Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sesudah kejatuhan jaffna

Dalam upaya merebut jaffna oleh tentara india dari gerilyawan macan tamil (ltte), korban sipil tak bisa dihindarkan. para gerilyawan membentuk pasukan berani mati & bermarkas besar di luar jaffna.

31 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARENA baku tembak kini sudah berpindah ke luar Jaffna. Barisan Macan Tamil tak lagi bergerilya di sini, tetapi tentara India juga belum 100% menguasai basis pertahanan Tamil itu. Masih ada perlawanan kecil di satu dua pojok, kendati Jumat pekan lalu aliran listrik dan air sudah dinormalkan kembali. Kantor polisi, balai kota, pusat telekomunikasi, kampus universitas, dan akhirnya rumah sakit, semua telah diduduki pasukan India. Armada tank berjaga-jaga di jalur-jalur yang diduga akan dilewati gerilyawan Macan Tamil. Namun, sukses bulat belum bisa diraih pasukan India yang oleh PM Rajiv Gandhi dimaksudkan menjaga kewibawaan perjanjian 29 Juli itu. Dan jam malam masih diberlakukan di sana. Bagi Macan Tamil, Jaffna bukan pertempuran terakhir. Dengan sisa-sisa pasukan yang ada, dibentuk pasukan berani mati, berkekuatan 500 orang. Mereka ini bersenjatakan bom yang lekat tertempel di badan masing-masing. Ini dijelaskan pejabat pemimpin Tamil Eelam, Mahattaya, yang juga bicara tentang empat tahap strategi perjuangan Tamil. Keempat tahap itu: pertempuran satu lawan satu, membiarkan India maju untuk dihantam dari belakang, taktik kamikaze, dan terakhir perjuangan bawah tanah. Di samping itu, masih ada Nallur, untuk menyebut salah satu basis pertahanan mereka. Dari kota, mereka menyusup di antara rombongan pengungsi menuju ke Kuil Nallur atau kantung-kantung mereka yang lain. Kuil itu sendiri sudah mulai didekati oleh tentara India. Repotnya, sekitar 100 ribu warga sipil ikut berdiam pula di situ. "Kami tidak berani bertindak terlalu cepat ke sana," kata Mayjen A.S. Kalkat, komandan operasi pasukan India di Jaffna, kepada para wartawan. "Kami sudah minta penduduk sipil agar meninggalkan tempat itu sebelum kami bertindak." Penduduk sipil yang mana adalah soal lain lagi yang harus dihadapi anak buah Kalkat. Di wilayah Semenanjung Jaffna, jauh dari kota, dukungan warga desa masih kuat untuk Macan Tamil. Pekan lalu para gerilyawan masih leluasa mondar-mandir. Wartawan TEMPO di sana, yang harus mengendap-endap dari pengamatan pasukan India, melaporkan bahwa spanduk-spanduk dan poster yang memuat gambar para martir Tamil-khususnya yang tiga pekan lalu membunuh diri dengan menelan kapsul sianida -- bertebaran di kawasan pedesaan itu. Imbauan untuk memperkuat dukungan kepada perjuangan Tamil dan gerakan Macan Tamil tertulis di spanduk-spanduk itu. Bendera warna merah dengan gambar macan plus dua senjata berkibaran di bubungan atap rumah-rumah penduduk. Di mata pasukan India, rumah-rumah sipil itu pantas dicurigai sebagai sarang Macan Tamil Maka, penggeledahan dengan cara khas prajurit tempur tak jarang menimbulkan korban. Dalam operasi yang disebut "kejar dan hancurkan", hasilnya antara lain adalah Ny. Mahendra, yang kini harus mendekam di rumah sakit Desa Mandikai dalam keadaan terluka di dada dan kaki. Kedua orangtuanya tewas. Tetangganya itu kini berbaring di bangsal yang sama, dalam keadaan diperban rapat, kecuali mukanya. Diperkirakan 200 warga sipil tewas, belum yang cedera. Siapa menyerang? "Orang Nepal," jawab Ny. Mahendra. Maksudnya adalah orang-orang Ghurka yang tergabung dalam angkatan darat India. Mungkin karena itu Tamil menolak amnesti terbatas yang ditawarkan India. Karena itu pula Macan Tamil kemudian memperoleh dukungan dari kalangan universitas di samping dari warga desa. K. Visakulan, seorang dosen di Universitas Jaffna, mengatakan kepada TEMPO, "Kami berada di belakang mereka sepenuhnya." Alasan lain dari pak dosen adalah, "Konflik ini adalah antara orang-orang Tamil. India tidak ada urusan di sini." Tak segan-segan ia menyediakan minuman dan makanan untuk Macan Tamil yang berlarian menghindari helikopter India. Di pihak Macan Tamil sendiri, semangat tak pernah pupus. Coba simak kata Anton Balasingham, 40 tahun, pejabat politik Macan Tamil yang ditemui TEMPO di salah satu markas mereka di Valveditturai, 10 kilometer dari Jaffna. "Kami akan melanjutkan perjuangan di tempat berbeda," katanya, tanpa gentar. "Ratusan anggota kami sudah disiagakan, mereka rela mati sesuai dengan sumpah Macan Hitam," tutur Anton. "Kami memang kalah di Jaffna, tetapi kami akan bangkit kembali." Dukungan personel telah pula diprogramkan. Rekruitmen para Macan muda terus dilakukan. Minimal berusia 15 tahun, maksimal 25 tahun -- selebihnya tak diterima. Menurut Baskaran, staf bagian politik mereka, "Pada usia muda, sifat-sifat khusus bisa dibina. Kesetiaan total terjamin." Kemudaan tampaknya menjadi hal yang utama. Komandan mereka sendiri, Velupillai Prabhakaran, masih berusia 33 tahun. Selama tiga bulan anak-anak muda itu mendapatkan drill menggunakan senjata, membuat bom-bom jellignite, dan memasang ranjau. Senjata, selain AK-47 dan M-16, ada pula pistol Baretta dan Browning. Mereka harus menaati tiga sila utama: tidak merokok, tidak minum alkohol, dan pantang menikah. Anggota laki-laki dan perempuan boleh bergaul hanya dalam pertemuan-pertemuan kelompok. Tiga hari dalam satu pekan, indoktrinasi politik adalah menu wajib. Pada akhir masa latihan, masing-masing memperoleh nama baru, agar kalau tertangkap, tidak ketahuan dari keluarga siapa. Ini demi keselamatan saudara-saudara atau orangtua mereka yang tidak ikut. Selain nama, pembaptisan dikompletkan dengan pemberian bekal seuntai kalung bermata kapsul sianida, yang disebut kuppy. Menurut Baskaran, kuppy mereka gunakan sudah sejak 1983, ketika kerusuhan akibat konflik Sinhale dengan Tamil mulai berkecamuk. Di antara mereka ada gadis bernama Darshan. Sesuai dengan peraturan Macan Tamil, gadis berusia 22 tahun ini rambutnya dikepang dua. Darshan sudah menjadi anggota sejak tiga tahun lalu, ketika ia masih kuliah di Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Jaffna. "Saya menjadi anggota Macan Tamil karena saya menginginkan kemerdekaan bagi bangsa Tamil. Kami telah menderita banyak," tutur Darshan. "Untuk itu, saya rela membunuh atau dibunuh," tambah gadis yang selalu bersenjatakan pistol ini. Keterlibatannya dalam Macan Tamil mendapatkan restu orangtua. Lain halnya Poppa, yang dilarang orangtuanya. "Orangtua saya kolot," kata Poppa, 19 tahun. "Saya tidak mau terus-menerus dijajah kaum Sinhale. Orang Tamil di Sri Lanka ini tidak punya hak sama sekali. Saya rela mati demi perjuangan ini." Setelah mengatakan itu, ia segera mengayuh sepeda menuju front di tepi Kota Jaffna. Bekalnya granat, pistol Baretta, dan peluru, yang ia simpan di balik kemejanya. "Saya mendapat tugas memasang ranjau di jalanan yang akan dilewati konvoi pasukan India," ujar Poppa sebelum menjauh. Di atas kertas, perlawanan mereka seperti mustahil. Dengan kekuatan hanya sekitar 3.000 personel, berbekal senjata sekadar AK-47, sebagian M- 16, pistol dan granat buatan lokal, plus segenggam fanatisme, Macan Tamil musti menghadapi hampir 20 ribu tentara India yang senjatanya jauh lebih lengkap, mulai dari howitzer, senapan mesin, sampai artileri medan dan tank. Nyali plus kapsul sianida (untuk menghindari interogasi) tampaknya menjadi modal utama Macam Tamil. "Menghadapi tentara India, bagi kami merupakan soal hidup atau mati," kata Anton. Secara politis, posisi mereka sekarang sudah tidak sekuat dulu. Terutama setelah Presiden Junius Jayewardene menyatakan bahwa referendum untuk menentukan penggabungan provinsi di timur dengan utara ditunda -- sampai kerusuhan di Jaffna reda. Sesuai dengan Perjanjian 29 Juli, referendum dan pemilihan anggota dewan perwakilan provinsi merupakan satu langkah maju untuk melibat Macan Tamil dalam proses politik. Dari 17 kursi untuk provinsi utara, mereka mendapatkan 12 suara. Berkaitan dengan soal itu, Anton punya kilah. "Kami dituduh melanggar akta perjanjian, padahal justru pemerintah India dan Colombo yang tidak menepatinya," katanya. "Kami bersedia menyerahkan senjata kalau sistem keamanan dengan anggota orang-orang Tamil telah terbentuk. Tetapi, sebelum itu malah pihak mereka menuntut kami menyerahkan semua senjata." Bagi Rajiv Gandhi dan Junius Jayewardene, perjanjian 29 Juli itu sendiri juga mengandung sisi-sisi yang secara politis membahayakan pihak masing-masing. Lebih dari sekadar tantangan dari pihak oposisi, beberapa pasal di dalamnya melemahkan posisi Sri Lanka dan bisa menjebak India untuk terperangkap terlalu jauh. Misalnya, menyangkut pemberian konsesi bagi India untuk menghidupkan Trincomalee sebagai pusat penampungan minyak -- dalam suatu kerja sama. Tak ada negeri lain mana pun boleh menggunakan Trincomalle dan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Sri Lanka untuk kepentingan militer, terutama yang merugikan kepentingan India. Jayewardene, dalam pidato Sabtu pekan lalu berjudul Dalam Perang, Negeri Mana pun Perlu Kawan, membeberkan mengapa ia akhirnya membuat persetujuan seperti itu dengan India. Katanya, antara lain, "Ketika kita perlu bantuan dari negeri-negeri di dunia, tak ada satu pun yang menyambut, kecuali India. Maka, tak ada salahnya uluran itu langsung kita terima." Pidato itu dimuat koran The Island, pekan lalu. Sebenarnya, bagi India, kecuali secara politis bisa mengangkangi tetangga di selatan itu, tak ada keuntungan lain -- bahkan harus keluar biaya besar. Untuk pasukannya saja, kata sumber di Colombo, per hari perlu mengeluarkan 30 juta rupee (sekitar US$ 1 juta). Belum korban nyawa yang menurut catatan mereka sudah 100 tewas, 450 terluka, dan 27 lenyap. Dan ini belum segera akan selesai. Di Jaffna saja, mereka masih perlu tenaga ekstra. Sebuah parit meliuk-liuk di bawah kota sepanjang 3.000 meter merupakan satu dari sejumlah sarang persembunyian Macan Tamil yang belum terjamah. Masih terdengar peluru mendesing. Dan, "Masih perlu operasi pembersihan," kata Mayjen Kalkat. Mohamad Cholid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus