MENHAN Juan Ponce Enrile tidak lagi menahan diri. Dalam dua pekan terakhir, ia kian "mengganas", hingga pentas politik Filipina gonjang-ganjing. Tak ubahnya orang kalap, selama dua minggu belakangan, kerja Enrile cuma bicara, bicara, dan terus bicara. Kata-katanya berubah jadi senjata, dan ini saja sudah terasa mengancam kestabilan politik negeri itu. Untuk meredakan suasana, Presiden Corazon Aquino meminta Wapres Salvador (Doy) Laurel agar membatalkan keberangkatan ke Jakarta, Sabtu lalu. Jose Ingles ditugasi menggantikan Laurel dalam sidang para menlu MEE-ASEAN, sedangkan Doy dipercaya menjadi penghubung antara Presiden dan Menhan. Tidak jelas benar bagaimana ia melaksanakan peran baru yang sangat menentukan itu. Namun, karena ada hal-hal yang diduga hanya bisa dicurahkan Enrile kepada Doy Laurel, maka "curahan" itu setidaknya dapat menjernihkan suasana. Kabarnya, memang itulah yang terjadi, Senin pekan ini. Di tengah badai spekulasi konflik Cory-Enrile, kedua tokoh kabarnya sempat bicara empat mata selama lima menit. Tak jelas apa yang mereka bahas tidak pula bisa ditebak apa hasilnya. Yang pasti, keadaan sedikit tertolong, karena pihak militer bisa bersikap netral, seraya tetap menempatkan diri sebagai abdi yang baik, terhadap Cory maupun Enrile. Tapi sekelompok pejabat sipil merasa tidak senang. Sedikitnya tiga menteri, di antaranya Menkeh Neptali Gonzales dan Menteri Pemerintahan Daerah Aquilino Pimentel, kontan angkat suara menegur Enrile. Kedua tokoh yang pro-Cory ini memperingatkan menhan itu supaya mengundurkan diri saja kalau tidak merasa cocok. Harus diakui, reaksi keduanya agak keras. Tapi, di pihak lain, tindakan Enrile juga bisa dianggap keterlaluan. Dua pekan silam, ia sesumbar tentang keharusan ada pemilu, dan minggu lalu ia sengaja tidak menghadiri sidang kabinet. Lalu, pada jam dan hari yang sama, Enrile justru menghadiri pertemuan para dokter gigi di sebuah hotel di Manila. Mengapa sampai begitu? Secara demonstratif ditegaskannya bahwa ia punya hak prerogatif untuk tidak tampil dalam sidang kabinet. Presiden tidak menanggapi "hak prerogatif Enrile" itu. Tapi, dua hari kemudian Cory ada berucap bahwa ia merasa sebagai "korban persekutuan tidak suci dengan Menhan Enrile." Ini dikemukakannya pada Uskup Antonio Fortich dari Bacolod. Menurut Fortich, "Jenderal Ramos berusaha menjaga keseimbangan dan bersikap pro-Cory." Uskup ini jugalah yang mendampingi Cory dalam kunjungan ke Negros, tempat ia membagi-bagikan tanah kepada buruh dan petani. Keesokan harinya, Cory mengejutkan golangan kanan, Enrile terutama, ketika ia bertemu dengan tokoh NDF, sayap politik CPP (Partai Komunis Filipina) di Iloilo Panay. Pembicaraan berlangsung di sebuah biara, dan berakhir dengan pernyataan bahwa kedua pihak siap untuk gencatan senjata. Pada hari yang sama, Enrile berkunjung ke Cebu, dan menegaskan bahwa tipis harapan untuk satu penyelesaian damai. Sepulang Cory ke Manila, Sabtu, Enrile sudah mempersiapkan kecaman lain padanya. Presiden ini dituduh membangkitkan gerakan separatis Moro MNLF, tak lain karena mengadakan pertemuan khusus dengan Nur Misuari. Sebegitu jauh, penyelesaian damai dengan pihak Moro memang belum mencatat perkembangan baru. Tantangan Enrile, yang kian gencar diarahkan pada Cory, mencapai puncak pada hari Ahad lalu. Dalam satu rapat umum antikomunis di Manila, Enrile menandaskan bahwa kabinet Cory harus bubar jika ia sebagai Menhan diminta mengundurkan diri. "Anda tahu pemerintahan ini sebuah koalisi dan jika satu anggotanya diminta mundur, berarti koalisi harus bubar." Ada kesan sikap Enrile mendua: tidak setuju dengan kebijaksanaan atasannya, yakni Cory Aquino, tapi enggan mengundurkan diri. "Saya akan memikirkan itu bila saatnya tiba," kilah Enrile. Andai kata saat yang disebutnya itu tiba, akan ke mana Enrile? Jawabnya sederhana: ia pergi ke arak yang menguntungkan. Pilihan itu terbukti belum lama berselang, ketika Enrile bersama Ramos meninggalkan perahu Marcos yang karam, lalu menyeberang ke massa oposisi (Cory-Laurel). Harus diakui, secara historis, Enrile dan Ramos waktu itu telah berjasa besar, hingga Cory bisa mengorbit ke titik edarnya yang sekarang. Sebaliknya, jika saja Enrile tidak berontak, nasibnya tidak akan lebih baik dari para loyalis Marcos lainnya. Ia malah bisa terpenjara. Tapi, dewasa ini, tujuh bulan sesudah people power menghenyakkan dunia, Enrile muncul dan menjulang, serta diam-diam diakui sebagai tokoh nomor 2 di Filipina sesudah Cory Aquino. Dalam penilaian Belinda Aquino, seorang ahli politik pada Universitas Filipina, Enrile adalah tantangan terbesar bagi Cory, dan kebetulan sekali orang ini tidak merahasiakan ambisinya untuk menjadi presiden. Gejala ini pun sudah lama terlihat oleh Marcos dan Imelda. Enrile kemudian dikucilkan oleh Marcos, suatu kondisi yang akan terulang, tapi kali ini karena ulahnya sendiri. Toh Enrile tampaknya tidak gentar. Ia merasa tidak kalah bersaing dengan siapa pun, termasuk Cory. Ahli hukum lulusan Harvard ini memenuhi segala persyaratan: cerdas, kaya, berpengalaman, juga punya massa. Hanya saja ia tidak sepopuler Cory dan banyak orang meragukan sikap politiknya. Rakyat tidak lupa bahwa dialah dulu pelaksana UU Darurat di bawah Marcos, dia juga terlibat dalam kecurangan pemilu orde lama, dan kebenciannya pada komunis tidak membuat ia kelihatan lebih baik dari Marcos. Mereka yang berjuang di pihak Cory setidaknya punya gambaran figur Enrile tidaklah mewakili citra kepemimpinan yang mereka cita-citakan. Tapi demokrasi harus memberi ruang gerak bagi siapa pun, termasuk Enrile. Karena itu, ambisinya untuk menjadi presiden dianggap wajar dan sah. Hanya saja, peluang tiba-tiba tertutup ketika Komisi Konstitusi menolak pemilu ulang (yang dianjurkan Enrile) dan mengesahkan pemerintahan Cory sampai 1992. Kalau saja ketetapan Komisi ini diterima dalam plebisit Januari tahun depan, maka hampir bisa dipastikan Enrile, 63, tidak punya kesempatan lagi untuk meraih puncak karier sebagai presiden. Kemungkinan itulah agaknya yang mendorong Juan Ponce Enrile, anak gelap dari Cagayan, menciptakan kondisi tertentu agar masih tersisa ruang, melakukan terobosan. Dan Enrile tidak gampang menyerah. Bukankah ia pernah mengatakan, "Kalau kesabaran saya habis, saya bisa mengamuk seperti Rambo ....." Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini