Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono menegaskan kembali sikap Indonesia atas polemik Laut Cina Selatan. Dia menekankan bahwa Indonesia tetap konsisten dan berpegang teguh pada hukum yang tertuang dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sugiono menjelaskan bahwa Indonesia akan mengutamakan penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan dengan mengedepankan perdamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya tegaskan bahwa posisi Indonesia adalah tetap mengutamakan penyelesaian berbagai ketegangan dan konflik secara damai," kata Sugiono saat menyampaikan pidato dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) 2025 di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Jakarta Pusat, pada Jumat, 10 Januari 2025.
Lebih lanjut, Sugiono juga mengatakan bahwa diplomasi Indonesia akan tetap berpegang teguh pada tujuan negara yang juga tercantum dalam konstitusi.
“(Diplomasi) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk kedaulatan, kesatuan, Republik Indonesia," ujarnya.
Lebih lanjut, Sugiono menuturkan Indonesia akan tetap mengadvokasi penyelesaian kode etik antara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Cina di Laut China Selatan. Politikus Partai Gerindra itu menyatakan akan mengedepankan sentralitas ASEAN.
Tak sampai di situ, Sugiono memastikan diplomasi Indonesia akan selalu mengutamakan muruah maritim bangsa. Dia menyatakan Indonesia akan memperkuat diplomasi perbatasan, baik di darat maupun laut. Selain itu, dia berjanji akan menyelesaikan perjanjian batas-batas wilayah dengan negara tetangga secepatnya.
Sebelumnya, kunjungan luar negeri perdana Prabowo langsung ke Cina pada 9 November lalu menuai kegaduhan. Sebab, kalangan pakar hukum internasional dan hubungan internasional menganggap pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping sebagai kemunduran dalam diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan.
Dalam butir 9 pernyataan bersama itu, Indonesia-Cina mencapai kesepahaman penting untuk menjalani pengembangan bersama di wilayah-wilayah tumpang-tindih.
Dilansir Koran Tempo, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mempertanyakan wilayah tumpang tindih tersebut. Dia menduga kawasan itu adalah perairan di timur laut Kepulauan Natuna, lokasi persinggungan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan sembilan garis putus-putus atau nine dash line Cina. Perairan itu dikenal dengan Laut Natuna Utara.
"Jika benar, berarti kebijakan luar negeri Indonesia ihwal sembilan garis putus-putus berubah drastis, fundamental, dan berdampak pada geopolitik kawasan," ujar Hikmahanto kepada Tempo pada Selasa, 12 November 2024.
Cina mengaku sebagai penguasa sekitar 90 persen Laut Cina Selatan. Klaim itu pertama kali dikemukakan pada 1948 lewat penggambaran sebelas garis putus di peta mereka yang menjorok jauh hingga mendekati Vietnam di timur, Filipina di barat, serta Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam di selatan. Seiring berjalannya waktu, jumlah garisnya berubah-ubah. Bisa sembilan, sepuluh, atau sebelas. Namun masyarakat internasional lebih mengenalnya sebagai nine dash line.
Batas wilayah perairan tersebut merupakan klaim sepihak berdasarkan lokasi penangkapan ikan tradisional Cina. UNCLOS—Indonesia dan Cina termasuk di antara 168 pesertanya—tidak mengakuinya. Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional menyatakan klaim tersebut tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.
Reza Maulana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.