Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMENANJUNG Korea berpesta. Akhir pekan silam, Seoul ramai dengan pementasan drama, pesta di jalan-jalan, dan konser penyanyi tenor Pavarotti.Sekitar 600 ribu rantai manusia di jalan-jalan Pyongyang melambaikan bendera kertas kuning.
Setelah rakyat Korea Selatan melihatmelalui televisikedua pemimpin Korea, Kim Dae Jung dan Kim Jong Il, berjabat tangan untuk pertama kali, mereka bertepuk tangan sembari menitikkan air mata.
Itu adalah suasana di seputar pertemuan tingkat tinggi antara pemimpin dua Korea, pertengahan pekan lalu, di Pyongyang. Ini sebuah sejarah penting karena inilah pertemuan resmi pertama sejak perceraian kedua Korea itu setelah Perang Dunia II. Meski banyak analis memperkirakan bahwa langkah ini akan menjadi titik awal dari reunifikasi mereka di masa yang akan datang, kata-kata kesepakatan untuk bersatu kembali memang belum terdengar.
Bagaimanapun, ada beberapa poin langkah maju. Kedua Korea sepakat untuk secara serius dan sistematis berproses ke arah unifikasi. Hal itu didahului dengan kerja sama sosial budaya dan ekonomi yang lebih intens serta pertemuan keluarga-keluarga yang terpisah sekitar 15 Agustus nanti.
Poin terpenting adalah kedua Kim sepakat untuk menyelesaikan proses rekonsiliasi tanpa campur tangan pihak asing. Konsekuensi dari "tanpa campur tangan pihak asing" itu suatu keputusan yang besar karena sepanjang sejarahnya Korea tidak pernah lepas dari intervensi kepentingan asing (lihat Korea yang Terkoyak).
Campur tangan itulah yang membuat Korea Utara dan Selatan tetap dalam status "perang". Pengeboman kedutaan Korea Selatan di Yangon (1983), peledakan sebuah pesawat Maskapai Korea Selatan yang menewaskan ratusan penumpang (1987), dan tingginya intensitas kegiatan intelijen antara kedua Korea, antara lain, menunjukkan betapa dalamnya rasa tidak percaya kedua negara. Bahkan, tahun lalu, masih terjadi bentrok kapal perang kedua Korea di pantai barat semenanjung.
Mampukah Jong Il dan Dae Jung mendinginkan suhu saling mencurigai itu?
Langkah terpenting pertamatak tercantum dalam kesepakatanadalah soal pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan dan instalasi senjata nuklir di Korea Utara. Sampai saat ini, masih ada 37 ribu tentara AS yang tersebar di 100 fasilitas militer di Korea Selatan. Sedangkan Korea Selatan, Jepang, dan AS yakin bahwa di Korea Utara masih tersebar pusat pengembangan senjata nuklir. "Sebenarnya kedua masalah inilah yang paling sensitif," kata Kim Dae Jung setelah kembali ke tanah airnya. "Tapi kami melakukan pembicaraan yang positif tentang kedua hal itu," ujarnya lagi tanpa bersedia merinci.
Kalau demikian keadaannya, rekonsiliasi tampaknya sangat bergantung pada kondisi dalam negeri kedua Korea.
Posisi Korea Selatan lebih mudah dipahami karena negara tersebut jauh lebih terbuka dibandingkan dengan Korea Utara. Apalagi, Dae Jung memiliki komitmen jelas terhadap unifikasi, bahkan sejak isu tersebut masih sangat sensitif di Korea Selatan. Kim Dae Jung mengangkat persoalan penggabungan kembali Korea pertama kali pada 1971, ketika dia menantang Park Chung Hee dalam pemilihan presiden.
Bagaimana dengan Korea Utara? Negara komunis ala Stalin itu memang lebih sulit diselami. Tapi, setelah banjir besar melanda Korea Utara (1996), yang disusul dengan krisis ekonomi yang melanda Asia (1997), Korea Utara tidak punya pilihan kecuali menerima bantuan dari "negara musuh" seperti Korea Selatan, Jepang, dan AS. Ongkosnya adalah menutup instalasi senjata nuklir yang terlacak oleh mata-mata AS.
Tampaknya, Jong Il sadar benar jaring politik internasional pasca-runtuhnya Tembok Berlin (1989) sudah berubah. RRC, yang biasa mendukung Korea Utara, misalnya, kini lebih suka bila Korea Utara tidak lagi mencari gara-gara, umpamanya, melakukan tes senjata nuklir. Hal seperti itu bisa menjadi alasan bagi AS untuk tetap menanamkan pasukannya di Korea Selatan dan bisa juga mengganggu hubungan dagang Cina dengan AS.
Perubahan tersebut membuat Jong Il lebih pragmatis. Dia sadar bahwa kemunduran perekonomian Korea Utara yang terus-menerus terjadi sejak 1960-an bisa memicu kerusuhan sosial. Menurut pernyataan resmi badan intelijen AS, CIA, "Walaupun Kim sampai saat ini masih mengontrol partai, negara, dan masyarakat, potensi ancaman terhadap posisi Kim tetap besar."
Dari segi pendapatan, tentu saja kesenjangan antara kedua Korea itu sangat besar. Pendapatan per kapita per tahun Korea Utara hanya US$ 1.000, sementara Korea Selatan mencapai US$ 12.600.
Sikap kedua Kim ini memang sinergis. Tapi, untuk mencapai reunifikasi, jalan masih panjang. Menarik pasukan AS dan membabat habis instalasi senjata nuklir bukan pekerjaan yang selesai semalam. Namun, niat baik pertemuan kakak-adik yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan itu patut disambut masyarakat dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo