Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karpet merah dibentangkan di depan rumah dinas Presiden Rusia Vladimir Putin di NovoOgaryovo, Kamis dua pekan lalu. Dua pejabat penting Rusia, Menteri Pertahanan Sergei Shoigu dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, menyambut kedatangan tamu penting: Panglima Militer Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Sebuah mantel berwarna biru gelap bertanda bintang di bagian lengan diberikan kepada El-Sisi sebagai penghormatan. El-Sisi mengenakan mantel itu, membalut seragam militernya, saat bertemu dengan Putin. "Itu adalah hadiah simbolis karena perannya di militer. Tidak kurang tidak lebih," kata Duta Besar Rusia untuk Kairo, Sergei Kirpichenko, seperti dikutip Daily News Egypt.
Kunjungan itu sendiri lebih dari sekadar simbol. El-Sisi membalas kedatangan Shoigu dan Lavrov ke Mesir tiga bulan lalu. Saat itu, keduanya menawarkan 24 unit pesawat tempur MiG-29, tank, dan misil antiradar. Nilainya US$ 2 miliar-tapi beberapa media Rusia menyebut US$ 3 miliar.
Mesir menyatakan berminat membeli untuk menghadapi apa yang disebutnya serangan teror milisi garis keras-yang beberapa bulan lalu memang sempat menyasar sejumlah kota, terutama di wilayah Sinai. "Kunjungan kami menawarkan awal baru untuk pengembangan kerja sama militer dan teknologi antara Mesir dan Rusia. Kami berharap mempercepat kerja sama," kata El-Sisi seperti dikutip Russia Today.
Kerja sama itu dijalin pada saat yang tepat. Rusia melihat peluang yang terbuka setelah Mesir kecewa terhadap Amerika Serikat. Pemerintah Barack Obama menghentikan kucuran bantuan militer US$ 560 juta dari total US$ 1,3 miliar yang rutin dicairkan setiap tahun kepada Mesir. Bantuan ini telah mengalir selama tiga dasawarsa. Amerika juga menunda pengiriman 12 pesawat F-16, 12 helikopter Apache, 4 tank Abrams, dan peluru kendali antikapal Harpoon. Amerika menilai pemerintah Mesir bentukan militer telah mencederai demokrasi. Alasannya, militer yang dipimpin El-Sisi menggulingkan Presiden Muhammad Mursi, yang terpilih secara demokratis. Penggulingan Mursi menelan seribu nyawa.
Tak berlebihan jika ada yang memperkirakan Putin menargetkan Mesir menjadi sekutu dekat ketiga di Timur Tengah, setelah Iran dan Suriah. Selama pertemuan dengan El-Sisi, Putin dengan royal memuji-muji kemungkinan pencalonan El-Sisi dalam pemilihan presiden akhir April mendatang. El-Sisi merupakan calon kuat Presiden Mesir setelah Al-Ikhwan al-Muslimun-kelompok pendukung Mursi-diberangus. Jika Putin bisa merangkul El-Sisi, pengaruh Rusia di Timur Tengah akan menguat.
Media di Rusia memajang foto El-Sisi mengenakan jas biru tua, berdasi, dan bercelana hitam gelap sebelum berangkat ke Rusia di bandar udara militer Almaza, Kairo, Rabu dua pekan lalu. Media menilai El-Sisi sudah siap menduduki jabatan puncak dengan bergaya layaknya presiden. "Saya tahu Tuan Menteri Pertahanan telah memutuskan mencalonkan diri sebagai Presiden Mesir. Semoga keberuntungan ada di pihak Anda. Atas nama pribadi dan rakyat Rusia, kami mendukung," ujar Putin.
Sumber militer Mesir kepada Debkafile, situs intelijen militer Israel, mengungkapkan transaksi yang dimulai akhir Oktober tahun lalu itu tak hanya berupa pembelian senjata. Rusia disebutkan akan membantu Mesir mendirikan sistem pertahanan canggih untuk defensif dan ofensif. Dia mencontohkan pembangunan sistem perisai penangkal serangan pesawat siluman, pesawat tak berawak, dan rudal jelajah di sepanjang Terusan Suez, pesisir Laut Merah, hingga Mediterania.
Sumber anonim itu menambahkan sistem ini akan diprioritaskan di Mesir bagian timur untuk melindungi Arab Saudi, sekutu Mesir. Nantinya, pembangunan sistem pertahanan akan meluas ke sejumlah negara di Timur Tengah hingga Iran. Selama November tahun lalu, Wakil Direktur Utama Layanan Federal dalam Kerja Sama Militer Andrei Boitsov dan pejabat Rosoboronexport, perusahaan pengekspor senjata asal Rusia, wira-wiri ke Mesir.
Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri Rusia Mikhail Fradkov bahkan membuka wacana Rusia bakal membangun pangkalan laut di Alexandria, Mesir. Pangkalan ini akan menjadi pangkalan laut kedua Rusia di Timur Tengah, setelah Tartus, Suriah. Sumber di Rusia menyatakan rencana ini sangat serius. Dia menuturkan Rusia telah menyiapkan 1.500 personel militer untuk melatih tentara lokal, yang dikirim pertengahan tahun ini.
Kedatangan kapal perang Rusia, Varyag, yang berlabuh di Alexandria, November tahun lalu, seakan-akan memperkuat dugaan itu. Komandan Angkatan Laut Mesir menyambutnya dengan penghormatan yang tak biasa, termasuk hormat senjata. Namun para pejabat Mesir membantah laporan bahwa Rusia akan mendirikan pelabuhan di negaranya. "Pembangunan pangkalan angkatan laut Rusia bisa merusak kemerdekaan dan kedaulatan negara," kata Badr Abdelatty, juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir.
Mesir sesungguhnya sangat dekat dengan Rusia kala masih merupakan Uni Soviet, selama dua dekade, mulai 1950. Ketika itu, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser merangkul Soviet untuk memodernisasi negara dan mewujudkan militer yang kuat di puncak Perang Dingin dan konflik Arab-Israel. Mesir membeli 20 ribu senjata dari Soviet. Kerja sama kedua negara juga berhasil membangun High Dam, megaproyek untuk mengontrol banjir serta menyediakan air untuk irigasi dan pembangkit listrik.
Penerus Nasser, Anwar Sadat, meninggalkan Moskow dan mengusir penasihat militer Soviet. Sadat berpaling ke Amerika setelah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel pada 1979-melalui Perjanjian Camp David. Mesir menjadi penerima bantuan Amerika terbesar kedua, setelah Israel.
Keputusan Mesir berpaling kembali ke Rusia, melalui pembelian senjata, tak lepas dari pengaruh Saudi. Negara ini, bersama Uni Emirat Arab dan Kuwait, telah menyanggupi penggelontoran dana hingga US$ 4 miliar. Saudi, melalui Kepala Intelijen Pangeran Bandar bin Sultan al-Saud, ikut berperan melobi Rusia. Dia meminta barter Rusia melunak di konflik Suriah dan nuklir Iran. "Mesir memiliki masalah dalam kemampuan membayar. Mereka mencari sumber dana dari sekutunya di Timur Tengah," ujar Igor Korotchenko, anggota Dewan Penasihat Kementerian Pertahanan Rusia.
Dalam pertemuan dengan sejumlah diplomat Eropa, Bandar terang-terangan menyatakan kekecewaannya terhadap Amerika. Dia mencontohkan keengganan Amerika bertindak tegas mendongkel Presiden Suriah Bashar al-Assad, terutama dengan cara menyalurkan senjata kepada oposisi. Saudi, yang Sunni, berbeda aliran dengan Assad, yang Syiah.
Dalam kasus nuklir Iran, Amerika juga dianggap cenderung lembek dan memberikan ruang bagi Iran untuk lepas dari sanksi. Dalam hal Mesir pun, Amerika condong mendukung Ikhwan ketimbang militer. "Alasan inilah yang akhirnya membuat kami menolak duduk di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Bandar, seperti dilansir The Washington Post.
Sejak itu, Saudi mengalihkan pembelian senjata ke Prancis. Padahal Amerika mengucurkan bantuan US$ 60 miliar untuk Saudi dan Uni Emirat Arab. Akhir tahun lalu, Presiden Francois Hollande bertemu dengan Raja Abdullah untuk menawarkan persenjataan. Saudi tertarik membeli rudal Crotale senilai 2,7 miliar euro dan sepakat merehabilitasi roket serta pertahanan udara di perbatasan senilai 2,4 miliar euro. Selain itu, Saudi sedang menguji coba generasi ketiga fregat dan kapal selam buatan Prancis yang harganya diperkirakan 20 miliar euro.
Saudi juga meminta negara sekutunya, Libanon, meninggalkan Amerika. Lembaga riset pertahanan Stockholm International Peace Research Institute mencatat Libanon membelanjakan US$ 1,7 miliar untuk membeli senjata dari Amerika pada 2012. Tahun ini, Saudi memberikan pinjaman US$ 3 miliar.
Toh, Amerika tak khawatir terhadap upaya balik badan sekutunya di Timur Tengah itu. Alasannya, tiga perempat senjata yang dimiliki negara-negara Arab buatan Amerika. "Mereka masih akan bergantung pada Washington untuk suku cadang dan pemeliharaan persenjataan," ujar seorang pejabat militer Amerika, seperti dikutip The New York Times.
Eko Ari Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo