Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEPAS mangkatnya Yasser Arafat, kini saatnya membuhul mufakat. Setidaknya begitulah tekad Al-Fatah, faksi terbesar Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang menggelar pertemuan pertama sepeninggal Presiden Palestina tersebut. Dalam pertemuan Senin pekan lalu itu, dari 15 anggota komite pusat yang hadir, 13 orang di antaranya memilih Mahmud Abbas sebagai calon tunggal dari Fatah untuk pemilu presiden 9 Januari 2005. Tapi, meskipun menjadi calon satu-satunya, tak serta-merta Abu Razennama beken Abbasakan sampai melenggang ke puncak.
Adalah pemimpin sepuh berusia 60-70 tahun, pendukungnya sejak 15 tahun silam, yang mengunggulkan kelahiran Safed tahun 1953 ini. Pilihan tetua organisasi perjuangan Palestina yang didirikan Arafat 40 tahun silam itu karena mereka tak ingin menyerahkan kepemimpinan kepada generasi muda garis keras. Sekretaris kabinet Tayeb Abdulrahim, seperti dikutip Aljazeera pekan lalu, mendesak semua faksi di bawah Fatah agar mendukung Abbas.
Abbas sendiri tak ingin tampak sejinak kelinci piaraan. Sehari setelah terpilih aklamasi, ia berjanji mengikuti jejak Arafat memperjuangkan hak rakyat Palestina. "Kami berjanji kepadamu (Arafat) bahwa hati kami tidak akan istirahat sampai kami menerima pengakuan kembali hak perjuangan rakyat Palestina," katanya.
Namun, dengan pendekatan berbeda. Abbas akan menyelesaikan jalan damai dengan Israel, mendirikan Palestina Merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza beribu kota Yerusalem, serta menyelesaikan masalah pengungsi. Inilah responsnya atas syarat perdamaian yang diajukan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, yang menuntut penghentian propaganda dan provokasi anti-Israel plus pelucutan senjata kaum muda radikal di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Nama Abbas diunggulkan setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, bertandang ke Palestina. Powell bertemu dengannya dan para pemimpin Palestina lain di Jericho, Tepi Barat, dan di Yerusalem. Didampingi Sharon, Powell mengingatkan pentingnya pemilu bagi perdamaian di Palestina. Tapi, dengan syarat teror dan kekerasan harus dihentikan.
Karier politik Abbas mencerah sejak aktif di Fatah hingga mencapai puncak ketika ia terpilih jadi perdana menteri, Maret 2003. Bergaris moderat, namanya populer di Amerika dan Israel. Sejak di Fatah, ia terbiasa menjalin kontak dengan Amerika dan Israel untuk menyelesaikan masalah Palestina secara damai. Ia teguh mendesak kaum muda garis keras seperti Hamas dan Jihad Islam untuk gencatan senjata.
Dalam perbincangan dengan Tempo, pengamat Timur Tengah Smith Alhadar memperkirakan Abbas berpeluang besar menjadi presiden pengganti Arafat. Apalagi ia diunggulkan Amerika dan Israel, yang belakangan mendukung pemilu di Palestina. Namun, meski Abbas memenangi pemilu, Alhadar memperkirakan Abu Razen bakal tumbang dalam hitungan bulan. Ia akan terganjal oleh ketidakmampuannya menyatukan kaum tua dan muda.
Presiden ad interim Rawhi Fattuh, ketika berada di Muqataa setelah wafatnya Arafat, meminta para kandidat presiden mendaftarkan diri dan menyerahkan visi-misinya dalam 12 hari terhitung sejak 20 November lalu. Sementara itu, kampanye dimulai 27 Desember dan ditutup sehari sebelum pemungutan suara. Kepala Komite Pemilu Palestina, Ali Jarbawi, mengingatkan Israel dan Amerika agar tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. "Israel dan Amerika tidak bisa terus makan lepat terkubak," katanya.
Selain dukungan dari Fatah, Abbas boleh lega disokong empat sponsor perdamaian Timur Tengah: Amerika, Uni Eropa, Rusia, dan PBB. Itulah buah pertemuan di Semenanjung Sinai, Mesir, 11 November lalu, hanya sehari setelah kedatangan Powell yang tentunya juga membawa restu. Tiga pesaing lain di Fatah, Perdana Menteri Ahmad Qorei, mantan Kepala Keamanan Gaza Mohammad Dahlan, dan Menteri Luar Negeri Nabil Shaath, justru ikut mendukung Abbas.
Dengan semua dukungan itu tak berarti Abbas leluasa memanjat puncak. Sejumlah nama calon digadang-gadang sebagian faksi di dalam Fatah maupun kaum muda radikal. Salah satunya, Marwan Barghouti (sedang dipenjara seumur hidup oleh Israel), bakal menjadi "kuda hitam". Barghouti adalah bekas pemimpin Brigadir Al-Aqsa, sayap militer Fatah. Kaum muda cenderung memilihnya karena sepak terjangnya yang nyata di Tepi Barat dan Gaza.
Jajak pendapat di Palestina menunjukkan popularitas Barghouti sebelas kali lebih besar dari Abbas. Barghouti populer karena kaum muda radikal bosan dengan era pemimpin tua yang kompromistis. Dewan Pimpinan Fatah di Tepi Barat juga menolak pencalonan Abu Razen. Dua senior Brigade Al-Aqsa, Nasser Jumma di Nablus dan Zakaria Zbeida di Jenin, mengatakan, meski mereka mencalonkan Barghouti, dukungan tetap diberikan kepada Abbas jika pemilihan berlangsung fair dan tidak mengkhianati arus bawah.
Jalan Barghouti ke kursi presiden boleh jadi suatu mission impossible. Apalagi Menteri Luar Negeri Israel, Silvan Shalom, memasang harga mati: tetap mengurung Barghouti. "Dia teroris dan pembunuh, tentu akan dipenjara sampai akhir hayat," kata dia. Namun, kaum muda berkeras mencalonkan Barghouti dan mendesak otoritas Palestina memasukkannya dalam daftar calon.
Dosen ilmu politik di Universitas Al-Najah Nablus, Iyad Barghouti, meyakini popularitas Barghouti bisa jadi realistis. Faksi Hamas yang masih belum menentukan calonnya, katanya, masih mungkin mendukung calon-calon yang berusaha melakukan perubahan tanpa membiarkan gerakan Fatah menguasai sendiri urusan Palestina. Dia memprediksi, calon-calon independen akan meminta dukungan suara dari Hamas.
Akankah popularitas Barghouti di kalangan muda radikal mencegat Abbas mencapai puncak? Siapa pun yang akan terpilih, tidak mudah baginya menciptakan perdamaian bagi rakyat Palestina.
Eduardus Karel Dewanto (Aljazeera, AFP, AP, CNN)
Siapa Saja yang Masuk Bursa
Kursi Yasser Arafat telah kosong. Dan memang tidak mudah mencari sosok sekaliber Arafat untuk memimpin Palestina sekarang ini. Pemilu untuk memilih presiden baru Palestina akan dilangsungkan pada 9 Januari 2005. Berikut ini sejumlah calon yang tengah digadang-gadang untuk bertarung pada awal tahun depan:
Mahmud Abbas, 69 tahun Akrab dipanggil dengan nama Abu Mazen, Mahmud Abbas adalah tokoh yang bersama Yasser Arafat ikut mendirikan Fatah. Dia menjadi anggota Dewan Nasional Palestina sejak 1968. Mulai tahun 1980 Abu Mazen duduk dalam Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, PLO. Salah satu puncak karier politiknya adalah saat dia menjadi Perdana Menteri Palestina pada Maret 2003namun mengundurkan diri pada September 2003. Menganut garis moderat, ia relatif diterima oleh Israel dan Amerika. Sebaliknya, di mata kaum garis keras Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam, Abu Mazen bukan tokoh favorit.
Marwan Barghouti, 46 tahun Seandainya tidak sedang dibui seumur hidup di Israel, Marwan pastilah menjadi pesaing terkuat Abu Mazen. Dia dipuja di kalangan muda radikal dan banyak berkenan di hati Arafat semasa pemimpin Palestina itu masih hidup. Lahir dari sebuah keluarga petani di Tepi Barat, mantan pemimpin senior Al-Fatah di Tepi Barat ini aktif di gerakan intifadah selama kurun 1987-1992. Pada tahun 2002, pengadilan Israel menyatakan dia bersalah dalam aksi pembunuhan dan terlibat organisasi teroris. Sampai sekarang Marwan masih mendekam di dalam penjara.
Hani al-Hassan Mantan Menteri Perumahan inidikenal sebagai sosok demokratis dan sekuleradalah penggagas negara tunggal Palestina. Dia juga adik pemimpin Al-Fatah, Khalid al-Hassan. Hani al-Hassan pernah mengecam keras Perjanjian Oslo yang diteken Arafat dan PM Israel Yitzhak Rabin pada 1993. Toh, dia akhirnya bergabung juga dengan Arafat dalam Perjanjian Oslo sebagai penasihat senior. Sejumlah pemimpin tua Al-Fatah memunculkan kandidat ini. Dia diyakini bakal mendapat dukungan pemilih yang ambivalen dengan Israel dalam perdamaian Palestina. Juga dukungan dari Hamas dan Jihad Islam.
Monib al-Masri, 66 tahun Miliuner ini adalah teman lama Arafat. Dia dipercaya sebagai arsitek penyandang dana ketika Arafat masih berjaya. Dalam kondisi sekarang, pengusaha ini dipercaya dapat membangun kembali ekonomi Palestina yang terpuruk akibat kekerasan selama empat tahun. Beberapa kelompok menjagokan memasukkan Monib al-Masri sebagai calon independen.
Nabil Shaath, 66 tahun Dia orang kepercayaan Arafat. Doktor lulusan University of Pennsylvania ini dikenal cukup mahir menjalin lobi dengan para politisi Amerika. Shaath bergabung ke PLO pada 1970. Setahun kemudian ia diangkat jadi Kepala Pusat Perencanaan PLO. Namanya pernah dikaitkan dengan kasus korupsi pada 1997. Namun, setahun kemudian, tuduhannya dinyatakan tidak terbukti.
EKD (Reuters, AFP, Arabnews, Aljazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo