Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tuvalu merupakan negara paling terancam terhadap risiko perubahan iklim dan naiknya permukaan laut. Saat air pasang, hingga 40 persen wilayah ibu kota distrik Tuvalu terendam air. Negara ini juga diperkirakan akan tenggelam pada akhir abad ke-21 ini. Pemerintah setempat bahkan berencana membangun negara mereka dalam versi digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Reuters, pada Selasa, 15 November 2022 lalu, Menteri Luar Negeri Tuvalu Simon Kofe mengatakan pada KTT iklim COP27 bahwa sudah waktunya untuk melihat solusi alternatif untuk kelangsungan hidup negaranya. Termasuk menjadikan Tuvalu sebagai negara digital pertama di metaverse. Ini merupakan dunia online yang menggunakan augmented reality dan virtual reality (VR) untuk membantu pengguna berinteraksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuvalu, yang sebelumnya dikenal sebagai Kepulauan Ellice, adalah negara di Samudra Pasifik barat-tengah. Negara monarki konstitusional ini terdiri dari sembilan pulau karang kecil yang tersebar sekitar 676 kilometer persegi. Kendati luas lautannya mencapai ratusan kilometer, luas daratan negara ini hanya 27,78 kilometer persegi. Tuvalu memang masuk daftar negara dengan luas wilayah paling kecil di dunia di urutan keempat.
Sembilan pulau tersebut terdiri dari atol dan karang. Pulau atol mencakup Nanumea, Nui, Nukufetau, Funafuti, dan Nukulaelae. Atol-atol ini memiliki pulau kecil yang mengelilingi laguna dangkal. Sedangkan gugus pulau karang Tuvalu terdiri dari wilayah Nanumanga, Niutao, Vaitupu, dan Niulakita. Pulau-pulau itu berada di dataran rendah. Sebagian besar ketinggiannya hanya 4 sampai 5 meter di atas permukaan laut. Kondisi inilah yang menyebabkan negara ini diperkirakan bakal tenggelam dalam puluhan tahun mendatang.
Tidak ada sungai di Tuvalu. Satu-satunya sumber air tawar di sana hanya tangkapan air hujan dan sumur. Curah hujannya rata-rata 2.500 milimeter di utara dan lebih banyak di Selatan, yaitu 3.175 milimeter. Ibu kota de facto negara mungil ini adalah Desa Vaiaku. Tempat sebagian besar kantor pemerintah berada. Desa ini ada di pulau Fongafale, bagian dari atol Funafuti. Sebelum memperoleh kemerdekaannya secara terpisah pada 1978, bersama dengan Kiribati, sebelumnya Kepulauan Gilbert, Tuvalu membentuk Koloni Kepulauan Gilbert dan Ellice Inggris.
Melansir Britannica, penduduk Tuvalu adalah orang Polinesia. Mereka menggunakan bahasa Tuvalu yang erat kaitannya dengan bahasa Samoa. Pulau Nui merupakan wilayah yang telah ditinggali sejak zaman prasejarah oleh orang Mikronesia dari Kepulauan Gilbert. Di Tuvalu, Bahasa Inggris juga digunakan secara luas dan diajarkan di sekolah-sekolah. Karena tanahnya berpori, pertanian di sana terbatas. Sebagian besar penduduknya adalah petani subsisten. Mereka menanam kelapa, sukun, pandan, talas, dan pisang.
Selain itu, orang-orang Tuvalu juga berprofesi sebagai peternak dan nelayan. Mereka memelihara babi dan ayam, serta menangkap burung laut, ikan, dan kerang untuk dimakan. Namun, terkadang usaha itu tak mencukupi sehingga penduduk harus bergantung pada produk makanan impor. Banyak generasi muda Tuvalu memilih meninggalkan negaranya untuk mencari pekerjaan. Tak sedikit pula keluarga yang bergantung pada gaji kerabat yang kerja di luar negeri untuk hidup.
Negara Tuvalu sangat bergantung pada bantuan asing. terutama dalam pemenuhan kebutuhan akan bahan makanan, bahan bakar, dan barang-barang manufaktur. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Tuvalu menjalin hubungan dagang dengan Fiji, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Tuvalu menggunakan mata uang Australia tetapi juga memiliki mata uangnya sendiri. Di sana terdapat satu bank yang didirikan dari usaha patungan pemerintah-komersial.
HENDRIK KHOIRUL MUHID