Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, Slamet Rahardjo Djarot mengaku sudah berkawan dengan orang-orang yang dulu dituntutnya. "Zaman sudah berubah, kini kita berharap sudah bisa mulai saling percaya," tuturnya di sebuah diskusi film di kantor TEMPO bersama kru film Telegram. Slamet mengaku butuh keberanian untuk menuntaskan film yang dibuat berdasarkan novel Putu Wijaya itu. Bukan hanya biaya pembuatannya yang mahal, proses pencarian dananya yang berliku, dan pembuatannya yang lama, tapi juga pertaruhannya yang besar. Film Telegram harus bisa jadi bukti bahwa film Indonesia layak meramaikan pertarungan film bermutu internasional. "Apalagi, film-film Asia memang sedang marak, membuat Festival Cannes semakin berarti," kata Slamet.
Ia lahir di Serang, 51 tahun silam, sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara pasangan Djarot Djojoprawiro dan Ennie Tanudiredja. Berbeda dengan Eros Djarot, sang adik, yang mendapat pendidikan sinematografi di Prancisyang pernah menggebrak dunia sinema melalui satu-satunya film karyanya berjudul Tjut Nyak DhienSlamet adalah hasil pendidikan lokal. Dia "lulusan" komunitas Teguh Karya yang menelurkan banyak bintang.
Ia melalui berbagai pementasan drama yang disutradarai Teguh, di antaranya Pernikahan Darah, Kopral Woyzek, dan Perhiasan Gelas. Selanjutnya, ia hampir selalu memegang peran penting dalam film-film karya Teguh, seperti Ranjang Pengantin, Perkawinan dalam Semusim, Badai Pasti Berlalu, Di Balik Kelambu, hingga November 1828.
Perpindahan Slamet dari depan kamera ke belakang kamera hanyalah perpindahan lokasi belaka karena sesungguhnya, meski ia sudah memperlihatkan kemampuannya menyutradarai, misalnya melalui Ponirah Terpidana, ia juga tetap salah seorang aktor Indonesia terbaik. Berikut adalah petikan wawancaranya bersama seluruh tim Layar TEMPO:
Bagaimana ide awal film Telegram ini dibuat?
Sederhana. Film ini berangkat dari novel karya Putu Wijaya bertajuk sama. Telegram sendiri merupakan idiom tentang sesuatu yang tidak bicara banyak tapi bisa sangat menentukan. Dalam sebuah telegram, ada unsur ketakutan dan misteri. Membuka telegram bisa menjadi sebuah pengalaman yang menyeramkan. Ketika seseorang membuka telegram, ia membuka ketakutannya sendiri. Dibandingkan dengan sekian banyak karya sastra yang ditelurkan Putu Wijaya, novel Telegram ini punya nilai universal. Warna etnisnya tidak terlalu kentara. Dengan demikian, permasalahan yang diangkat bisa terjadi di mana pun, kapan pun, kepada siapa pun.Kebetulan pula novel ini memang sudah diterjemahkan dan beredar di Prancis serta diapresiasi dengan baik oleh teman-teman kami di Prancis.
Kerja sama antara Mas Slamet dan Mas Putu ini bukan yang pertama. Sebelum Telegram, Anda berdua bekerja sama dalam Kembang Kertas? Apakah ada perbedaan kerja sama kali ini dengan kerja sama ketika itu?
Dalam film ini, Putu juga yang membuat skenarionya. Namun, karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa sinematografi, saya membuat shooting script yang membuat Putu agak shocked, seolah-olah saya membuat sesuatu yang sama sekali berbeda. Putu kemudian menawarkan untuk mencantumkan "based on" atau "inspired by" biar lebih enak.
Kemudian saya memutuskan untuk kembali ke skenario Putu yang semula. Saya memutuskan tetap memakai punya Putu. Buat saya, persahabatan lebih penting di atas segala-galanya. Ini hanya ungkapan saya dalam mengartikan persahabatan. Saya sendiri sangat hormat dan sangat sayang pada Putu. Entah kenapa, saya sendiri tidak mampu menjelaskannya dengan kata-kata.
Apakah soal casting menjadi hak prerogratif Anda?
Memang saya yang memilih sendiri. Tetapi harus diingat, ini kerja sama. Begitu saya memilih Sujiwo Tejo sebagai pemeran utama, potretnya langsung saya kirim ke Paris. Begitu juga pemeran-pemeran lainnya. Alhamdulillah, yang saya pilih enggak mereka tolak.
Mengapa Anda memilih Sujiwo Tejo untuk memerankan tokoh "Daku" sang wartawan?
Kekuatan Tejo adalah dengan pendekatan lewat rasa. Saya tidak mau mendekati Tejo dari sisi lain kecuali dari kekuatannya. Misalnya, saya itu mendekati dia dan memijiti lengannya sambil berkata, "Segini, Jo. Rasanya segini." Mungkin karena kita sama-sama Jawa, jadi saling mengerti.
Tejo sendiri membantu saya menggambarkan tokoh "Daku" yang "bersembunyi". Rambut Tejo yang kadang-kadang menutupi mukanya menurut saya merupakan elemen yang menambah pemahaman saya tentang tokoh tersebut. Kebetulan Putu tidak menggambarkan secara jelas seperti apa tokoh tersebut.
Bagaimana setting waktunya? Kalau di novel, jelas disebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada periode 1970-an. Tapi ada detail yang menyimpang, seperti ada laptop sekaligus ada mesin tik, ada penyakit sipilis sekaligus poster AIDS .
Apabila saya memutuskan taat pada format periode 1970-an, saya terperangkap dalam trend free-sex pada saat itu. Saya memutuskan tidak mau terperangkap dengan trend itu. Menurut saya, peristiwa dalam novel ini bisa terjadi kapan pun. Karena itu, saya kemudian memilih untuk mengacaukan semuanya, misalnya dengan mencampurkan antara laptop dan mesin tik, artinya saya melepas masalah setting waktu.
Apa yang menurut Anda menarik dalam join production ini?
Ada perbedaan soal pace, soal ritme. Misalnya, pihak Prancis menganggap adegan telepon tokoh Daku itu terlalu panjang. Mereka mengatakan, "Too long , too long."
Ketika adegan membuka amplop telegram itu, semula saya merencanakan ada ilustrasi kecak seiring dengan dibukanya amplop tersebut. Rencananya, ilustrasi tersebut pendek saja. Begitu amplop terbuka, kecaknya pun berhenti, lalu adegan pindah ke shoot ketika si ibu bernyanyi.
Dasar orang Eropa, mereka tertarik betul pada kecak itu. Karena dianggap indah, saat editing, kecak itu dipanjangkan oleh teman-teman Prancis. Alhasil, ketika adegan sudah pindah ke shoot ibu, kecaknya masih jalan, he-he-he . Yah, lolos-lolos sedikit enggak apa-apalah. Namanya juga kerja sama.
Film-film asing, seperti Hollywood, sering di-dub ke dalam bahasa Prancis jika di putar di negaranya. Apakah Anda juga bersedia Telegram di-dub ke dalam bahasa Prancis?
Khusus untuk dubbing, saya tidak ingin film ini di-dub dalam bahasa Prancis untuk regular screening. Karena ini cultural relation, saya juga ingin bahasa Indonesia didengar. Kemudian kami sepakat, film ini hanya boleh di-dub kalau diputar di cable television, karena memang biayanya mahal. Hak saya untuk cable television 50:50.
Bagaimana dengan tafsir sensualitas, yang sangat jelas tergambar dalam novel? Apakah ada kesulitan menerjemahkan hal tersebut ke layar lebar?
Di dalam novel ada adegan ketika tokoh Daku teringat kepada ibunya, kemudian ia bermimpi bercinta dengan ibunya, lantas tokoh itu melakukan masturbasi. Nah, ketika saya menggambarkan adegan tersebut, saya menyorot Tejo bermasturbasi dari kejauhan. Setelah mencapai orgasme, Tejoyang mengenakan celana dalammerangkak.
Ketika screening pertama di Prancis, semua orang yang melihat merinding. Adegan apa ini? Menjijikkan betul, seperti binatang melata. Sebenarnya yang saya ingin gambarkan adalah ketika seseorang tengah jatuh; perjuangan atau rontaan keluar dari kejatuhan itu yang kemudian justru membuat seseorang berkembang.
Kemudian saya memutuskan untuk mengganti adegan tersebut dengan stok yang lain, tentang kelana imaji yang dialami oleh tokoh Daku, tapi shoot-nya berbeda. Saya enggan untuk membuat orang muntah dengan bahasa gambar saya. Gantinya adalah Daku menyelinap di ketiak ibunya, yang susunya sudah kendur, sambil diiringi tembang. Itu hasilnya lebih halus.
Pendekatan Putu memang banyak yang seolah-olah terasa seksual. Sekalipun demikian, saya sadar betul, Putu tak bermaksud menistakan hubungan ibu-anak. Saya mengubahnya menjadi sedikit imajinatif, tak tergambarkan. Kalau saya mengikuti keliaran Putu dalam skenarionya, mungkin film itu tidak bisa diputar di Indonesia.
Mengapa adegan ciuman yang seharusnya ada antara Daku dan Rosa hilang dalam film ini? Melihat sensualitas yang ditampilkan, rasanya film ini tidak bermaksud untuk tampil steril.
Dalam film tersebut memang terdapat eksplorasi intimacy yang sangat tinggi antara Daku dan Rosa. Tapi, Tejo memiliki masalah pribadi tertentu sehingga ia meminta saya untuk mereduksi hal-hal tersebut (adegan keintiman, Red) agar tidak terlalu harfiah. Itu tidak mudah. Tejo tahu betul betapa saya mengeluh pusing tujuh keliling karena permintaannya. Tetapi saya juga harus menjaga vitalitas Tejo agar jangan sampai ia kehilangan spontanitasnya. Akhirnya, adegan eksplorasi seksual itu saya ubah menjadi gambaran yang lebih sugestif.
Apa rencana film Anda berikutnya?
Rencana saya berikutnya adalah menggarap film tentang Marsinah. Teman-teman sedang menggarap skenarionya. Yang ingin saya angkat bukan sisi perjuangannya, melainkan sisi ignorance, ketidakpedulian yang muncul, bahkan dari pihak yang secara langsung terkait dengan Marsinah. Marsinah adalah simbol ketidakpedulian kita semua. Marsinah jadi pahlawan karena kita menjadikan dirinya pahlawan, bukan karena kita peduli sungguh-sungguh kepadanya.
Bina Bektiati dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo