TEKA-TEKI mengenai Saddam Hussein kini bertambah lagi. Sejak pekan silam puluhan pesawat tempur dan pengebom Irak mendarat di Iran untuk tujuan yang tak jelas. Sampai Sabtu minggu lalu jumlah pesawat yang hengkang itu tercatat 200 buah. Yang membuat peninjau-peninjau militer terheran-heran bahwa pesawat-pesawat itu, yang jadi andalan dan tulang punggung angkatan bersenjata Irak, seharusnya bertempur mencegat serangan pasukan Sekutu, dan bersiap-siap membantu lajunya pasukan infanteri dalam perang darat yang diperkirakan segera pecah. Pesawat-pesawat terbang yang hengkang ke Iran itu dikatakan andalan karena merupakan jenis mesin perang mutakhir yang dimiliki Irak: mulai dari MiG-29, MiG-25, Sukhoi-24S (semua buatan Uni Soviet) sampai Mirage buatan Prancis. Mengapa penerbang-penerbang Irak itu melarikan diri? Amerika memandang kaburnya pesawat-pesawat itu sebagai tanda-tanda kelemahan Irak. Saddam, menurut analis militer mereka, tak punya kontrol atas pesawat-pesawat tersebut. Seorang pejabat senior Pentagon (Departemen Pertahanan Amerika) malah dengan tegas mengatakan bahwa kejadian tersebut sebagai akibat keputusasaan angkatan udara Irak karena pengeboman sistematis dan tak kenal ampun yang dilakukan pasukan Sekutu. "Pada waktu kami mengejar pesawat-pesawat itu sampai ke tempat persembunyiannya di bawah tanah, mereka pun segera melarikannya," katanya. Pejabat itu tak berani mengatakan bahwa pilot-pilot Irak itu lari dari pertempuran walau menurut dia indikasi tersebut cukup kuat. Sementara itu, versi pilot-pilot pilihan Irak yang hengkang itu keberadaan mereka di Iran sebagai "pendaratan darurat". Mungkinkah "ada main" antara Baghdad dan Teheran? Sebegitu jauh tak ada tanda-tanda yang menguatkan dugaan tersebut. Malah, menurut Duta Besar Iran di PBB, Kamal Kharrazi, "Pesawat-pesawat itu akan ditahan sampai perang selesai." Kharrazi menambahkan mengenai keterkejutan pemerintah Iran oleh "pendaratan" pesawat-pesawat tersebut. Ketika wartawan televisi CBS menanyakan apakah sikap Iran akan berubah bilamana Israel terlibat dalam perang, Kharrazi dengan sigap menjawab, "Pembebasan tanah Palestina tak menyebabkan pendudukan atas Kuwait menjadi halal." Jawaban Kharrazi itu dipertegas oleh sumber Departemen Luar Negeri Amerika bahwa Washington telah beberapa kali dibisiki Teheran, dan juga lewat Uni Soviet, bahwa mereka akan bersikap netral dalam konflik Teluk. Kalangan Deplu Amerika menambahkan, "Walaupun pendapat umum di Iran masih menganggap Amerika sebagai 'setan mahabesar', mereka tak ingin memusuhi Amerika dalam konflik Teluk." Sementara itu, Inggris dikabarkan telah mengingatkan Teheran bersikap netral juga berarti tak memberikan fasilitas kepada pesawat-pesawat Irak yang hengkang itu untuk meninggalkan wilayah Iran, apalagi terjun ke pertempuran. Pengamat-pengamat masalah Timur Tengah juga melihat kemungkinan Iran memihak Irak sebagai suatu hal yang tak mungkin. Alasannya: walau Iran dan Irak telah berbaikan, Teheran pasti tak akan lupa kesengsaraan selama sembilan tahun perang yang mereka sebut sebagai akibat ulah Saddam. Selain itu, Iran tak ingin Saddam melakukan langkah yang dianggap "benar", seperti mundur dari Kuwait, sebelum Irak betul-betul kalah. Pendek kata, Iran sangat berkepentingan dengan sebuah Irak yang lemah. Namun, ada juga yang mengatakan sikap netral Iran itu hanya sementara. Ada faktor-faktor yang bisa membuatnya terjun ke dalam perang. Yang paling utama tentu saja soal agama. Iran mungkin saja bersimpati kepada nasib rakyat Irak, mayoritas pemeluk Syiah, yang menderita akibat serangan bom pasukan Sekutu yang tak kenal kasihan. Kalau pemerintahan Presiden Ali Rafsanjani ditekan pendapat umum untuk membela kaum Syiah Irak, ada kemungkinan Iran akan membantu Irak. Beberapa surat kabar Mesir memberi alasan yang berbeda-beda mengenai teka-teki hubungan Iran-Irak dalam kasus hengkangnya 200 pesawat Irak. Tabloid An Nour (Cahaya) terbitan 31 Januari menulis adanya semacam perjanjian rahasia antara kedua negara. Perkiraan itu didasarkan pada keterangan Saddam ketika diwawancarai wartawan CNN, Peter Arnett, mengenai sikap Teheran yang akan menahan pesawat-pesawat Irak yang mendarat di Iran sampai perang selesai. "Saya akan menghormati setiap keputusan Iran," kata Saddam. Alasan lain, menurut tabloid itu, Saddam justru ingin menyelamatkan angkatan udara Irak supaya masih bisa berperan di kawasan itu pada masa pascaperang nanti. Sedangkan surat kabar Al Hayat (Kehidupan) mendasarkan perkiraannya atas berita yang tak dapat dikonfirmasikan yang dilansir kantor berita Soviet, Intervax. Menurut kantor berita itu, Panglima Angkatan Udara dan Panglima Pertahanan Udara Irak telah dieksekusi lantaran kegagalannya menangkal serangan pasukan Sekutu. Keputusan tersebut membuat pilot-pilot Irak ngambek, lalu menyingkir ke negara terdekat. Sementara itu, koran Al Ahrar (Kebebasan) menulis bahwa pesawat-pesawat Irak juga diungsikan ke Sudan dan Yaman. Sumber Pentagon yang tak mau ditulis namanya meragukan kebenaran berita yang dilansir Intervax itu. "Penelusuran intelijen tak mendukung berita tentang eksekusi tersebut," katanya. Namun, menurut seorang perwira marinir Irak yang tertawan pihak Sekutu, pesawat-pesawat itu memang menyingkir dari pertempuran karena diperintahkan oleh komandan mereka. Dikatakan pilot-pilot itu mendapat instruksi untuk lari ke Iran apabila dalam bahaya. Galal Duwaidar, analis masalah kemiliteran pada harian Akhbar (Berita), mengatakan bahwa larinya pesawat-pesawat Irak itu adalah salah satu usaha Saddam untuk menyeret Iran ke dalam perang. Itu dilakukan lantaran usahanya untuk menyeret Israel sebegitu jauh tak berhasil. Dengan cara itu, Saddam mengharapkan pesawat-pesawat pasukan Sekutu melanggar wilayah udara Iran, dan hal tersebut mau tak mau akan mendorong Iran ikut mengangkat senjata. Tapi, sebegitu jauh Rafsanjani berhasil meredam usaha Irak tersebut. Iran memang tak bedanya dengan sebutan "kuda hitam" dalam percaturan politik dan militer di Timur Tengah sekarang. Pendapat umum di Yordania banyak persamaannya dengan apa yang ditulis Al Hayat. Iran, menurut pendapat umum itu, menyambut baik pembelotan pilot-pilot Irak tersebut atas dasar keuntungan yang akan dinikmati Iran. Iran menahan pesawat-pesawat itu dan dengan demikian berhasil meredam Saddam dan "membantu" Amerika secara tak langsung. Tapi, janji untuk menahan pesawat-pesawat itu dibarengi pula dengan tekanan kepada Amerika untuk memungkinkan adanya genjatan senjata. Apabila itu tercapai, Iran akan memetik kredit sebagai pemrakarsa perdamaian di kawasan Teluk. Godaan terhadap Iran untuk terjun ke dalam peperangan memang cukup besar sehingga upaya mereka menahan diri tetap netral tidak mudah. Apalagi kalau itu dihubungkan dengan polarisasi kekuasaan di Iran. Tokoh-tokoh "elang" dalam Majelis (Parlemen) seperti bekas Menteri Dalam Negeri Ali Akbar Mohtashemi, Ketua Parlemen Mehdi Karrubi, dan Akhmad Khomeini, putera almarhum Ayatullah Khomeini, pekan lalu menyerukan dilancarkannya perang Jihad terhadap Amerika dan sekutunya. Alasannya, serangan pasukan Sekutu atas Irak jauh lebih berbahaya ketimbang serangan Irak atas Kuwait. Namun, Presiden Rafsanjani, dengan dukungan pemimpin spiritual Ayatullah Khamenei, tetap bertahan untuk netral. Khamenei boleh saja memaki Presiden George Bush sebagai pembunuh warga sipil, tapi ucapan-ucapannya tentang Irak lebih pedas. Ia mengutuk Saddam sebagai berjuang dengan motif yang salah, sekuler, dan tak suci. "Adalah tindakan bunuh diri untuk mengirim orang Iran bertempur demi Irak yang bermaksud mengubah Teluk Persia menjadi Teluk Arab," kata Rafsanjani. Sikap netral Iran bukan tanpa alasan. Negeri masih morat-marit sebagai akibat perang sembilan tahun lawan Irak. Lalu, tahun silam gempa mengguncang negeri itu pula. Keadaan ini memaksa Iran lebih memperhatikan keadaan dalam negeri --yang untuk pemulihannya memerlukan bantuan ekonomi, terutama dari negara-negara Barat. Maka, keterbukaan terhadap Barat, paling tidak Eropa Barat, dan Jepang merupakan faktor penting. Faktor itu pula yang mendorong Iran mengutuk penyerbuan Irak atas Kuwait dan menyerukan penarikan pasukan pendudukan dari sana. Posisi Iran kemudian diuntungkan pula dengan mendaratnya pesawat-pesawat Irak. Dengan menerima pesawat-pesawat itu pemerintahan Rafsanjani berhasil meredam tekanan golongan radikal dalam negeri untuk terjun perang demi membantu saudara-saudara sesama Syiah yang sedang dihantam oleh si "Setan Bes- ar". Di samping itu, "penahanan" pesawat-pesawat tersebut bisa pula digunakan sebagai alat untuk menekan Saddam untuk tidak berbuat macam-macam terhadap Iran, andai kata orang kuat Irak tersebut tetap berkuasa setelah Perang Teluk. Sayangnya, Amerika sering membuat kesalahan yang sama. Selama ini Amerika selalu memandang Iran dengan penuh kecurigaan karena insiden sandera sekitar sepuluh tahun lalu. Maka, Iran selalu pula curiga bahwa Amerika punya maksud-maksud politik tertentu terhadapnya. Padahal, untuk suatu kawasan Teluk yang aman dan damai setelah perang selesai nanti, Amerika perlu berbicara dengan Iran. Dari segi strategis, normalisasi hubungan Iran-Amerika akan sangat menguntungkan Washington. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, Iran, dan bukan Irak, jadi momok bagi kebijaksanaan Amerika di Timur Tengah. Adanya krisis sekarang merupakan peluang bagi kedua negara untuk mengadakan pendekatan. Apa pun yang terjadi, tampaknya, Iran adalah pihak yang paling diuntungkan apabila perang usai. Irak akan lemah, dan ancaman terhadap sekuriti Iran dengan sendirinya akan lenyap. Malah, Iran akan tumbuh jadi kekuatan lokal yang disegani. Yang menjengkelkan Iran sekarang adalah pencemaran ekologi sebagai akibat penuangan minyak (diduga dilakukan Irak untuk merusak sumber air minum Arab Saudi) ke Teluk. Bagaimanapun, Iran ikut menanggung akibat pencemaran tersebut karena perairan tersebut juga merupakan perairan mereka. Maka, Iran menawarkan kerja sama dengan badan-badan internasional untuk menanggulangi pencemaran tersebut. Langkah itu tentu akan mendapat simpati kalangan internasional. A. Dahana (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kabul)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini