Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jet-jet tempur F-16 milik Turki menyerang tiga sasaran yang merupakan basis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah pada Jumat dua pekan lalu. Inilah serangan pertama Turki terhadap ISIS setelah selama hampir dua tahun tak bertindak apa pun untuk merespons kian kuatnya posisi kelompok militan itu di area perbatasannya dengan Suriah.
Pada Oktober tahun lalu, parlemen Turki sebenarnya telah menggelar pemungutan suara yang hasilnya mengizinkan militer Turki memerangi ISIS. Negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ini sebenarnya juga sudah tergabung dalam pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Meski demikian, Turki ketika itu masih pasif. Turki bahkan tak membatasi akses para calon milisi ISIS menuju Suriah melewati wilayahnya. "Pemerintah Turki berpikir memerangi ISIS hanya mengatasi gejala, bukan penyebab masalah," kata Hakan Altinay, peneliti senior dari Brookings Institute, seperti dikutip Time, Jumat dua pekan lalu.
Pendirian itu sebenarnya juga timbul karena alasan lain. Menurut Soner Cagaptay, Direktur Program Riset Turki di The Washington Institute, Turki dan ISIS mengalami perang dingin selama hampir dua tahun. Mereka menghindari pertempuran karena sadar akan berujung pada hancurnya kedua pihak. Dengan adanya serangan yang dimulai pada Jumat dua pekan lalu itu, "Perang dingin itu jelas sudah berakhir," ujar Cagaptay.
Cagaptay menyebutkan selama ini Turki membiarkan orang-orang yang hendak bergabung menjadi milisi ISIS lewat agar Presiden Suriah Bashar al-Assad terguling. Turki menganggap Assad musuh nomor satu di Suriah, bukan ISIS. Bagi Turki, penyebab munculnya ISIS adalah ketidakpuasan kelompok Sunni terhadap rezim Assad.
Baru belakangan Turki merasa ISIS adalah ancaman, apalagi setelah pada Senin dua pekan lalu kelompok teroris itu melancarkan bom bunuh diri di pusat budaya Kota Suruc, Provinsi Sanliurfa, Turki selatan. Sebanyak 32 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam serangan teror ini. Pada Kamis pekan yang sama juga terjadi baku tembak antara milisi ISIS dan tentara Turki. Akibatnya, satu tentara Turki tewas.
Altinay mengatakan serangan itu hanya pemicu reaksi Turki. Menurut dia, Turki tak lagi tinggal diam karena ISIS menguat di wilayah perbatasan Turki-Suriah, ditambah adanya desakan dari Amerika. Pejabat pemerintah Amerika menekankan pentingnya partisipasi Turki dalam koalisi. Turki dianggap memiliki militer dengan kapasitas dan peralatan lebih baik daripada negara lain anggota koalisi. Apalagi wilayah Turki dekat dengan kantong ISIS sehingga bisa memudahkan pengintaian dan aksi militer.
Seolah-olah hendak menepis keraguan yang mungkin timbul, Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu sejak awal menyatakan operasi melawan ISIS bukan tindakan kambuhan, melainkan bagian dari strategi yang lebih besar. Turki dan Amerika sepakat bekerja sama menyapu ISIS dalam jarak 60 mil di utara Suriah sepanjang perbatasan dengan Turki, menciptakan zona bebas ISIS. Turki juga menyediakan dua landasan udaranya bagi pasukan Amerika.
Keraguan terhadap langkah Turki datang, misalnya, dari Unit Perlindungan Rakyat (RPG), kelompok Kurdi yang memerangi ISIS. Skeptisisme RPG dikemukakan Redur Xelil, juru bicaranya. Dia menuduh Turki selama ini justru berpihak pada ISIS. "Turki membantu ISIS dan memfasilitasi pergerakan mereka keluar-masuk Suriah, termasuk membantu logistik dan hal lain," katanya.
Menurut dia, motivasi Turki menyerang ISIS semata adalah urusan politik. "Semua terkait dengan kebijakan Turki dan keinginannya menyenangkan komunitas internasional dengan menunjukkan diri antiterorisme." Xelil menerangkan, jika memang serius memerangi ISIS, Turki seharusnya beraksi pada hari terbentuknya koalisi internasional.
Kurdi dan Turki memang sudah tak akur selama tiga dekade. Bagi pemerintah di Ankara, Kurdi, lewat Partai Pekerja Kurdistan (PKK), adalah kelompok pemberontak karena menginginkan kemerdekaan atau otonomi lebih besar di wilayah Turki. Pendirian ini ditegaskan oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan. "Saya katakan kepada komunitas internasional, berapa pun harga yang harus dibayar, kami tak akan pernah mengizinkan pendirian negara baru di batas selatan kami dan batas utara Suriah."
Dengan latar belakang hubungan seperti itu, keikutsertaan Turki dalam memerangi ISIS menjadi dilema bagi Amerika. Lee Fang, jurnalis The Intercept, menulis bahwa di satu sisi tentara Kurdi mencatatkan prestasi melawan ISIS dengan memenangi pertarungan sengit merebut kota strategis di Suriah, yaitu Kobane dan Tel Abyad. Di sisi lain, Turki—yang kini menjadi mitra baru Amerika—tak suka pada pencapaian Kurdi.
Masih menurut Fang, Turki menempatkan juru lobi Amerika di Washington agar Amerika menghentikan bantuan militer kepada tentara Kurdi tahun lalu. Juru lobi jagoan itu disebut-sebut adalah Dick Gephardt dan Al Wynn, mantan pejabat pemerintah Amerika dari Partai Demokrat; Tim Hutchinson, mantan senator Partai Republik; Porter Goss, pensiunan direktur Dinas Intelijen Amerika (CIA); Denny Hastert, mantan anggota House of Representatives; Brian Forni, mantan asisten di Partai Demokrat; firma hukum Greenberg Traurig; serta perusahaan strategi media Goldin Solutions. Perusahaan humas dan firma hukum juga disebut membiayai politikus dan jurnalis Amerika menghadiri jamuan makan di Turki.
Yang dititipkan kepada para juru lobi itu adalah upaya menjegal undang-undang yang akan mengizinkan Presiden Barack Obama menyuplai senjata ke Kurdi di Irak untuk memerangi ISIS. "Mendukung milisi dengan uang lalu melepas mereka ke terorisme yang liar, kami pikir itu tak bertanggung jawab," kata Gunay Evinch, pengacara pemerintah Turki yang juga mantan Presiden Dewan Asosiasi Turki Amerika.
Fang mengungkapkan langkah kerja sama Turki dengan Amerika sebenarnya merupakan bentuk persaingan dengan tentara Kurdi. Indikasi ini menguat karena Turki kemudian menghentikan gencatan senjatanya dengan Kurdi lewat penyerangan basis Kurdi di Irak. Terlebih Turki pun menangkap orang-orang Kurdi sambil membekuk anggota ISIS. Pada Senin pekan lalu, Davutoglu mengatakan pasukan keamanan Turki menangkap 1.050 orang yang diduga anggota ISIS, milisi Kurdi, dan aktivis aliran ultrakiri. Namun, menurut laporan Reuters, media lokal menyebutkan mayoritas tahanan itu adalah warga Kurdi dan aktivis kiri, bukan anggota ISIS.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, John Kirby, membantah anggapan bahwa tindakan Turki terhadap Kurdi adalah kompensasi koalisi membangun zona bebas ISIS. Menurut dia, waktu penyerangan dan penangkapan orang Kurdi yang bertepatan dengan bergabungnya Turki ke koalisi hanyalah kebetulan. "Tidak ada hubungan antara yang mereka (Turki) lakukan terhadap PKK dan yang kami lakukan bersama melawan ISIS," ujarnya seperti dilaporkan Reuters, Senin pekan lalu. Namun Kirby juga bernada memihak Turki. "PKK adalah organisasi teroris asing. Turki berhak mempertahankan diri dari mereka," katanya.
Atmi Pertiwi (Firstlook, The New York Times, Reuters, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo