DICE, rasanya, saya bakal tak pernah tahu siapa sebenarnya yang menyebabkan kematianmu. Apa mau dikata: kau bukan seorang tokoh dalam sebuah roman detektif, korban yang tubuhnya dilubangi dengan 5 butir peluru. Agatha Christie akan dimaki para pembaca, seandainya ia, di ujung cerita, tak menyajikan finalnya yang klasik: Hercule Poirot menunjukkan kepintaran, dan si pembunuh tertangkap. Tapi hidup kita sehari-hari tak diatur oleh Agatha Christie. Hidup sehari-hari lebih muskil, Dice, dan kau adalah bagian dari hidup yang muskil itu. Dalam hidup ini, mana yang benar dan mana yang tak benar tak selamanya bisa dikatakan. Bahkan sering tak dapat ditemukan. Kau ingat, bukan, mayat yang suatu hari di Jakarta yang modern ditemukan terpotong-potong jadi 13? Kita tak tahu siapa yang membunuh. Kita tak tahu siapa yang dibunuh. Dan kini kita tak tahu siapa yang menyebabkan kematianmu. Memang banyak kejahatan yang tak pernah terbongkar dan itu tak cuma perkara korupsi. Jangan terlalu sedih: toh kita tak selamanya pintar sekali. Hidup bukan sebidang teka-teki silang, dengan jawaban yang -- kalau tak bisa kita tebak -- akan tiba pekan depan. Bukankah banyak hal tak punya kamus, tak punya rumus? Bukankah gejala sakit pun -- yang remeh seperti encok di punggung saya -- tak kunjung diketahui apa sebabnya? Repotnya, hidup pendek, dan kita tak bisa selalu sabar. Maka, kita suka mencegat. Sederet dugaan lewat di depan kita, lalu kita mengambil salah satu dan mendekapnya. Kita enggan melepaskannya kembali. Kita kepingin mengadopsinya sebagai kebenaran -- bahkan sering dibayangkan tertulis dengan "K". Kita buru-buru ingin memperoleh yang pasti untuk selama-lamanya. Mungkin itu tanda bahwa kita habis akal. Atau lembek berpikir. Atau malas. Mungkin juga takut -- takut untuk menemukan kebenaran yang tak menyenangkan hati. Karena itu, kita senang dogma dan doktrin. Juga gosip, kabar angin, yang umumnya cuma duga-dugaan yang ditularkan, dan kian menular terasa kian pasti. Dewasa ini, Dice, orang teramat suka menikmati purbasangkanya sendiri. Menyedihkan, memang. Sebab, purbasangka itu seperti rokok: ia bisa mengakibatkan kanker yang lama dan ganas, tapi ia sebenarnya sebuah pernyataan kegelisahan hati. Gelisah karena jengkel, karena frustrasi, karena iseng, karena cemas, atau karena sepi. Dan seperti rokok, purbasangka adalah sesuatu yang bisa mengasyikkan -- dan bisa membikin mata melek terus. Pengisi waktu ngobrol. Tapi kau pun tahu, di hari-hari ini purbasangka tak cuma sendirian. Entah kenapa ada sesuatu dalam diri bangsa kita yang mendorong kita gemar bikin "skenario". Maksud saya: kita gemar membuat teori yang paling seram, tentang suatu kejadian yang sebenarnya sepele saja. Bukankah pernah suatu ketika, sebuah usaha pengumpulan pendapat umum -- dan sebuah pabrik minuman -- dianggap didalangi CIA? Dan dimaklumkan ke publik tanpa dibuktikan? Pembuktian -- itulah yang tampaknya sering tak berlangsung di masyarakat kita, Dice. Padahal, hidup memerlukan itu terus-menerus. "Verifikasi" tak cuma sebuah istilah akuntansi. Karena itu, wartawan perlu melakukannya, kata orang, dengan cek dan cek lagi, Jangan asal tulis. Karena itu, para pejabat juga perlu melakukannya, jangan asal menindak. Tak cukup cuma main asumsi. Namun, bagaimana mungkin pembuktian, verifikasi, cek-dan-cek-lagi, bisa jadi kebiasaan yang sehat, bila kita tak biasa dengan kesangsian? Satu derajat sikap sangsi, satu dosis skeptisisme, apalagi terhadap kesimpulan sendiri, sebenarnya memang perlu. Tapi itu seperti jamu: rasanya tak enak. Paling tidak, sikap skeptis adalah sikap yang mengorek-ngorek keyakinan. Ia tak sememikat sikap yang menawarkan keyakinan. Namun, skeptisisme juga sikap ilmu -- dan sekaligus sikap seorang penyelidik yang ulung. Karena itu, seorang Sherlock Holmes memerlukan seorang Dr. Watson: seseorang yang bertanya, meragukan, dan mendebat asumsi sang jagoan sendiri bukan seseorang yang cuma jadi fotokopi yang mengulang dan kemudian bisu. Mungkin itu sebabnya cerita detektif terbesar dewasa ini berkisah tentang sebuah penyelidikan pembunuhan di sebuah biara tua di Abad Tengah Eropa: The Name of the Rose dari Umberto Eco. Sang penyelidik datang dari Inggris, tanah leluhur filsafat empiris. Ia, seorang rohaniwan dengan semangat keilmuan Sir Francis Bacon, datang ke dalam sebuah lingkungan yang ketakutan, tercekam di bawah bayangan doktrin yang membatu. Ia akhirnya bukan saja menjadi seorang detektif. Ia juga menggugat keyakinan-keyakinan, yang akhirnya ternyata cuma kesimpulan yang tak pernah bisa kekal seperti Tuhan. Di akhir cerita, si pembunuh terbongkar. Sumber rahasia pun tersibak di sebuah perpustakaan, yang selama itu buku-bukunya dilarang disentuh, apalagi ditelaah. Dan biara tua itu runtuh. Tapi sayang sekali kau tak ada dalam cerita itu, Dice, sayang sekali. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini