OPERASI pesawat pengebom Israel ke markas gerilya Palestina di Libanon memang sering -- dan rutin. Tapi jarang sampai harus kehilangan pesawat tempur. Dalam aksi serangan -- di tahun ke-13 ini -- ke markas Al-Fatah di Miyeh-Miyeh, Kamis lalu, sebuah dari sembilan pesawat F-4 Phantom Israel bisa ditembak jatuh oleh rudal SAM-7 buatan Rusia. Ini untuk keempat kalinya -- sejak 1982 -- pesawat tempur Israel bisa dirontokkan lawan. Serangan kali ini, yang dimaksudkan sebagai aksi balas dendam, dilakukan kurang dari 24 jam setelah terjadi pelemparan granat ke tengah khalayak yang sedang menghadiri upacara pelantikan perwira muda Israel Rabu pekan lalu, di Yerusalem. Berondongan itu menewaskan satu orang dan mencederai 69 orang. Yang pertama-tama menyatakan bertanggung jawab: perwakilan PLO pendukung Arafat di Kairo. Karena itulah, sasaran serangan pesawat Israel ditujukan ke markas Fatah di kamp pengungsi Miyeh-Miyeh. Pilot dan navigator pesawat sial yang tertembak jatuh itu berhasil terjun. Dua jam kemudian sang pilot diselamatkan regu penolong Israel, yang memang langsung dikerahkan untuk mencari para awak. Adapun sang navigator ditangkap kelompok Amal Syiah, karena memang jatuh di wilayah kekuasaan mereka. Amal, yang seperti mendapat durian runtuh itu, kabarnya, langsung membawa tawanan mereka itu ke Lembah Bekaa, basis pasukan Syria di Libanon Timur, untuk menghindari kejaran pasukan Israel yang dikerahkan untuk mencari awak. Tapi Nabih Berri, pemimpin Amal, di Damaskus Sabtu lalu, tidak memberikan kepastian ada tidaknya tawanan itu di tangan pasukannya. "Kalau laporan itu benar, tawanan itu baru bisa kembali jika ditukar dengan seluruh tawanan Libanon dan Palestina yang ditangkap penguasa Israel," kata Berri, yang sehari sebelumnya membantah berita itu. Sementara itu, pihak Israel sudah mengancam kelompok Amal. "Amal bertanggung jawab atas tawanan itu. Pokoknya, kami menuntut tawanan dikembalikan dengan selamat secepatnya ke Israel," tutur Uri Lubrani, Koordinator Urusan Libanon Departemen Pertahanan Israel. Israel selama ini ketat melaksanakan kebijaksanaannya untuk tidak mengabaikan pasukannya yang hilang. Kebijaksanaan ini kadang-kadang memaksanya melakukan perjanjian pertukaran tawanan dengan pihak Palestina dan kelompok lain di Libanon. Terakhir, tiga orang tentara Israel ditukar dengan sekitar 1.150 gerilya Palestina -- Mei 1985. Konon, pihak Amal mengharapkan tawanan Israel baru itu bisa dibayar dengan sekitar 200 pasukan milisi Syiah yang ditangkap tentara Libanon dukungan Israel di Libanon Selatan. Sebelumnya, Israel selalu meminta pertolongan pasukan perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL) untuk berhubungan dengan milisi Amal. Tapi untuk kasus terakhir, sejauh ini Israel belum melakukan hal yang sama. Keadaan di Libanon hari-hari terakhir ini bertambah tegang. Di bagian selatan, kapal-kapal laut Israel muncul dua kilometer dari pelabuhan Tyre dan terlibat baku hantam dengan pasukan Amal di laut. Di Beirut, pertempuran antara kelompok Kristen dan Muslim menghangat kembali. Bom mobil, di Beirut Timur, meledak Ahad lalu. Di Sidon dan Tyre, pasukan gerilya Palestina dan Amal Syiah siaga penuh menunggu aksi lanjut pasukan Israel. Penduduk sekitar merasa waswas. Walaupun PM Yitzhak Shamir -- yang baru saja menggantikan Shimon Peres -- berjanji akan membalas penggranatan di Yerusalem itu, kemungkinan masuknya kembali pasukan Israel ke Libanon sebenarnya hampir tak mungkin, mengingat betapa kedodorannya ekonomi Israel setelah invasi ke Libanon 1982 silam. Pendudukan selama tiga tahun itu berharga mahal. Karena itulah, yang bisa dilakukan pihak berwajib di Yerusalem -- sampai minggu kemarin -- hanya melacak terus pelaku penggranatan itu. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini