan. Itulah kegiatan ibu kota Cina dalam menyongsong Kongres ke-1 Partai Komunis Cina, Ahad, 25 Oktobe baru lalu. Kongres itu sendiri dibuka oleh Perdana Menteri merangkap Sekjen Partai Zhac Ziyang -- dikenal sebagai salah satu pengikut Deng Xiaoping yang paling setia. Dalam ucapan selamat datang itu, Zhao menekankan bahwa untuk mencapai sosialisme, Cina memerlukan waktu 100 tahun lagi. Ia juga menandaskan perlunya pembagian kerja antara Partai dan administrasi negara. Andai kata gagasan ini disetujui, berarti kelompok pembaru Deng membuat lompatan besar yakni membatasi campur tangan Partai dalam gerak pembangunan. Seperti diketahui campur tangan itu selalu menghambat gerak kalau tidak menjegalnya sama sekali. Diingatkannya juga bahwa Cina tak mungkin kembali menutup diri pada dunia luar. "Tanpa reformasi struktur politik reformasi struktur ekonomi takkan berhasil," katanya. Ketika Zhao mengucapkan pidato itu, billboard yang ada di kedua sisi podium memancarkan pesan-pesan berbunyi, "Tingkatkan reformasi dan politik pintu terbuka." Kalau dilihat dari bunyinya saja, pidato Zhao itu bagaikan pertanda bahwa dalam pergulatan melawan konservatisme, sayap reformis di bawah orang kuat Deng Xiaoping dan Zhao Ziyang telah merebut kemenangan. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Dan pidato Zhao itu mungkin hanya merupakan bagian dari ofensif kaum reformis saja. Dalam beberapa pekan terakhir ini para pengamat Cina berspekulasi bahwa kumpul-kumpul 1.936 delegasi -- mewakili 46 juta anggota PKC -- di Beijing itu akan merupakan suatu showdown antara faksi reformis dan faksi konservatif. Namun, sebagian pengulas Cina berpendapat lain. Mereka memperkirakan yang sebaliknya: Kongres itu akan merupakan suatu forum untuk menunjukkan kepada rakyat Cina dan kepada dunia internasional bahwa para pemimpin Cina bersatu. Dan bahwa Empat Modernisasi (Si ge Xindaihua) dan reformasi masih tetap merupakan GBHN Cina. Tapi, ada atau tak ada piebu (duel) politik antara kedua kubu yang berlainan pendapat, Kongres tersebut sangat menentukan untuk Deng Xiaping. Karena kalau Deng memperoleh semua yang diinginkannya, lalu bisa dilihat dari sekarang siapa orang-orang yang kelak tampil sebagai penggede Partai lima tahun mendatang. Ini persiapan untuk regenerasi, di samping terpeliharanya kesinambungan program-program liberalisasi politik dan ekonomi yang telah dirintis sejak 1979. Masalah kepemimpinan ini, terutama siapa yang akan duduk di kursi perdana menteri dan sekjen Partai, akan menentukan kalah menangnya Deng Xiaoping dkk. Sudah dapat dipastikan bahwa Zhao Ziyang -- yang sejak kejatuhan Hu Yaobang merangkap jabatan perdana menteri dan sekjen Partai akan melepaskan kedudukan perdana menteri untuk memusatkan kegiatan pada jabatan sekjen Partai saja. Dalam masalah siapa yang akan jadi perdana menteri itulah persaingan reformis lawan konservatif akan sangat ketat (Lihat: Para Pendekar dari Selatan). Perlunya peremajaan didemonstrasikan dengan jelas pada hari pembukaan itu. Chen Yun, 82 tahun, tokoh ekonom konservatif yang juga menjabat Ketua Komisi Disiplin, datang ke sidang tertatih-tatih, dituntun oleh Zhao Ziyang. Ia hanya kuat duduk selama setengah jam, mendengarkan pidato Zhao yang lamanya dua setengah jam. Iaksionalisme memang sangat mewarnai PKC, baik pada masa sebelum RRC maupun setelah RRC berdiri. Pada masa pra-RRC, pertikaian faksi itu berkisar pada taktik perjuangan kaum komunis untuk merebut kekuasaan di Daratan Cina, terutama antara Mao dan lawan-lawan politiknya. Mao selalu berpegang pada argumen "Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Cina", dengan petani sebagai "sokoguru revolusi" dan strategi "kota mengepung desa". Sedangkan lawan-lawannya bersikeras memegang teori Marxis yang lebih ortodoks: "garis buruh dan kota". Semasa hidupnya sebagai pemimpin RRC, Almarhum Mao sekali lagi bertengkar dengan para "birokrat" Partai dan pemerintahan, dalam menentukan strategi pembangunan yang diarahkan menuju masyarakat sosialis dan kemudian komunis. Mao, yang selalu mengandalkan kekuatan massa, percaya bahwa pembangunan harus dilaksanakan dengan jiwa revolusioner, revolusi yang tak henti-hentinya dan mobilisasi massa. Lawan-lawan politik Mao lebih menganjurkan pembangunan ekonomi yang terencana dan terkoordinasi baik, serta menekankan pentingnya mengubah Cina sebagai negara industri secara bertahap. Itulah yang biasanya dinamakan "pola Soviet" dalam proses pembangunan di Cina. Karena Mao lebih banyak menang, periode 1958 (dimulainya gerakan Lompatan Jauh ke Muka) sampai 1978 (menjelang pelaksanaan reformasi) merupakan tahun-tahun gejolak, ketika pelbagai gerakan massa memegang peranan yang besar. Munculnya "orde Deng" pada tahun 1978 menandakan dimulainya pembangunan secara lebih "masuk akal dan terencana". Yang paling mencolok dari kepemimpinan Deng adalah diberlakukannya sistem ekonomi baru yang menjurus pada liberalisme. Maka, diperkenalkanlah sistem mekanisme pasar dan demokrasi ekonomi, dengan memperbolehkan usaha swasta beroperasi dan masuknya modal asing. Itu dihalalkan di bawah semboyan "mencari kekayaan bukanlah dosa ideologis". Kendati pembaruan Deng cukup populer di kalangan rakyat, tak berarti oposisi setuju. Perlawanan terhadap kebijaksanaan Deng justru datang dari kalangan tokoh tua Partai. Orang-orang seperti Chen Yun, Peng Chen, dan Li Xiannian bukannya tak menyetujui adanya reformasi dan modernisasi. Mereka hanya mempertanyakan seberapa jauh program liberalisasi ekonomi itu bisa ditolerir. Mereka menunjuk pada aspek-aspek negatif reformasi: sikap mementingkan diri sendiri, timbulnya "kelas baru", gaya hidup kebarat-baratan, sikap politik yang menjurus ke "demokrasi borjuis", dan korupsi. Topik-topik agaknya akan jadi agenda perbincangan ramai dalam kongres. Deng menginginkan perubahan konstitusi Partai, agar organisasi dan ideologi yang mendasarinya pas dengan era reformasi. Barangkali ini juga akan menjadi topik perdebatan hangat. Di RRC konstitusi Partai, bahkan UUD sekalipun, bukanlah sesuatu yang sakral dan harus diikuti secara konsekuen . Dan yang diperlukan konstitusi, identik dengan yang diperlukan rezim. Dan timbulnya rezim merupakan hasil perebutan kekuasaan atau "perjuangan kelas". Dengan demikian, suatu konstitusi merupakan hasil power struggle tersebut, sekaligus pengejawantahan keinginan faksi yang berkuasa. Apabila konstitusi Partai bisa diubah, akan terlihat hasil Kongres itu merupakan kemenangan salah satu sayap atau hanya sampai pada kompromi saja. Yang erat hubungannya dengan hal terakhir di atas adalah apa yang dinamakan liberalisasi politik. Yang dimaksudkan Deng bukanlah pemberian konsesi kepada rakyat dengan memberi mereka demokrasi -- apalagi kalau itu demokrasi model Barat. Yang disebut "liberalisasi politik" sekarang hanyalah terbatas pada pembagian tugas antara Partai dan pemerintahan -- tidak lebih. Menurut Deng, turut campurnya kader-kader Partai yang sering tak paham akan kebijaksanaan pemerintah telah mengakibatkan kemacetan dalam semua program. Ia akan mengusulkan, agar semua program modernisasi dan reformasi terlaksana dengan lancar, semua kader Partai yang ditempatkan dalam lembaga-lembaga pemerintahan ditarik. Dalam hal inilah Deng akan menghadapi oposisi hebat. Para ideolog dan kader-kader yan punya ested-interesis akan melawan usui itu. Alasannya, kalau itu dijalankan mereka akan kehilangan pengaruh dan pekerjaan. Buat semua kader dari semua tingkat, posisi mereka berkaitan erat dengan hak istimewa dan sumber nafkah. Akhir-akhir ini ada beberapa perkembangan yang tak menguntungkan bagi Deng. Misalnya saja peristiwa Tibet yang justru meletus tepat pada 1 Oktober -- hari jadi RRC. Itu bisa dipakai oleh lawan-lawan Deng untuk menggagalkan terpenuhinya semua keinginan orang penting RRC itu. Dengan demikian, bukan lagi kejutan kalau hasil Kongres ini juga berbau kompromi. A. Dahana, Seiichi Okawa (Jepang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini