Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBAHYANG pada Ahad tiga pekan lalu itu baru saja usai di gereja penjara Kelas IIB Manokwari, Papua Barat. Semestinya para narapidana yang baru keluar dari gereja itu langsung kembali ke sel. Tapi, hari itu, puluhan dari mereka justru bergerombol di dekat pintu. Mereka menunduk, tapi mata mereka seperti memperhatikan sesuatu.
Tiba-tiba, entah dikomando oleh siapa, mereka merangsek maju, mendobrak pintu kayu penjara yang hanya dijaga seorang sipir. Pintu jebol dan sipir malang itu pun terpental ke luar. Rombongan narapidana itu dengan sigap lalu berhamburan ke luar menuju gerbang utama. Di sana seorang petugas mencoba menghalangi, tapi lagi-lagi ia terjengkang ditabrak gerombolan narapidana itu. Jumlah yang kabur semuanya 19 orang. ”Saya sempat mengejar mereka tapi tak berhasil,” kata William Kmor, komandan jaga hari itu.
William balik ke sel untuk menolong dua anak buahnya yang terluka. Ia membuat laporan tentang kaburnya narapidana itu. Mereka yang lari itu umumnya terjerat kasus kriminal, seperti kekerasan pada anak, pemerkosaan, dan pembunuhan. Masa hukuman mereka satu bulan hingga sepuluh tahun penjara. Tiga di antara yang kabur itu anggota kepolisian Manokwari.
Menurut William, situasi pada Ahad siang itu memang memungkinkan untuk kabur. Pada tengah hari itu sedang terjadi pergantian petugas jaga. Hanya ada 20 sipir untuk menjaga 130 narapidana di penjara itu. Otomatis setiap hari, dengan tiga shift, sipir yang berjaga hanya lima orang. ”Kalau mereka menyerang tiba-tiba, kami tak akan bisa melawan,” kata Kepala Penjara Manokwari Yoseph W. Yasu. Selain mengeluhkan perihal minimnya jumlah sipir, Yoseph menunjuk fasilitas keamanan penjara yang tak cukup kukuh. Misalnya pagar, jeruji sel, atau pintu gerbang.
Minimnya fasilitas penjara, terutama di Papua, tak hanya dialami penjara Manokwari. Di Abepura dan Wamena kondisinya bahkan lebih parah. Menurut Kepala Penjara Abepura Liberty Sitinjak, hampir tiap bulan ada saja narapidana yang kabur, baik dengan menghajar sipir lebih dulu maupun kabur diam-diam dengan mencongkel terali dan memanjat dinding. ”Di sini, narapidana bebas keluar-masuk bui,” kata Sitinjak, blakblakan.
Kejadian terakhir pada Desember tahun lalu. Wiron Wetipo kabur dan tak terkejar sipir. Tapi nasib apes menimpa lelaki 35 tahun ini. Ia terpojok pada saat tentara dan polisi menyisir wilayah Tanah Hitam untuk mencari penembak warga di sana. Polisi menduga penembak adalah anggota Organisasi Papua Merdeka. Wiron, yang mengendap-endap, ditembak hingga tewas.
Penembakan Wiron memicu kericuhan di penjara. Beruntung, polisi dan sipir bisa meredam amuk narapidana itu, sehingga tak ada yang kabur memanfaatkan situasi rusuh itu. Kericuhan reda setelah dua aktivis Papua dipindahkan ke penjara Kepolisian Daerah Papua. ”Di sini kebanyakan penghuni penjara adalah aktivis dan tahanan korupsi,” kata Sitinjak. ”Makanya ribut terus karena ada yang memprovokasi.”
Lagi-lagi, jumlah sipir yang tak memadai menjadi alasan. Penjara Abepura hanya punya 74 orang penjaga yang harus mengawasi hampir 500 tahanan. Rasio yang jomplang ini juga kerap membuat penjara ini ricuh akibat kerusuhan antarnarapidana.
Di Abepura, fasilitas penunjang penjara juga minim. Anggaran makan sehari untuk setiap narapidana hanya Rp 9.672. Ini dibagi untuk tiga kali makan. ”Sewaktu saya ke sini dua tahun lalu, ada napi yang makan hanya dengan garam,” kata Sitinjak. ”Menyedihkan sekali.” Sudah anggaran untuk pengganjal perut minim, dana obat-obatan untuk penjara pun pada tahun ini dipangkas dari Rp 80 juta menjadi Rp 40 juta.
Sipir memang dibekali senjata api. Tapi, kata Sitinjak, pistol yang ditenteng petugas sudah tua. ”Kalau diletuskan, paling banter jangkauan pelurunya dua meter,” katanya terbahak. Belum soal daya tampung. Penjara Abepura hanya memiliki 30 sel yang ukurannya masing-masing 6 x 5 meter. Setiap ruangan dijejali 10 hingga 15 narapidana.
Dulu, kata Yasu, jika ada narapidana lari dari penjara lantas tertangkap, pasti akan dihajar habis-habisan. Kini pendekatannya diubah. Mereka yang tertangkap dinasihati dan diberi kegiatan agar betah. Tapi cara ini pun dipandang masih belum berhasil.
Menurut dia, kuncinya adalah pembenahan penjara. Bangunan diperkukuh dan jumlah sipir ditambah. Ia telah mengeluhkan soal ini kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, tapi belum ada realisasi.
Sebagai kepala penjara, Sitinjak dan Yasu bergaji Rp 4 juta per bulan, sementara para sipir Rp 1,2 juta sebulan. Menurut William Kmor, penghasilan ini tak sebanding dengan risiko yang mengancam jiwanya setiap hari. ”Di sini bukan time is money, tapi time is danger,” kata William.
Bagja Hidayat (Jakarta), Jerry Omona (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo