Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berjabat tangan, berpelukan, mencium pipi kanan-kiri layaknya dua sohib lama. Sabtu malam dua pekan lalu, keduanya bertemu. Yang satu presiden, yang lain perdana menteri. Semuanya simbolis. Presiden Palestina Mahmud Abbas dan PM Israel Ehud Olmert masing-masing seakan mewakili bangsanya. Di depan kediaman Olmert di Yerusalem itu, bendera hitam-hijau-putih dengan segitiga merahnya Palestina, dan Bintang Daudnya Israel berdampingan.
Satu lagi simbol yang patut dicatat. Malam itu Olmert memanggil Abbas ”Mr. President”—bukan ”Pak Ketua” sebagaimana biasanya selama ini.
Pertemuan itu tidak benar-benar menyentuh inti persoalan, status Palestina, tapi hasilnya luar biasa. Olmert berjanji akan mencairkan US$ 100 juta (lebih dari Rp 900 miliar) dari total US$ 500 juta pendapatan pajak hak rakyat Palestina, yang sejauh ini ditahan pemerintah Israel. Sesuatu yang dilakukan Israel sejak Hamas memerintah pada Februari lalu. Olmert berpesan, uang itu akan ditransfer melalui kantor Abbas, atau bisa juga langsung ke rumah-rumah sakit sebagai bantuan kemanusiaan. Segalanya akan berjalan sesuai rencana, asal Hamas sama sekali tak dilibatkan.
Blokade atas uang hasil pajak ini telah mengakibatkan pegawai negeri Palestina hidup tanpa gaji selama sekitar 10 bulan. Ketiadaan uang di saku pemerintahan Hamas juga menjadi salah satu pemicu bentrok kelompok Fatah-Hamas, terutama yang bekerja di pemerintahan.
Olmert juga berjanji menghapus sejumlah pos pemeriksaan di Tepi Barat dan lebih melancarkan lalu lintas, terutama untuk perdagangan, di Jalur Gaza. Ia bahkan berencana menghidupkan kembali komite bersama pengendalian keamanan antara tentara Israel dan Palestina, yang berhenti berfungsi sejak Hamas memerintah. Syaratnya satu: mereka hanya loyal pada Abbas. Di samping itu, Israel juga telah mengizinkan Mesir dan Yordania memasok 5.000 senapan mesin dan jutaan butir peluru untuk pasukan pengawal Abbas. Lagi-lagi, kewenangan pemerintah Hamas dilangkahi.
Pembebasan tahanan juga dijanjikan. Sebelum Hari Raya Idul Adha, Olmert akan melepaskan beberapa puluh tahanan Palestina di Israel—saat ini ada 9.000-an tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Semula pemerintah Israel berkukuh tidak akan membebaskan tawanan sebelum Kopral Gilad Shalit yang diculik Hamas pada 25 Juni lalu dibebaskan.
Lebih jauh, Abbas-Olmert juga membicarakan persoalan penting: kembali ke Peta Jalan Damai yang merupakan inisiatif Amerika Serikat, salah satu anggota kuartet bersama Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Road Map yang dideklarasikan Presiden AS, George W. Bush, pada 24 Juni 2002 itu mengajukan ”solusi dua negara”: Palestina yang hidup damai berdampingan dengan Israel. Menurut juru bicara Olmert, pemerintah Israel siap menjalankan rencana Peta Jalan Damai tahap pertama dan kedua: menghentikan kekerasan dan mengakui negara Palestina dengan batas-batas sementara sebelum batas yang pasti disepakati.
Di permukaan, baik Abbas maupun Olmert, bahkan Presiden Bush, senang dengan pertemuan itu. Abbas menawarkan perundingan ”jalan belakang” kepada Olmert agar tidak terlalu terbelit dengan ”birokrasi” Hamas. ”Ini saat yang tepat untuk membahas isu konflik Palestina-Israel dengan serius,” Abbas menegaskan. Abbas seperti sudah putus asa berurusan dengan Hamas yang tidak bersedia mengakui Israel setelah gagalnya rencana pembentukan pemerintahan persatuan nasional yang diisi tokoh-tokoh teknokrat nonpolitik. Abbas bahkan mengancam akan mengadakan pemilihan umum parlemen, dalam tiga pekan mendatang.
Sementara itu, Olmert yang selama ini terus ditekan pemerintah AS agar membuka perundingan dengan Palestina merasa mendapat mitra berunding. Sejak Intifada II, 2000, perdebatan soal ”partner perundingan” dari sisi Palestina menjadi perdebatan keras dalam pemerintahan dan Knesset atau parlemen Israel. Langkah sepihak bekas PM Ariel Sharon menarik pemukim Yahudi dari Gaza, Agustus 2005, disusul langkah sama Olmert dari Tepi Barat. Keduanya merupakan bukti kebuntuan perundingan.
Semua bergerak seirama, secepat kilat. Presiden AS Bush malah yakin akan mewujudkan resep perdamaian baru Palestina-Israel dimulai dengan deklarasi negara Palestina dengan batas-batas sementara sebelum akhir 2007. Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice telah dijadwalkan bertemu Abbas di Amman, Yordania, pertengahan Januari 2007. Pemerintah AS juga sedang melobi Kongres agar diizinkan memberikan bantuan US$ 100 juta untuk membantu kekuatan militer Abbas.
Namun, yang terjadi di luar tidak sama dengan yang di dalam. Hamas bereaksi keras. Ismail Radwan, juru bicara Hamas, menyebutkan bahwa seharusnya Abbas berunding soal pemerintah persatuan dengan Haniyah, bukan bertemu Olmert. ”Ia tidak mengacuhkan kami sejak kami memerintah,” kata Ahmad Yusuf, penasihat Haniyah.
Olmert juga dikritik keras. ”Konsesi yang diberikan kepada Abbas hanya akan menguntungkan Hamas,” kata pemimpin Partai Likud, Benyamin Ne-tanyahu. Anggota Knesset dari Likud, Yuval Steinitz, menganjurkan lebih baik pemerintah Israel meningkatkan operasi militer di Gaza. Untuk Tepi Barat, Steinitz mengusulkan pembubaran Otoritas Palestina dan menggantinya dengan pemerintahan otonomi kota berkekuasaan terbatas.
Ya, pemerintahan Olmert, dengan kemenangan tipis partainya, Kadima, pada pemilu Maret lalu, sedang di ujung tanduk. Langkah unilateral Sharon yang dilanjutkan Olmert tidak membuahkan perdamaian bagi Israel. Perang dengan Hizbullah di Libanon, pertengahan 2006, dan beberapa skandal korupsi, termasuk melibatkan Olmert, melemahkan pemerintahan Olmert. The Economist bahkan meramalkan Knesset akan menuntut pemilihan umum dini.
Olmert berusaha membangkitkan popularitas yang jatuh. Dan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah dengan menggaet Abbas, sekaligus menyingkirkan Haniyah berikut Hamasnya. Hamas telah digencet habis-habisan. Bahkan bantuan yang diterima Haniyah berupa uang tunai sekitar US$ 45 juta (Rp 405 miliar) dari hasil kunjungan ke beberapa negara seperti Iran, Suriah, dan Bahrain bulan lalu ditahan tentara Israel.
Kini semua jelas. Semakin sukses Abbas di panggung diplomasi, semakin besar ancaman perpecahan di dalam negeri. Intensitas perseteruan Hamas-Fatah semakin kental dalam dua bulan belakangan ini. Fatah menuduh Hamas berencana membunuh Abbas, dan Hamas menuduh Fatah memiliki niat serupa terhadap Haniyah. Ditambah dengan Olmert yang menggunakan ini untuk mengisolasi Hamas, tampaklah bahwa medan pertarungan politik di dalam negeri kian panas.
Semuanya lebih banyak tergantung pada Abbas, mampukah dia mengutamakan kepentingan rakyat Palestina secara keseluruhan dan tetap bersedia merangkul Hamas.
Faisal Assegaf (Arutz Sheva, Haaretz, IHT, Yedioth Ahronoth)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo