KOMPROMI, itulah kata yang paling banyak diucapkan belakangan
ini di Malaysia. Sabtu berselang, di hadapan rapat akbar di
Kucing, Serawak, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyatakan
bahwa upaya mencapai kompromi masih berlanjut terus. "Tapi kami
tidak dapat mengungkapkan sebab-musabab di balik masalah itu,"
ucap Mahathir. Yang dimaksud dengan "masalah" tak lain adalah
krisis konstitusi yang melanda Malaysia sejak tiga bulan silam.
Ketegangan yang terjadi antara pemerintah dan pihak kerajaan
akhirnya membuka peluang bagi partai oposisi, seperti Partai
Islam se-Malaysia (PAS) dan Partai Aksi Demokrasi, untuk
menyerang pemerintahan Mahathir. UMNO, partai yang memerintah
dituduh mereka bermaksud menghapus kerajaan dan menggantinya
dengan republik. Betulkah? "Para politisi tidak akan bertindak
bodoh, mengubah negara menjadi republik. Ini akan mengacaukan
ekonomi dan politik kerukunan nasional. Sebab, rakyat - terutama
orang Melayu - akan menentangnya," ujar Abdul Muis, pedagang
kecil di Kuala Lumpur, kepada koresponden TEMPO.
Ridwan, seorang karyawan, berpendapat sama. Menurut dia, gagasan
republik terlalu radikal. Dia yakin, Mahathir tidak punya maksud
seperti itu. "Mahathir berdedikasi tinggi terhadap orang Melayu.
Merepublikkan negara ini berarti menghapus sistem, sekaligus
mencopot hak-hak Melayu dan Islam. Ini sama dengan penyakit.
Saya yakin, Mahathir tidak melangkah sejauh itu," kata Ridwan.
Rakyat di Semenanjung pada umumnya berpendapat serupa, seraya
menilai amendemen sekadar sarana untuk lebih merapikan hak-hak
istimewa Yang Dipertuan Agung (YDA). Soalnya, selama ini masih
terbuka peluang bagi YDA untuk terang-terangan atau tersamar
mencampuri urusan politik. Lewat amendemen, peluang itu ditutup.
Lalu, apakah hak raja nantinya terbatas pada kesibukan upacara
saja? Ternyata, tidak. YDA diakui sebagai pembimbing umat Islam,
pelindung hak-hak orang Melayu, khususnya dalam masalah tanah
dan adat.
Krisis konstitusi, di samping diakibatkan oleh isi amendemen,
berkaitan erat dengan pemrosesan amendemen. Mengibaratkan UUD
itu tiang rumah, Datuk Haji Hasan Azli, ketua Persatuan Amar
Maruf (PAM) berucap, "Letak tiang bisa saja diubah jika keadaan
memaksa." Diingatkannya, hubungan raja dan rakyat ialah bagaikan
aur dengan tebing. Karena itu, Datuk Hasan yakin bahwa perubahan
bagaimanapun, asalkan memenuhi aspirasi rakyat, pasti didukung.
SUDAH tidak syak lagi bahwa rakyat Malaysia condong
mempertahankan lembaga kerajaan. Tapi pihak sultan apa hendak
dikata, sudah tersinggun. Mereka keberatan dengan pembatasan 15
hari bagi YDA untuk mengesahkan sebuah RUU. Kabar yang bocor
dari Istana Kayangan Syah Alam di Selangor mengatakan, batas 15
hari diusulkan menjadi 30 hari. Usul lain: YDA berhak menolak
RUU. Jika Parlemen kemudian, lewat mayoritas 2/3, menyetujui RUU
itu, maka setelah 30 hari, ia sah berlaku, dengan atau tanpa
persetujuan YDA. Inilah, agaknya, kompromi pertama.
Kompromi kedua, pihak kerajaan mengusulkan supaya hak menyatakan
keadaan darurat, yang dipindahkan dari YDA kepada perdana
menteri, digugurkan saja. Usul kompromi tercapai pekan lalu dan
disampaikan pada Mahathir Selasa ini. Kuat dugaan, saat Presiden
Soeharto berkunjung ke Malaysia, 14-15 Desember 1983, ketegangan
sudah mulai reda.
Kekhawatiran lain, banyak orang Melayu yang merasa bahwa
perubahan konstitusi bisa mengurangi hormat rakyat kepada
rajaraja, terutama dari mereka yang bukan Melayu. Di samping
itu, siapa bisa menjamin tidak akan ada lagi perubahan yang
menyangkut hak istimewa raja-raja pada tahuntahun mendatang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini