Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menteri Malaysia Sebut Suku Bajo Sengaja Bakar Rumah untuk Cari Simpati

Malaysia mengusir ratusan suku Bajo dan membakar rumahnya. Menteri Malaysia membela diri.

10 Juni 2024 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah negara bagian di Malaysia membantah adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam penggusuran ratusan warga Bajau Laut atau suku Bajo dari pulau-pulau sekitar Semporna. Pengusiran suku Bajo ini belakangan menjadi sorotan internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pariwisata, Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Datuk Christina Liew mengatakan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia. Meski demikian pejabat kementeriannya sedang menyelidiki lebih dalam insiden yang telah memicu kontroversi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dalam hal ini, saya tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia. Kalau ngomong-ngomong soal itu saya akui mereka sudah lama tinggal di sana. Tapi pelanggaran hak asasi manusia, menurut saya, kita akan membicarakan hal ini di meja diskusi," katanya.

“Ada banyak masalah teknis di baliknya. Pertama kita perlu mengidentifikasi apa kewarganegaraan mereka, pelanggaran HAM apa yang sedang kita bicarakan? Apakah mereka ditawari untuk pindah dan tinggal di pedalaman dan mereka menolak karena mereka lebih memilih gaya hidup seperti itu?” ujarnya dilansir dari Malay Mail.

Liew mengatakan pihak berwenang berhak mengambil tindakan karena taman laut yang dilindungi melarang banyak aktivitas yang dianggap merusak. “Ditinjau dari kepatuhan terhadap Undang-Undang Taman Nasional tahun 1984, Taman Laut Tun Sakaran merupakan salah satu kawasan yang dicanangkan sebagai kawasan Taman Nasional atau Taman Negara. Pelanggaran apa pun terhadap ketentuan dalam undang-undang tersebut, seperti penangkapan ikan, pendirian bangunan tanpa izin, dan pertanian, memberikan wewenang kepada Sabah Parks untuk mengambil tindakan yang sesuai," ujarnya. 

“Isu penggundulan hutan di Pulau Bodgaya untuk tujuan pertanian dan pembangunan lebih dari 200 bangunan tanpa izin merupakan contoh pelanggaran terhadap undang-undang tersebut,” ujarnya.

Liew mengatakan bahwa pemberitahuan untuk mengosongkan tempat tersebut dikeluarkan untuk sekitar 273 rumah yang dibangun di dalam Taman Laut Tun Sakaran yang dibatasi dari tanggal 2 Mei hingga 4 Mei. “Pembongkaran dan evakuasi pemukiman tidak sah dimulai pada tanggal 4 hingga 6 Juni 2024, dengan 138 pemukiman tidak sah dibongkar di zona panas. Sementara itu, rumah lainnya dibongkar oleh pemiliknya sendiri, dan sebagian pemilik meninggalkan rumahnya apa adanya.

“Menurut sumber PDRM yang terlibat dalam operasi tersebut, beberapa pemilik rumah membakar rumahnya selama tim operasi tidak berada di lokasi dengan tujuan untuk viral di media sosial dan menarik simpati serta perhatian netizen,” ujarnya.

Liew mengatakan operasi tersebut dilakukan karena masalah keamanan di tingkat distrik, menyusul insiden penembakan di Teluk Darvel dan aktivitas kriminal lintas batas di lokasi pemukiman tidak sah. Kedaulatan hukum negara yang berlaku dalam permasalahan ini harus ditegakkan.

Operasi tersebut terjadi setelah adanya pertemuan antara Sabah Parks dengan Polsek Semporna dan melibatkan PDRM, polisi laut, Kantor Distrik Semporna, ESSCom, Departemen Imigrasi, Departemen Registrasi Nasional, dan Dewan Distrik Semporna.

“Seluruh tindakan yang telah dilaksanakan telah disepakati oleh instansi terkait dalam beberapa sesi pertemuan, termasuk delapan perwakilan sah komunitas TSMP yang secara aklamasi meminta agar komunitas tidak sah tersebut segera dikeluarkan dari kawasan tersebut,” ujarnya.

Tindakan penggusuran ini menuai kritik setelah video yang menunjukkan pembongkaran rumah, sebagian dilakukan oleh pria berpakaian preman, tersebar di media sosial.

Suku Bajo adalah komunitas pelaut, banyak yang tinggal di lepas pantai di rumah perahu kayu atau gubuk yang dibangun di atas panggung di dalam dan sekitar pulau Semporna. Budaya nomaden mereka sudah ada sejak berabad-abad sebelum perbatasan laut dan mereka telah mendapatkan reputasi atas kemampuan mereka menahan napas di bawah air untuk waktu yang lama.

Para aktivis menyerukan perlakuan yang lebih manusiawi karena masyarakat yang lahir di laut tidak memiliki dokumen identitas atau akses terhadap fasilitas dasar seperti pendidikan, layanan keuangan atau kesehatan, sehingga membuat mereka rentan terhadap deportasi dan upaya penegakan hukum apa pun.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus