INILAH tekad Irak. Dari pisau dapur, peluru, sampai bom bakal digunakan untuk menahan laju tentara Sekutu yang mencoba mengusir Irak dari Kuwait. "Bahkan senjata penyebar maut secara masal juga akan digunakan," tutur surat kabar departemen pertahanan Irak, Al-Qadisiyah. Apalagi kalau bukan senjata kimia yang dimaksud. Tampaknya, Irak bukan sekadar menggertak. Paling sedikit tercatat dua kali ia memakai senjata yang mengerikan itu. Pertama ketika perang delapan tahun melawan Iran, dan saat menumpas pemberontakan separatis Kurdi. Senjata kimia jenis cyanida, misalnya, ketika terisap ke dalam tubuh manusia, ia segera merasuk ke dalam darah, dan akibatnya darah tak bisa lagi mengangkut oksigen. Yang lebih jahat adalah gas mustar. Kalau toh mereka sempat segera diungsikan dan selamat, bertahun-tahun kemudian berbagai penyakit masih akan tinggal. Tulang menjadi rapuh, usus dan saluran pencernaan bergantian akan terkena penyakit. Maret 1988, pasukan Iran yang menduduki Kota Halabja merasakan kejahatan senjata ini. Di kota berpenduduk 70 ribu orang ini kaum pemberontak Kurdi ikut pula mengangkat senjata, berpihak pada Iran. Kota itu terletak di dekat Danau Darbandi Khan yang sangat berarti. Sebagian besar listrik Kota Baghdad dan irigasi dipasok dari sini. Situasi genting ini dijawab dengan bom kimia. Seperti cerita musnahnya Kota Pompeii, tubuh-tubuh bergeletakan di sepanjang jalan. Tercatat sekitar 4.000 orang tewas, sebagian besar suku Kurdi. Agustus empat bulan kemudian, Irak kembali mengebom posisi pemberontak Kurdi yang berada di Utara, dekat Turki. Pagi-pagi pukul tujuh, sebuah pesawat menjatuhkan bom maut itu di Dusun Mesi. "Mirip kabut putih yang menyebar. Tapi, begitu sampai ke mata, langsung terasa membakar," kata seorang saksi yang sempat lari ke Turki. Sebenarnya, ada Konvensi Jenewa tahun 1925 yang melarang penggunaan senjata kimia. Cuma sejauh ini Irak tak bisa diberi sanksi. Dengan cerdik Irak memanfaatkan tak diaturnya larangan suatu negara menggunakan senjata kimia di wilayahnya sendiri. Buat negara Dunia Ketiga, senjata kimia memang pilihan yang paling baik. Untuk menjangkau nuklir, mereka jelas tak mampu. Risetnya terlampau mahal. Senjata kimia sangat murah, unsur-unsurnya bisa dibeli di mana-mana -- maka dijuluki sebagai "bom atom orang miskin". Pembuatannya pun sangat sederhana. Itu sebabnya pembatasan sangat sulit dilaksanakan. Tak seperti nuklir, yang mudah dikontrol, karena hanya negara-negara tertentu yang menguasai teknologinya. Irak sudah sejak 1975 mempersiapkan kemampuan unit-unit tempurnya dalam menghadapi perang kimia, dengan bantuan Jerman (Timur). Sejauh ini, tampaknya belum terbukti bahwa Irak mampu memuatkan senjata kimia dalam ujung rudal Hussein atau Abbas. Tapi kalau sekadar dipasang di ujung peluru yang dilontarkan meriam biasa, sudah bisa. Sebenarnya, Amerika juga memiliki senjata jahat itu. Bahkan negara-negara Barat adalah pelopor penggunaan senjata ini ketika Perang Dunia I berlangsung. Di gudang senjata Amerika juga ada senjata nuklir taktis. Ini senjata nuklir dengan kemampuan cuma seperseratus bom atom Hiroshima. Cuma, daya ledaknya luar biasa kuatnya, belum lagi radiasinya menyusup ke lubang-lubang persembunyian tentara Irak. Persoalannya sekarang apakah pihak-pihak yang bersengketa akan menggunakan pembunuh manusia yang membuat bulu roma berdiri ini. Kalau benar, maka Perang Teluk akan meluas menjadi perusakan lingkungan dan umat manusia yang belum ada bandingannya dalam sejarah. Adriyono K. Adi (Berlin), YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini