KEBIJAKSANAAN menengok ke Asia tampaknya sedang dilakukan oleh Jepang secara menyeluruh. Bukan cuma seni dan budaya Jepang kini mengalihkan pandangan dari Barat ke Asia, juga dalam ekonomi -- dan implisit di dalamnya diplomasi dan politik. Itu pula tampaknya misi yang dibawa oleh Perdana Menteri Kiichi Miyazawa dalam kunjungannya ke empat negera ASEAN yang dimulai Senin pekan ini. Sumber TEMPO di Tokyo mengatakan, kunjungan Miyazawa kali ini untuk memperkenalkan Doktrin Miyazawa. Secara resmi doktrin itu memang baru diumumkan di akhir kunjungannya di Bangkok, setelah ia berkunjung di Jakarta dan Kualalumpur, sebelum ke Brunei. Yang jelas, doktrin itu berisi sejumlah kebijaksanaan baru pemerintah Jepang bagi Asia Pasifik di masa datang. Kebijaksanaan baru itu antara lain tentang konsep Kerja Sama Ekonomi Bersama. Dalam konsep ini Jepang hanya akan berperan di belakang layar sebagai pemasok dana. Yang lebih ditonjolkan adalah kerja sama antarnegara berkembang atau ASEAN sendiri. Indonesia atau Malaysia, misalnya, dapat menggunakan dana bantuan Jepang melalui ODA, lembaga pengelola bantuan luar negeri Jepang, misalnya untuk membantu perekonomian Kamboja. Sedangkan untuk proyek, misalnya pembangunan prasarana telekomunikasi di sebuah negara ASEAN, dibebaskan, tak lagi harus menggunakan bahan atau teknisi dari Jepang. Cukup menggunakan tenaga atau bahan dan teknologi lokal. Di samping biayanya dapat ditekan lebih murah, teknologi dari ASEAN lebih cocok diterapkan di ASEAN sendiri, ketimbang menggunakan teknologi Jepang yang sudah tinggi. Kebijaksanaan baru Tokyo yang cenderung meningkatkan kerja sama regional ini memang lebih menguntungkan ketimbang kerja sama bilateral yang selama ini berlangsung. ''Saya ingin mengadakan dialog soal ini karena ASEAN mempunyai prospek cerah dan menjadi lokomotif untuk menarik ekonomi dunia pada abad ke-21,'' tutur Kiichi Miyazawa tentang misi kunjungannya ke ASEAN, di Kuil Ise, Provinsi Mie, Jepang, Senin pekan lalu. Oleh pemerintah Jepang, konsep kerja sama regional ini diharapkan mampu menghindarkan kecemburuan di antara negara ASEAN, yang menerima dana bantuan dari Jepang dalam jumlah berbeda-beda. Konsep ini setidaknya dapat meningkatkan kerja sama Selatan- Selatan, sehingga kesan bahwa hanya negara-negara kaya yang membantu negara berkembang bisa dihilangkan. Seperti diketahui, Perdana Menteri Miyazawa memang amat peduli pada masalah Asia Tenggara. Tahun lalu ia membentuk sebuah badan konsultasi untuk memikirkan peranan Jepang bagi negara-negara Asia Pasifik pada abad ke-21. Baru di akhir tahun lalu badan yang dikepalai oleh Tadao Ishikawa ini -- rektor Universitas Keio -- berhasil membuat laporan final berisi usulan kebijaksanaan diplomasi baru Jepang, berjudul ''Mendorong Keterbukaan dan Menghargai Kebinekaan''. Sementara di bidang keamanan, laporan yang dituangkan dalam Doktrin Miyazawa itu menganggap masih pentingnya peranan AS di kawasan Asia Pasifik. Sebaliknya, laporan ini mendesak agar Jepang tak menjadi negara militer raksasa yang mengancam negara lain. ''Jepang patut mengibarkan bendera perdamaian dan kemakmuran,'' tulis laporan itu. Benarkah keuntungan ASEAN nanti tanpa efek samping? Sebab, melalui kerja sama ekonomi regional, tak mustahil Jepang bisa mendikte sebuah kawasan lebih luas, tak lagi hanya sebuah negara melalui kerja sama ekonomi bilateral. Dan hal itu tak terelakkan lagi, mengingat hampir seluruh ASEAN menggantungkan ekonominya pada Jepang. Sebuah ulasan di harian Nihon Keizai pekan lalu menyebutkan, ASEAN umumnya menyetujui hampir semua kebijaksanaan Jepang. ''Kami cenderung berbuat demikian, karena kami tak mau kehilangan bantuan dan pasaran ekspor kami ke Jepang,'' tutur seorang menteri luar negeri ASEAN yang dikutip harian itu. Bila ketakutan kehilangan bantuan itu sudah kuat benar, tak mustahil usul badan konsultasi soal kemiliteran Jepang bisa diubah. Yakni, perlunya Jepang menjadi superkuat di kawasan ASEAN, dan Asia Timur Jauh umumnya. Sebab, sudah ada yang menyiratkan keinginan seperti itu. Pernyataan bekas Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dalam lawatannya ke Tokyo bulan lalu, meski tak jelas-jelas menyebutkan militer Jepang, yang disebut Lee sebagai ''kekuatan militer baru'' tampaknya adalah Jepang. Lee meramalkan, Washington akan menarik mundur pasukannya dari kawasan Asia Pasifik karena kebijaksanaan efisiensi, untuk diisi oleh kekuatan lain yang lebih mapan. Kalau itu terjadi, harapan Lee jangan sampai ada yang merasakan hadirnya sebuah ''kevakuman yang membahayakan kestabilan ekonomi'' di Asia, setidaknya di Asia Tenggara. Untuk mencegah itu, perlu ada ''kekuatan militer baru'' yang bisa menggantikan Amerika. Kini persoalannya, apakah Jepang bersedia lebih membuka diri menerima barang komoditi dari Asia. Pintu proteksi Jepang yang ketat selama ini menyebabkan hasil industri Asia seret masuk. Impor Malaysia dari Jepang, misalnya, dua kali lebih besar ketimbang nilai ekspornya. Para menteri ekonomi ASEAN telah meminta Jepang lebih membuka diri melalui pertemuannya dengan Menteri Perdagangan dan Industri Luar Negeri Jepang Kozo Watanabe di Manila, Oktober silam. Bila saja Miyazawa bisa menjamin keterbukaan pintu proteksi dalam lawatannya kali ini, diplomasi baru yang ada dalam Doktrin Miyazawa bakal berhasil. Suatu langkah awal mewujudkan Jepang sebagai suatu negara raksasa politik, alias Seiji Taikoku, telah dimulai. Dan siapa tahu memang kemudian Jepang menggantikan peranan AS di ASEAN. Seiichi Okawa (Tokyo) dan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini