Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah kafetaria di Tobruk, mata para pengunjung, yang hampir semuanya laki-laki, tak lepas dari layar televisi, Kamis pekan lalu. Dibalut pakaian tradisional kebanggaan yang disebut jard, Muammar Qadhafi terlihat berpidato dengan berapi-api. Bukannya mendengarkan dengan saksama, para pengunjung kafe itu terus mengejek Qadhafi, yang telah mereka ”pecat” sebagai pemimpin.
”Lihat ada lubang di pakaiannya,” kata seorang pria. ”Sekarang dia menjadi orang miskin,” ujar yang lain. Semua tertawa.
Tobruk--kota kecil yang hanya berjarak sekitar 160 kilometer dari Mesir--menjadi salah satu kota yang pertama meninggalkan Qadhafi. Padahal, tak seperti di Mesir, semua arus informasi di Libya nyaris tertutup. Tak ada media asing, dan situs-situs informasi di Internet sering diblok. Bahkan, ketika revolusi mulai bergerak, Internet diputus total. Telepon pun tak bisa digunakan. Warga hanya mengandalkan berita dari kanal-kanal televisi berbahasa Arab, seperti Al-Jazeera.
Untuk menyebarkan informasi ke kalangan lebih luas, tindakan manual dilakukan. Warga mengkopi video berita revolusi di negeri-negeri tetangga, terutama Mesir. Setelah itu, mereka menyebarkannya lewat Bluetooth. ”Saya merasakan dua hal saat menyaksikan video-video tersebut (Mesir). Saya merasa sedih, kemudian saya ingin melakukan revolusi,” kata Gamal Shallouf, ahli biologi kelautan yang terlibat dalam pemberontakan rakyat di Tobruk.
Revolusi di Libya akhirnya meletus pada 17 Februari. Ribuan orang turun ke jalan menuntut Qadhafi mundur. ”Aparat keamanan bertindak keras,” kata Shallouf. Beberapa pengunjuk rasa tewas. Tapi, hari berikutnya, lebih banyak lagi orang datang.
Beberapa ratus kilometer dari Tobruk, di Benghazi, situasi jauh lebih menegangkan. Di kota terbesar kedua setelah Tripoli ini, para aktivis dan profesional tengah berusaha memberikan sentuhan terakhir pada manifesto revolusi. Menurut Fathi Baja, profesor ilmu politik Universitas Benghazi, draf manifesto tersebut berisi dua prinsip: persatuan nasional dan demokrasi. ”Itu akan memperjelas niat revolusi ini,” katanya.
Selama pemerintahan Qadhafi sejak 1969, menurut Fathi Baja, negerinya yang kaya minyak ini hanya diwarnai kekacauan. ”Qadhafi telah mencuri uang rakyat dan kekayaan Libya.”
Di Benghazi, revolusi bermula dari peringatan tahunan pembantaian warga Libya oleh pasukan penjajah Italia yang ke-60. Diperingati pula pembantaian pasukan Qadhafi terhadap 1.200 narapidana di penjara Abu Salim sebagai balasan aksi protes di Benghazi pada 1996.
Unjuk rasa semula berlangsung damai. Tapi keadaan berubah ketika pasukan keamanan menangkap aktivis yang juga pengacara, Fathi Terbil. Hanya dalam hitungan jam, ratusan demonstran menduduki kantor polisi dan menuntut pembebasan Terbil. Jawaban yang diterima adalah senapan yang menyalak. Kerusuhan segera menyebar ke jalanan. Para pekerja memulai pemogokan.
Di hari-hari berikutnya, suasana makin kacau. Massa berkerumun di jalanan. Tindakan aparat semakin brutal. Gelombang unjuk rasa dan kekerasan akhirnya mencapai Ibu Kota Tripoli pada awal pekan lalu. ”Ada perasaan yang sangat kuat di kalangan orang muda: untuk apa kita hidup…. Tidak ada kehidupan, tidak ada pendidikan, tidak ada pekerjaan, tidak ada olahraga, tidak ada Internet, tidak ada hiburan. Apa yang kita punya? Tidak ada,” kata Ali Zeidan, anggota senior Liga Hak Asasi Manusia Libya.
Menghadapi unjuk rasa rakyatnya sendiri itu, Qadhafi mengerahkan pasukan khusus yang dipimpin salah satu anaknya, Khamis Qadhafi, dan milisi bayarannya ke Benghazi dan kota-kota terdekatnya, seperti Al-Bayda dan Tobruk. Tembakan demi tembakan mewarnai berbagai kota. Helikopter dan pesawat tempur pun dikerahkan. Lebih dari 300 orang dilaporkan tewas.
Sayang, komunikasi menjadi masalah untuk menyebarkan kabar, terutama di kota-kota kecil. ”Saya mengirim saudara saya dan temannya ke Marsa Matruh (di Mesir) untuk menggunakan Internet,” kata Tawfik al-Shohiby, profesor teknik kimia Universitas Tobruk.
Setiap hari Shohiby mengirim orang menyeberang ke Mesir dan menyerahkan flash disc berisi gambar dari Tobruk, Al-Bayda, dan Benghazi. Adiknya bertugas menyebarkan informasi dari kampungnya tersebut lewat Internet. ”Itulah media center pertama revolusi Libya,” ujarnya.
Sementara itu, perpecahan di tubuh aparat keamanan dan birokrasi terus meruyak. Eksekusi tentara dan polisi yang membelot tak menghentikan perpecahan. Di Benghazi, Ahad dua pekan lalu, ribuan tentara menyerahkan senjata ke rakyat. Demikian pula di Tobruk.
Markas-markas militer praktis kosong. Bahkan ada pilot yang menerbangkan pesawatnya ke Malta. Ada pula pilot yang terjun dengan parasut dan membiarkan pesawatnya jatuh di gurun daripada digunakan untuk menyerang rakyat. Warga sipil mulai terlihat menenteng-nenteng senapan. ”Sejak itu, rakyat mulai menguasai seluruh kota,” kata Fathi Baja.
Situasi tak berbeda dijumpai di Misurata, kota terbesar ketiga di Libya. ”Kota kami telah bebas,” ujar Iman, warga Misurata.
Di Tripoli, Muammar Qadhafi menampik protes rakyatnya. Pria 68 tahun ini berteriak: ”Libya adalah negara saya”—mengingatkan orang pada kata-kata Raja Louis XIV dari Prancis: ”L’etat c’est moi” atau ”negara adalah saya”. Qadhafi membantah telah kabur ke Venezuela, yang pemimpinnya merupakan kawan dekat dia. ”Saya adalah pejuang revolusioner dari tenda-tenda…. Saya akan mati sebagai syuhada pada akhirnya,” katanya.
Ia bertahan di tenda yang dibangun di kompleks bekas kediamannya yang tinggal puing akibat serangan bom Amerika pada masa pemerintahan Ronald Reagan.
Selasa malam pekan lalu, dia berpidato, yang disiarkan televisi milik pemerintah. Suaranya lantang dan sesekali gemetar menahan emosi. Seolah menegaskan ancaman anaknya, Saif al-Islam, sebelumnya bahwa Libya terancam perang saudara kalau demonstran tak segera menarik diri, ia berjanji akan bertahan hingga peluru terakhir yang dimilikinya.
Dalam pidatonya, Qadhafi menyatakan selama ini belum memerintahkan penggunaan kekerasan. ”Kalau saya melakukannya, semua akan terbakar,” ujarnya. Ia memerintahkan para pendukungnya memburu para penentangnya, dari rumah ke rumah. Genderang perang telah ditabuh.
Keesokannya, para pendukung setianya dikerahkan ke Lapangan Hijau di pusat kota. ”Hidup Qadhafi… hidup Qadhafi….” Sedangkan penentang Qadhafi tak menampakkan diri. Tapi warga kota lain yang telah lepas dari kuasa Tripoli berjanji akan mengirim ”logistik” ke Ibu Kota.
Meski masih mampu unjuk gigi, Qadhafi dan kroninya berada di ujung tanduk. Sebagian pejabat dan sekutu dekatnya telah membelot. Menteri Dalam Negeri Jenderal Abdul-Fatah Younis mundur, menyusul Menteri Kehakiman Mustapha Abdeljalil. Sejumlah anggota keluarga dan menantunya pun dikabarkan telah mencari selamat ke luar negeri.
Para diplomat Libya di luar negeri tak mau ketinggalan dalam aksi pembangkangan. Duta besar Libya di India dan Bangladesh serta wakil di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa mengundurkan diri. Begitu pula duta besar di Jakarta, Salaheddin Muhammad Ibrahim el-Bishari, telah memberi tahu Kementerian Luar Negeri Indonesia bahwa dia tak lagi mewakili pemerintah Libya. Ia tak lagi berkantor. ”Tapi dia masih di sini, tak kembali ke Libya,” kata seorang anggota staf kedutaan di Jakarta.
Di Mesir, seluruh staf kedutaan ramai-ramai membelot. Duta besar untuk Australia menyatakan tak lagi mewakili pemerintah, tapi mewakili rakyat Libya. Masyarakat internasional ramai-ramai menggencet. Peru menjadi negara pertama yang memutus hubungan diplomatik dengan Libya. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon meminta Qadhafi menghentikan penggunaan kekerasan. Demikian pula para pemimpin negara lain, termasuk Amerika Serikat.
Qadhafi nyaris sendirian. Banyak analis memprediksi kuasa kolonel tua itu menjelang akhir. ”Bisa saja hanya dalam 24 jam atau bahkan bisa beberapa bulan. Tak ada seorang pun yang benar-benar tahu,” kata Charles Gurdon dari Menas Associates di London, yang biasa menjadi konsultan masalah Timur Tengah. ”Tapi akhir itu telah begitu dekat.”
Purwani Diyah Prabandari (Time, The Guardian, Al-Jazeera, AFP, MSNBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo