Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan Badan Akuntasi Keuangan Negara di Gedung Nusantara II kompleks Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat penuh sesak. Kursi yang tersedia tak cukup menampung peserta rapat. Puluhan orang terpaksa berdiri memenuhi ruangan di lantai tiga itu. Sebagian besar peserta rapat itu merupakan penghuni Apartemen dan Rumah Kantor Grand Cempaka Mas, Jakarta Pusat.
Senin sore pekan lalu itu, mereka tampak bersemangat mengikuti pertemuan yang dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie. Dalam pertemuan sekitar dua jam itu, mereka bergiliran mengadukan berbagai tindakan pengelola apartemen yang tak bisa mereka terima. Dari pembentukan kepengurusan penghuni apartemen, penggelembungan tagihan listrik, sampai pungutan atas nama pajak yang dianggap ilegal.
Marzuki lantas berjanji menyelesaikan masalah mereka. Dia berjanji akan mengundang Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, bersama pihak Kementerian Perumahan, PLN, perusahaan air minum, dan pihak terkait lainnya. "Sehingga persoalan ini bisa tuntas," kata Marzuki.
Perseteruan penghuni dengan pengelola apartemen kian panas setelah pemadaman listrik di sejumlah unit apartemen milik PT Duta Pertiwi Tbk itu pada 20 Januari lalu. Pengelola mencabut pasokan listrik ke unit yang penghuninya tak mau membayar tagihan lewat pengelola. Penghuni lalu melawan dengan diam-diam memperbaiki panel listrik. Puncaknya, pada 28 Januari lalu, Kepolisian Resor Jakarta Pusat menggiring Mayor Jenderal Purnawirawan Saurip Kadi, yang dianggap sebagai penggerak penghuni Apartemen Graha Cempaka Mas. Dibawa ke kantor polisi pukul 22.00, Saurip dilepas pukul 06.00 esok harinya.
Lokasi Apartemen Graha Cempaka Mas di tengah Jakarta Pusat menarik minat Justiani. Perempuan ini tinggal di Blok A2-seluas 90 meter persegi-sejak 2000. Setelah belasan tahun tinggal di apartemen itu, Justiani makin penasaran terhadap tagihan yang terus membengkak. Terakhir dia harus membayar sekitar Rp 3 juta per bulan. Itu untuk tagihan listrik, air, dana darurat (sinking fund), dan biaya pelayanan (service charge) yang ditarik pengelola. "Saya heran setiap tahun selalu ada kenaikan tagihan," ujar Justiani, Rabu pekan lalu.
Bukan hanya Justiani yang bertanya-tanya. Penghuni lain pun penasaran, terutama ketika pengelola apartemen mengumumkan kenaikan tarif listrik pada Januari 2013. Ketidakpuasan penghuni apartemen tak bisa diselesaikan lewat Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) Campuran Graha Cempaka Mas. Dalam pertemuan yang difasilitasi Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada April 2013, Justiani mendengarkan keluhan penghuni apartemen lain.
Di samping jadi ajang curhat, pertemuan itu menjadi cikal-bakal pembentukan Forum Komunikasi Warga Apartemen dan Rukan Graha Cempaka Mas-asal mula tandingan PPRS Graha Cempaka Mas yang lama. Suami Justiani, Saurip Kadi, didaulat sebagai Ketua Forum Komunikasi. Adapun pengacara Palmer Situmorang menjadi Sekretaris Jenderal Forum.
Setelah menggalang dukungan penghuni apartemen lain, pada September 2013, Forum Komunikasi menggelar pertemuan Rapat Umum Luar Biasa PPRS Graha Cempaka Mas. Rapat yang juga dihadiri perwakilan Dinas Perumahan itu menghasilkan daftar pengurus baru PPRS Graha Cempaka Mas. Pengurus lama, dengan Ketua Umum Agus Iskandar dan Wakil Ketua Molan Tarigan, secara sepihak dinyatakan demisioner. Mereka digantikan pengurus baru, dengan Ketua Umum Tonny Soenanto dan Sekretaris Umum Palmer Situmorang.
Penggagas rapat umum luar biasa menuduh pengurus lama PPRS sebagai perpanjangan tangan pengelola apartemen. Apalagi, menurut Justiani, Agus Iskandar tak hanya menjadi pengurus PPRS Graha Cempaka Mas. Dia juga menjadi pengurus perhimpunan penghuni di empat tempat lain, di antaranya Gading Mediterania Residence. Agus menolak memberi keterangan soal penggusuran dirinya. Tangkisan justru datang dari kuasa hukum Duta Pertiwi, Hokli Lingga. Menurut Hokli, tak ada larangan pengurus satu PPRS merangkap jadi pengurus di berbagai tempat.
Pengurus baru PPRS Graha Cempaka Mas lalu membuat nomor pokok wajib pajak dan rekening organisasi serta mendaftarkan kepengurusan ke pemerintah. Pengurus baru juga mengajukan balik nama rekening tagihan listrik dan rekening tagihan air minum. Sebelumnya, pembayaran tagihan menggunakan rekening PT Duta Pertiwi. Biaya untuk mengurus perubahan itu sekitar Rp 750 juta, ditanggung renteng oleh 354 dari 788 penghuni apartemen dan rumah kantor.
Melihat gerakan pengurus PPRS baru, pengelola Graha Cempaka Mas mengambil langkah tegas. Pada 20 Januari 2014, pengelola mencabut panel listrik bagi penghuni yang tak membayar melalui Duta Pertiwi. Tapi, menurut Hokli, pemadaman listrik tidak dilakukan tiba-tiba. Pemilik unit apartemen diberi tahu sebulan sebelumnya. "Yang dicabut rata-rata punya tunggakan tiga-tujuh bulan," ujar Hokli.
Pencabutan jaringan listrik tak membuat anggota PPRS baru menyerah. Mereka tetap menolak membayar melalui pengelola karena menganggap ada penggelembungan tagihan. Perhitungan mereka mengacu pada tagihan dari PLN. Misalnya, untuk Februari 2014, tagihan dari PLN sebesar Rp 859,8 juta, dengan jumlah pemakaian listrik 762.160 kilowatt-jam (kWh).
Menurut perhitungan penghuni, harga per kWh listrik adalah Rp 1.129. Adapun Duta Pertiwi menagih Rp 1.657 per kWh. Berdasarkan perhitungan pengelola, harga listrik Rp 1.370 per kWh ditambah jasa operator 10 persen dan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. "Perbedaan tagihan sampai 47 persen per kWh," kata Justiani.
Soal selisih tagihan itu, Hokli punya penjelasan. Menurut dia, tarif yang dibebankan kepada penghuni memang lebih tinggi daripada tagihan PLN. Soalnya, tagihan PLN hanya untuk listrik hingga ke gardu induk. Pengelola mesti menyalurkan kembali tenaga listrik melalui trafo ke tiap penghuni. Pengelola perlu biaya pemeliharaan gardu serta biaya untuk pemeliharaan genset dan bahan bakar solar buat persiapan menghadapi pemadaman aliran listrik.
Alasan pengelola tak bisa diterima penghuni. Mereka merasa mendapat beban ganda. Soalnya, setiap bulan penghuni telah membayar iuran pemeliharaan lingkungan. Di dalamnya termasuk biaya pemeliharaan gardu.
Tak ada titik temu, PPRS baru Graha Cempaka Mas menuntut pengelola melakukan audit kelistrikan. Penghuni juga mempersoalkan penetapan PPN 10 persen untuk tarif listrik dan air. Alasan mereka, dalam bukti tagihan dari PLN dan perusahaan air minum kepada Duta Pertiwi tidak tercantum komponen PPN itu.
Pada awal Mei 2013, Saurip Kadi sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Warga Pemilik mempertanyakan beban PPN 10 persen yang ditarik pengelola kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam surat balasan pada 24 Mei 2013, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menjelaskan bahwa listrik untuk perumahan dengan daya hingga 6.600 watt dan air bersih yang disalurkan ke perumahan itu tak dikenai PPN.
Meski ada penjelasan Dirjen Pajak, pihak Duta Pertiwi tetap menarik PPN. Alasannya, menurut Hokli, mereka mendapat penjelasan berbeda dari pejabat Kantor Perwakilan Pajak Wajib Pajak Besar II Jakarta pada 28 Agustus 2013.
Pejabat itu menyatakan PPN dikenakan 10 persen karena pengelola memproses tegangan listrik dari gardu induk dan menyalurkan ke unit yang ditempati penghuni dengan jumlah di atas 6.000 watt. Begitu juga air dan beban pelayanan dikenai PPN 10 persen. "Bila tak harus membayar PPN, kami juga tak akan bayar," ucap Hokli.
Tak menemukan kata sepakat, para pihak yang bersengketa memproses perkara ke ranah hukum. Pengelola apartemen dan pengurus lama PPRS menggugat secara perdata pembentukan pengurus baru yang mereka anggap tak sah. "Kepengurusan yang sah pimpinan Agus Iskandar dengan masa hingga 2015," ujar Hokli.
Sebaliknya, Saurip Kadi dan kawan-kawan melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan serta pemalsuan surat oleh PT Duta Pertiwi ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada 22 Agustus 2013.
Sebelum melapor ke polisi, Saurip berupaya menempuh jalur mediasi, di antaranya lewat Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Jhonny Lumintang. Sebelum dilantik sebagai Duta Besar RI untuk Filipina, Jhonny menjabat Presiden Komisaris PT Bank Sinarmas, satu grup usaha dengan Duta Pertiwi. "Saya menyarankan mereka menyelesaikan perkara lewat pengadilan," kata Jhonny.
Ketidakpuasan terhadap perlakuan pengelola bukan monopoli penghuni Graha Cempaka Mas. Penghuni berbagai apartemen dan rumah kantor lain punya pengalaman serupa.
Menurut Ketua Kesatuan Aksi Pemilik Penghuni Rumah Susun Indonesia Brigadir Jenderal TNI Purnawirawan Krismanto Prawiro, tak kurang dari penghuni 28 apartemen dan rumah kantor mengeluhkan masalah yang mirip. Keluhan tersebut sudah mereka sampaikan kepada Kongres Penghuni Rumah Susun, Desember tahun lalu. "Akar masalahnya juga sama: PPRS hanya kepanjangan tangan dari pengembang," ucap Krismanto.
Meski waktu dan tempatnya berbeda, menurut Krismanto, modus perlakuan pengelola apartemen sama saja. Mereka tak memberi penjelasan memadai kepada penghuni soal tarif listrik dan air, PPN 10 persen, serta laporan pengelolaan dana darurat. "Ketika penghuni memprotes, pengelola menekan dengan melaporkan mereka ke polisi," ujar Krismanto.
Yuliawati, Praga Utama
Kalah tapi Terus Melawan
SEBULAN setelah ditunjuk menjadi Ketua Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) Bukan Hunian ITC Mangga Dua, Juli 2013, Haida Sutami punya kesibukan baru. Bukan mengurus para penghuni, tapi ia mesti bolak-balik ke kantor Kepolisian Resor Jakarta Utara menjalani pemeriksaan. Itu karena Duta Pertiwi, pengelola ITC, menuduhnya melakukan perbuatan tak menyenangkan pada Agustus 2013. Statusnya pun menjadi tersangka.
Nasib yang sama dialami dua rekannya, Mardianta (Ketua Koperasi Pedagang Pasar Mangga Dua) dan Suresh Karnani (Sekretaris PPRS ITC Mangga Dua). Mereka juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara. "Mereka mengalami kriminalisasi," kata anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Syamsul Munir, Senin pekan lalu.
Semua ini berawal dari pemadaman listrik yang dilakukan pengelola ITC Mangga Dua pada sekitar Juli 2013. Pemadaman dilakukan karena para pedagang dituduh menunggak pembayaran tarif pelayanan (service charge). Tarif pelayanan kala itu dinaikkan dari Rp 80 ribu menjadi Rp 128 ribu per bulan untuk per meter persegi. Saat itu, sekitar 1.000 kios terkena pemadaman.
Para pedagang yang menolak kenaikan itu lalu mendatangi pengelola di lantai enam. Namun mereka hanya bertemu dengan petugas pengamanan. Di sana sempat terjadi kericuhan yang menyebabkan sebuah kaca pecah. Kejadian inilah yang membuat Haida, Mardianta, dan Suresh dilaporkan ke polisi. "Padahal kami tak ada di lokasi saat pemecahan kaca," ujar Haida.
Haida heran ia ditetapkan menjadi tersangka tanpa ada bukti. Adapun kuasa hukum PT Duta Pertiwi Tbk, Hokli Lingga, menyatakan memiliki bukti foto Haida dan dua tersangka lain melakukan perusakan.
Pengelola gedung, PT Jakarta Sinar Intertrade (JSI), merupakan anak perusahaan pihak pengembang PT Duta Pertiwi. Selama ini PT JSI-lah yang menarik tarif service charge dan dana darurat (sinking fund) dari para pedagang. Tarif pelayanan itu, antara lain, untuk biaya kebersihan dan perawatan gedung.
Para pedagang geram terhadap penerapan tarif itu. Padahal mereka menganggap, sebagai pemilik ruko, mereka yang berhak mengelola gedung itu. "Hampir 20 tahun pengelolaan tak ada transparansi, padahal kami adalah pemilik," kata Haida.
Ketua PPRS versi Duta Pertiwi, Hendry S. Chandra, mengaku bukan penghuni ataupun pemilik ruang di sana. "Hanya, saya mendapatkan kuasa dari Duta Pertiwi sebagai pemilik," ucap Hendry. Menurut Hokli, karena Duta Pertiwi memiliki beberapa unit ruko di ITC Mangga Dua, mereka berhak memberikan kuasanya ke PPRS.
Haida tak diam atas tindakan Duta Pertiwi yang dilakukan terhadap dirinya. Ia ganti melaporkan Direktur Utama PT JSI Kristin dan Hendry Tjandra ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Haida juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kontras turun tangan. Bersama penghuni apartemen Graha Cempaka Mas, yang juga dikelola Duta Pertiwi, mereka pun mengadu dan menggelar pertemuan dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie.
Nasib yang dialami Haida dan dua rekannya ini mirip dengan nasib Khoe Seng Seng. Kecewa karena status rukonya di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, ternyata hanya berupa hak pengelolaan lahan, bukan hak guna bangunan seperti dijanjikan, Khoe menulis surat pembaca, "mengabarkan" penipuan yang dialaminya. Suratnya dimuat di harian Kompas pada 26 September 2006 dan Suara Pembaruan pada 21 November 2006. Duta Pertiwi murka dan melaporkan Khoe ke polisi. Ia pun jadi tersangka.
Pengadilan negeri lalu menghukum Khoe enam bulan penjara dengan masa percobaan setahun. Sedangkan dalam perkara perdata, ia dihukum membayar denda Rp 1 miliar.
Khoe melawan. Di tingkat banding, ia bebas. Adapun untuk kasus perdata, di tingkat kasasi, Khoe tetap dihukum membayar denda Rp 1 miliar. Kini kasusnya "naik" lagi ke tingkat peninjauan kembali.
Seperti Khoe, Haida kini bersiap melawan "raksasa" Duta Pertiwi.
Yuliawati, Ninis Chairunnisa, Subkhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo