Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sudah Turun Hujan 'Orange Juice'

Hujan asam di Indonesia setara dengan orange juice. Kalau mau udara bersih, tarif listrik harus naik.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA pilihan yang rumit bagi masyarakat saat ini. Mau udara yang bersih ataukah mau tarif listrik yang murah? Jika udara mau bersih, tarif listrik bisa-bisa akan naik. Sebab, batu bara yang dipakai di beberapa pusat listrik tenaga uap (PLTU) kian buruk mutunya dan mengotori udara. Ini akan menyebabkan hujan asam. Kalau dipasang "alat penyaring", biayanya mahal dan konsumen listrik memikul akibatnya.

Awalnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13 Tahun 1995 yang mengatur ambang pencemaran PLTU berbahan bakar batu bara untuk jangka waktu 1995 sampai 2000. Senin pekan lalu, SK itu dibahas di PLTU Suralaya, Jawa Barat. Tujuannya, kalau bisa, SK itu tidak lagi diperpanjang.

Yang dibahas tentulah polutan penyebab pencemaran. Dari empat polutan utama, sulfur dioksida (SO2) paling banyak dibahas. Jumlah SO2 yang dibuang pada 1995 dibatasi sampai 1.500 miligram per meter kubik udara. Tahun ini, jumlahnya harus dikurangi sampai separuhnya.

Meski selama ini SO2 yang dibuang PLTU Suralaya masih berkisar 500 miligram, itu tak akan berlangsung lama. Rendahnya SO2 itu karena kadar sulfur batu bara yang dipakai masih rendah (0,3 persen). Masalahnya, cadangan batu bara yang ramah lingkungan ini di Indonesia tinggal untuk tiga tahun lagi. Setelah itu, yang tersisa batu bara dengan kadar sulfur di atas 0,8 persen.

Dengan sulfur hampir tiga kali lipat itu, PLTU Suralaya tentu saja tak bisa memenuhi ambang batas yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kalau dipaksakan, itu hanya akan menambah biaya produksi, yang ujung-ujungnya harus ditutup dengan kenaikan harga listrik. Karena itu, PLTU Suralaya berharap aturan tersebut diperlonggar.

Namun, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) mengatakan tak akan mengutak-atik keputusan menteri itu. Kerusakan akibat sulfur dioksida yang melayang-layang di udara sudah mulai terasa. Memang tak cuma PLTU yang memuntahkan sulfur dioksida ke udara. Asap gunung berapi, lahan pertanian, dan pembakaran bahan bakar fosil ikut menyumbang. Tapi, "PLTU berbahan bakar batu bara menyumbang paling besar," kata Isa Karmisa, Direktur Pengawasan Polusi Udara Bapedal.

Isa menyebutkan dua bentuk pencemaran dari PLTU. Pertama, dry deposition atau pencemaran kering yang terjadi jika debu dan asap dari cerobong jatuh ke bumi. Pencemaran ini berakibat pada menurunnya kesuburan tanah. Jika terhirup manusia, itu bisa menimbulkan infeksi saluran pernapasan.

Kedua, wet deposition. Pencemaran ini terjadi jika asap tadi bercampur dengan awan di udara. Reaksi kimia yang muncul akan menghasilkan butir air yang bersifat asam. Air asam ini bisa diterbangkan angin hingga jarak 1.000 kilometer dari sumbernya. Air yang jatuh akan menjadi hujan asam. Jadi, jangan heran jika polusinya di Jawa Barat tapi hujan asamnya terjadi di Pulau Bali.

Tapi benarkah telah terjadi hujan asam? Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mencatat tingkat keasaman air hujan di Indonesia sudah melewati ambang normal. Enam tahun lalu, tingkat keasaman (pH) air hujan masih normal, pada tingkat 5,5. Namun, selama dua tahun terakhir, pH-nya terus menurun hingga 4,5, yang berarti makin bersifat asam. Bahkan, di beberapa tempat seperti Surabaya, Bandung, dan Bogor, pH air hujan tercatat sampai 3,5. "Tingkat asamnya setara dengan orange juice," kata Sumiratno, Kepala Analisa Klimatologi BMG.

Meski kerusakan akibat hujan asam di Indonesia belum didata, berbagai kejadian di dunia bisa menjadi contoh. Hujan asam dengan pH 2 terjadi di Lincolnshire dan pantai Norfolk di Inggris, September 1989. Ribuan pohon langsung meranggas dalam semalam, sementara barang-barang aluminium pun tak mampu menahan karat. Di Amerika, tiap tahunnya, industri mobil harus mengeluarkan US$ 61 juta untuk belanja bahan-bahan pelindung karat.

Nah, sebelum kejadian serupa terjadi di Indonesia, PLTU harus mengurangi SO2 sebelum dibuang. Departemen Pertambangan dan Energi menyebut flue gas desulfurization (FGD) sebagai alat pencuci yang paling yahud. FGD ini mampu mencuci 90 persen sulfur dioksida yang dibuang menjadi limbah cair dan padat.

Masalahnya, pemasangan FGD pada PLTU yang sudah beroperasi akan makan tempat dan biaya yang sangat besar. "Biayanya bisa 1,3 kali lipat dibandingkan dengan membuat PLTU baru," kata Thamrin Sihite, Kepala Biro Lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi.

Kalau itu dipaksakan, harga listrik yang dijual ke masyarakat bisa naik di atas Rp 50 tiap kilowatt jam. Thamrin mengusulkan agar baku mutu emisi yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup itu hanya berlaku untuk PLTU yang beroperasi setelah 1995.

Thamrin malah curiga, pemaksaan baku mutu emisi ini mengandung pesan sponsor. "Biar FGD laku di Indonesia," kata Thamrin. Wah, apa benar begitu?

Agung Rulianto, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus