SEKALIPUN jerat di tiang gantung mengintai nyawa, tak semua orang pasrah pada nasib. Di penjara Pudu, Kuala Lumpur, pekan lalu, narapidana Chua Chap Seng alias Jimmy alias Hokkien Chai, 37, bersama lima tahanan lainnya, mencari kebebasan dengan menyandera petugas kesehatan. Ceritanya: Jumat pagi, ketika Dr. Radzi Jaafar, 41, yang ditemani asistennya, Aziz Abdul Majid, memeriksa kesehatan para narapidana yang menghuni penjara berusia 101 tahun itu, tiba-tiba enam tahanan yang dipimpin Chua menyerbu masuk ke ruang klinik. Bersenjatakan benda-benda tajam, yang disembunyikan di sepatu, mereka lalu menyergap dokter dan asistennya, dan kemudian mengikatnya. Sebagian dari kelompok penyerbu itu mengusir pasien lainnya dan ruang klinik, termasuk seorang sipir penjara. Sipir inilah yang kemudian mengunci pintu klinik. Melihat perlengkapan keenam napi itu, penyanderaan ini tampak direncanakan dengan saksama. Apa sebetulnya yang mereka inginkan? Dari balik sel, terdengar kawanan Chua mengumumkan keinginan mereka: minta keringanan hukuman dan disediakan dua kendaraan buat melarikan diri. Bersama Chua, tiga pelaku lainnya (terdaftar sebagai Sin Ah Lau, 19, Ng Lai Huat, 24, dan Lam Hok Sang, 27) juga dituntut terhadap pelanggaran Akta Keamanan Dalam Negeri, yang hukumannya bisa mengantarkan nyawa mereka ke tiang gantungan. Sedangkan dua napi lainnya (Phang Boon Ho, 27, dan Yap Chu Keang, 23) melakukan pelanggaran pidana biasa. Belakangan, tuntutan keenam napi itu bertambah. Mereka ingin bertemu dengan Deputi Mendagri Datuk Megat Junid Megat Ayub. Tak dijelaskan apa yang ingin mereka bicarakan dengan pejabat tinggi pemerintah itu. Jika semua permintaan tersebut tidak dipenuhi hingga Sabtu pukul 18.00, menurut ancaman pertama, mereka akan membunuh para sandera. Tapi, sampai Selasa pekan ini, tak ada korban yang jatuh. Ulah enam kawanan napi itu telah menimbulkan kepanikan di markas besar kepolisian maupun penjara Malaysia. Sejak peristiwa penyanderaan yang dilakukan Tentara Komando Merah di Gedung AIA, Kuala Lumpur, 1975, mereka tidak pernah lagi berurusan dengan kasus-kasus serupa. Memang, empat tahun lampau, ada kerusuhan di penjara Pulau Jerejak, Penang, yang cukup menggusarkan alat negara. Peristiwa yang terjadi waktu makan siang itu bisa dipadamkan dengan segera, sekalipun dua tahanan kehilangan nyawa dan empat lainnya cedera. "Terus terang, kami sebenarnya tidak punya pengalaman dalam menangani peristiwa seperti ini," kata seorang anggota tim perunding. Tapi satuan khusus kepolisian sudah ditempatkan di sekeliling klinik, yang begitu komando diberikan, akan menyerbu ke dalam. Masalahnya, sekalipun seorang sipir sempat meninggalkan klinik, pasukan penyerbu tak punya cukup informasi mengenai posisi Chua dan sanderanya. Salah informasi bisa minta korban yang tak diinginkan. Apalagi waktu yang tersedia untuk mendobrak pintu klinik hanya dalam hitungan detik. Karena itu, unsur kecepatan dan pendadakan harus terpadu. Biasanya, peluang bagi keberhasilan operasi seperti ini fifty-fifty. Artinya, kemungkinan sandera akan terbunuh cukup besar. Karena itu, selain mencoba melakukan negosiasi, pimpinan penjara Pudu juga mencoba melakukan "teror mental" kepada para pemberontak. Dari Singapura, misalnya, salah seorang dari tiga istri Chua diterbangkan ke penjara Pudu untuk membujuk suaminya, tapi tak berhasil. Kemudian dicoba pula mempertemukan Chua dengan ibunya melalui telepon. Tapi, usaha itu terpaksa diurungkan, karena belakangan diketahui nenek tua itu tuli. Yang pasti, Chua kemudian memperpanjang batas akhir tuntutannya tanpa menyebut sampai kapan. Mengenai motivasi Chua dan kawan-kawan melakukan tindakan ini, menurut Dirjen Penjara Ibrahim Mohammed, Chua mengaku dirinya lelaki berprinsip. Prinsipnya: dibebaskan atau dibunuh. "Saya telah bosan dengan kehidupan penjara, dan bersedia mati. Sekiranya polisi nantinya menyerbu ruangan ini, saya akan menghadapi serbuan peluru senapan mereka," kata Chua, seperti dituturkan kembali oleh Ibrahim. Siapakah Chua? Lelaki berbadan tegap ini, dua tahun lalu, anggota regu penembak mahir pada kepolisian Singapura. Ia berurusan dengan penegak hukum Malaysia karena terbukti merampas pistol bintara polisi Mohammad Yassin Ismail di Wisma Shaw, Kuala Lumpur, dan kemudian menghabisi nyawa korban sekaligus. Akibat perbuatannya itu, Chua, yang punya tiga istri, dijebloskan ke penjara Pudu, yang terletak di jantung Kuala Lumpur. Ketika berobat ke Pusat Perawatan TBC di Negara Bagian Pahang, tahun lalu, Chua berhasil meloloskan diri. Setelah Chua raib tanpa tahu rimbanya selama hampir setahun, masa petualanganya berakhir pekan lalu ketika polisi berhasil membekuknya. Ia dikirim kembali ke penjara Pudu sambil menunggu pengadilan enam perkaranya. Dari luar penjara, tiga orang bomoh (dukun) mengajukan diri sebagai tenaga bantuan untuk menangkap Chua. Mereka mengaku punya jampi-jampi ampuh untuk menghipnotis keenam pemberontak tersebut dalam waktu 45 menit. Tapi pihak keamanan belum menggubris bantuan mereka. Memasuki hari ketiga, Senin, drama penyanderaan ini sebenarnya akan berakhir dengan sendirinya. Melalui mediator Ibrahim Mohammed, Chua menyatakan niat untuk menyerah. Namun, dua rekannya, Phang dan Yap, menghalangi niat Chua. Sementara itu, Ibrahim, yang memberikan waktu hingga Senin, juga belum menyerahkan penanganan perkara ini kepada polisi. Sekiranya aparat kepolisian, dengan persetujuan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, terpaksa mengerahkan unit satuan khusus mereka, bukan tidak mungkin ada nyawa melayang. Tapi, bagaimanapun, risiko itu harus diambil. James R. Lapian, Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini