Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seperti biasanya, sidang perkara pembunuhan koresponden SUN TV, Ridwan Salamun, 35 tahun, di Pengadilan Negeri Tual, Maluku, dipenuhi pengunjung. Rabu pekan lalu, warga mendadak antusias mengikuti sidang yang memasuki agenda pembelaan itu.
Sidang membetot perhatian setelah sejumlah pihak menyoal tuntutan yang kelewat ringan terhadap para terdakwa, empat hari sebelumnya. Tiga terdakwa, Hasan Tamnge, 28 tahun, Ibrahim Raharusun (38), dan Sahar Renuat (21), dituntut hukuman 8 bulan penjara atas dakwaan penganiayaan dan pembunuhan wartawan itu.
Ridwan ditemukan tewas pada 21 Agustus tahun lalu di Jalan Balduadat, Desa Fitmatan, Tual, Maluku. Ayah satu anak ini tewas dengan luka robek di bagian kepala kanan, dahi tengah, dan di bawah hidung, diduga akibat sabetan senjata tajam. Juga ada luka memar akibat benda tumpul di sejumlah bagian tubuh. Itu terjadi setelah peristiwa bentrok dua kelompok warga Kampung Banda Ely dan Kampung Baru Mangon, Desa Fiditan, Tual.
Ada sejumlah versi mengenai kematian kontributor Grup Media Nusantara Citra ini. Koordinator Maluku Media Center, Insany Syahbarwaty, menyebut Ridwan tewas akibat terjebak saat meliput peristiwa bentrokan antara kedua kelompok massa, tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun versi lain menyebut ia tewas karena terlibat dalam pertikaian dua kelompok itu. Versi kedua ini yang diyakini jaksa, hingga muncul tuntutan ringan.
Ketua tim jaksa penuntut, Japet Ohello, tetap berkeyakinan Ridwan orang yang terlibat dalam pertikaian, bukan orang yang terkena musibah saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Ohello menyebut pada tanggal itu sekitar pukul 07.00 waktu setempat Ridwan bersama puluhan warga Kampung Banda Ely mendatangi warga Kampung Baru Mangon, yang hanya berbatasan jalan desa.
Terdakwa Hasan Tamnge, warga Baru Mangon, yang saat itu tengah tertidur, terbangun karena mendengar ribut-ribut. Ia lalu mengambil sepotong pipa besi dan bersama warga lainnya bergerak mengusir warga Banda Ely yang mengacau. Hasan menyebut Ridwan Salamun, yang ditemani enam warga Banda Ely, langsung mengarahkan parang panjang ke arah lehernya. Hasan terjatuh dengan parang masih menancap di leher.
Ridwan berusaha mengambil parang dari leher Hasan. Namun, menurut Ohello, Hasan melawan dengan memegangi parang milik Ridwan. Hasan dan Ridwan tarik-menarik berebut parang. ”Gara-gara ini, tiga jari Hasan nyaris putus,” ujar Ohello, mengenai kronologi kasus itu.
Dalam perebutan itu, Hasan sempat memukul pelipis Ridwan dengan pipa yang digenggamnya, hingga parang di tangan Ridwan terlepas. Ketika Ridwan hendak melangkah mundur, Hasan berhasil memukul pinggang lawannya dengan pipa. Celakanya, saat mundur, Ridwan terpeleset gundukan tanah lalu terjatuh.
Saat itulah ketiga terdakwa bersama warga Baru Mangon lainnya mengeroyok Ridwan. Tatkala Ridwan terkapar, tak seorang pun berani mendekat. Satu jam kemudian ia baru dilarikan ke Rumah Sakit Umum Langgur, lima kilometer dari Desa Fiditan. Pukul 09.45 waktu setempat, Ridwan meninggal. Tiga pelaku pengeroyokan itu lalu jadi tersangka.
Jaksa belakangan menuntut ketiganya dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang kekerasan bersama-sama yang mengakibatkan matinya orang lain, dengan hukuman 8 bulan penjara. Tuntutan itu, kata Ohello, sesuai dengan fakta persidangan. Selain itu, sebelumnya telah ada upaya damai di antara kedua belah pihak. Perdamaian itu dihadiri Gubernur dan Muspida Maluku serta Muspida Kota Tual. ”Perdamaian itu membuat tuntutan ringan,” ujar Ohello.
Versi itulah yang jadi alasan pengacara para terdakwa, Muhammad Yahya Matdoan, mendesak hakim membebaskan kliennya. Matdoan beralasan korban saat itu tidak sebagai wartawan yang membawa kamera menjalankan profesinya, tapi membawa parang dan menebas salah satu terdakwa lebih dulu. ”Terdakwa melakukan pembelaan secara berlebihan,” kata Matdoan.
Tuntutan ringan ini memicu protes keluarga korban. Menurut Sandi Salamun, adik korban, keluarga mencurigai jaksa mempermainkan pasal. Pasal yang dikenakan kepada terdakwa, kata Sandi, kerap berubah-ubah.
Dari kepolisian, kata Sandi, saat perkara itu dilimpahkan, terdakwa dijerat Pasal 338 dan Pasal 351 KUHP. Pengenaan pasal saat itu disampaikan Kepala Polres Maluku Tenggara Ajun Komisaris Besar Saiful Rahman, karena ketiganya telah menghilangkan nyawa orang lain. Namun, pada saat dakwaan dan tuntutan, jaksa justru menggunakan Pasal 170 ayat 3 KUHP, subsider Pasal 351 ayat 3, yang notabene hukumannya lebih ringan.
Tak hanya keluarga korban, sejumlah aktivis pers juga mengecam tuntutan ringan jaksa. Aksi protes wartawan terjadi di sejumlah tempat. Bahkan, menurut anggota Dewan Pers, Uni Lubis, lembaganya telah menyampaikan protes langsung ke Jaksa Agung. ”Jaksa Agung berjanji mengeceknya,” katanya.
Tak mau dituding sendiri, Ohello menyebut penentuan tuntutan delapan bulan untuk tiga terdakwa atas restu Kejaksaan Agung. Ia mengaku sebelum menetapkan tuntutan telah melakukan gelar perkara di Kejaksaan Tinggi Maluku di Ambon. Hasil gelar selanjutnya dijadikan dasar meminta petunjuk Kejaksaan Agung. ”Petunjuk Jaksa Agung itulah dasar menuntut terdakwa,” ujar Ohello.
Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy, yang dimintai dikonfirmasi, membenarkan tuntutan itu atas petunjuk Jaksa Agung. Awalnya, menurut Marwan, saat mendengar ada perkara pembunuhan dituntut delapan bulan, ia merasa ada yang janggal. Namun, setelah diteliti, ternyata kasusnya telah diekspos di Jaksa Agung Muda Pidana Umum.
”Petunjuknya memang dituntut delapan bulan,” katanya. Alasannya, berdasarkan berkas dari polisi, korban juga terlibat dalam pertikaian. Salah seorang terdakwanya menderita luka berat dan cacat permanen. Alasan lain, sudah ada perdamaian. Mereka sepakat tak lagi bertikai, tapi mereka juga meminta yang tersangkut hukum tidak dihukum berat. Sehingga, jika tuntutannya tinggi, dikhawatirkan akan timbul reaksi pihak terdakwa.
Temuan jaksa dan polisi ternyata berbeda dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang sempat turun ke lokasi. Menurut anggota Komisi, Kabul Supriyadhie, hasil temuannya menyimpulkan Ridwan Salamun tewas saat menjalankan tugas jurnalistik. Bukan sebagai pihak yang terlibat pertikaian.
Fakta itu diperoleh dari keterangan saksi-saksi yang melihat Ridwan keluar rumah membawa handycam dalam posisi dihidupkan, saat kerusuhan terjadi. Seorang saksi yang melihat Ridwan menerima telepon sempat menegur untuk tidak mendekati area bentrokan. Hanya, barang bukti kamera milik Ridwan tak ditemukan. Demikian juga barang bukti parang yang digunakan membacok leher Hasan tak ditemukan penyidik. ”Temuan ini sudah kami sampaikan ke polisi,” kata Kabul.
Selain soal pasal yang berubah, Insany menunjuk sejumlah kejanggalan. Ia menilai penyidik sejak awal lebih condong kepada terdakwa. Saksi yang dihadirkan jaksa semuanya meringankan terdakwa. Keluarga korban sempat mengajukan 17 saksi yang terkait dengan pembunuhan itu, tapi ditolak kejaksaan. Alasan Kepala Kejaksaan Negeri Tual, Nurizal Nurdin, tak bisa menghadirkan saksi yang tidak diberkas penyidik.
Polres Maluku Tenggara, yang menyidik kasus ini, enggan mengomentari. ”Kasus sudah dilimpahkan, bukan lagi kewenangan polisi menjelaskan,” kata Kepala Sub-Bagian Humas Polres Maluku Tenggara Ajun Komisaris Demianus Refwalu.
Polisi sepertinya mengabaikan temuan Komnas HAM, hingga kasus berjalan timpang. Nasi telah jadi bubur, perkara telah bergulir di pengadilan. Menurut Marwan, bola panas kini di tangan hakim yang diketuai Dedi Sahusilawane. Apakah majelis akan membuka kesempatan mendengar keterangan saksi lain, atau perkaranya diputus apa adanya.
Ramidi, Mochtar Touwe (Maluku)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo