MAKLUMAT tak terduga berkumandang melalui siaran malam radio
dan televisi Bangladesh, Ahad lalu. Jenderal Husein Mohammed
Ershad, penguasa militer yang memerintah selama 21 bulan
terakhir, mendadak mengangkat diri sendiri sebagai presiden.
Melalui amendemen terhadap undang-undang darurat militer yang
sedang diberlakukan, Ershad menggeser Ahsanuddin Chowdhurry,
bekas jaksa yang ditunjuk menjadi presiden Republik Rakyat
Bangladesh, Maret 1982.
Pengumuman mi merupakan langkah Ershad yang paling menentukan
sejak kaum oposisi melancarkan aksi protes, tiga pekan silam.
Menurut sumber pemerintah, Ershad segera akan membebaskan para
tokoh oposisi terkemuka dari tahanan rumah. Beberapa saat
setelah maklumat, para pengawal memang telah ditarik dari rumah
Hasina Wazed dan Begum Khalida Zia, pemimpin aliansi oposisi
yang menentang Ershad.
Dengan perkembangan terakhir ini, makin kaburlah rencana pemilu
yang diharapkan berlangsung tahun depan. Semula, Ershad
mencanangkan pemilihan presiden Mei 1984, disusul pemilihan
anggota parlemen lima bulan kemudian. Tapi kaum oposisi
menuntut, setelah undang-undang darurat dicabut, pemilihan
anggota parlemen yang didahulukan. Mereka berharap, cara ini
bisa menghambat langkah Ershad ke kursi presiden.
Kini harapan kelompok oposisi itu sirna. Ershad bahkan sudah
mendirikan Janu Dal (Partai Rakyat) yang siap memberikan
dukungan politis terhadap dia. Namun, menurut para pengamat,
partai ini sebetulnya keropos. Pertentangan intern terlalu tajam
di antara bekas anggota lima partai kecil yang kemudian
bergabung di dalam Janu Dal (JD). "Kelompok-kelompok itu berebut
mengambil muka Ershad," tutur seorang pengamat.
Kelompok terkuat dalam JD dipimpin Mizanur Rahman Chowdhury,
bekas pemuka sebuah gerakan sempalan Liga Awami. Ia bersekutu
dengan Shah Moazzem Hossain yang memisahkan diri dari Liga
Demokrasi. Sayap kiri JD dipimpin Abu Naser Khan Bhashani, yang
tadinya tokoh Partai Awami Nasional. Menurut kaum oposisi, di
belakang Abu Naser berdiri sekelompok militer senior dan pejabat
sipil.
Ershad, 53, tadinya berharap bisa memperbaiki citranya melalui
pertemuan para menlu negara Islam (OKI) yang berlangsung di
Dhaka, 6-10 Desember. Ternyata, pertemuan itu berjalan seret.
Upacara pembukaan hanya dihadiri 15 menteri, dari 41 yang
diharapkan datang. Sementara itu Sekretaris Jenderal OKI, Habib
Chatti dari Tunisia, mengumumkan dengan gundah situasi keuangan
yang payah.
Meski diperpanjang sehari, pertemuan tetap tak bisa memutuskan
sesuatu mengenai Libanon. Pertemuan akhirnya menyetujui gagasan
membentuk biro militer, yang diketuai Mayor Jenderal Fazel
Maqueen Khan dari Pakistan, untuk mengkoordinasikan masalah
militer dengan PLO. Pertemuan juga mengeluarkan deklarasi
tentang hak-hak asasi manusia Islam dan menyetujui pembentukan
Mahkamah Islam, mirip Mahkamah Internasional yang berkantor di
Den Haag, Belanda.
Sesudah mengangkat diri sebagai presiden, Ershad menjanjikan
kelonggaran. Antara lain, mengizinkan koran Dainik Desh, yang
dibredel 28 November, terbit kembali. Kendati demikian, suasana
di Dhaka tetap dalam kewaspadaan. Tokoh oposisi masih
bersembunyi. Penduduk dihantui korban jiwa enam orang dan luka
500 orang, di samping hampir 700 ditahan, selama kerusuhan. Jam
malam masih berlaku hingga pukul lima pagi. Apalagi aliansi
kelompok oposisi belum mencabut seruan untuk melancarkan
pemogokan nasional, yang direncanakan Seiasa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini