Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Melamar menjadi calon presiden

Kisah surat lamaran polan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. ia melamar karena motivasi akal sehat dan kejuangan.

16 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA ada surat yang dibuka dengan tabik kaget ''laksana disambar halilintar?'' Mungkin, kalau surat itu lamaran Polan untuk minta dicalonkan sebagai presiden. Pikir Polan, kenapa mesti takut atau malu? Kepingin jadi presiden toh tidak melanggar undang-undang, dijamin halal, dan tidak melawan tabu. Kalau Polan melamar menjadi malaikat, itu baru ganjil. Bahkan haram. Melanggar sunatullah. Polan tidak mungkin bisa menjadi malaikat. Karena masih makan nasi dan bisa mati. Kalau Polan melamar menjadi tukang gali, mungkin jadi. Bahkan langsung, tidak perlu melayangkan surat kepada petinggi. Asal bermodal cangkul dan siap berjemur. Sejenak juga akan dijemput truk pencari kuli. Badan diangkut, lalu dicampakkan di tempat ada order pekerjaan gali- menggali. Dapat upah, kerja mudah, mencarinya tak perlu susah- susah. Asal keringat tidak kelewat dihemat. Tetapi presiden? Apa diperlukan surat lamaran untuk mengabdikan badan atau bahkan siap untuk ikut ujian saringan? Seandainya Polan benar kepingin jadi presiden, wajarnya ia pura-pura tidak berminat. ''Tidak ah'' atau ''jangan ah''. Bahkan mungkin juga sambil bergumam dalam batin, ''Malu ah.'' Seandainya pun Polan sungguh-sungguh kebelet, nasihat saya, lebih baik menunggu ada teman menggoda atau bercanda dulu. Mula-mula Polan saya anjurkan pura-pura tidak bersedia. Atau kalau Polan gagah berani, niscaya ia akan menugasi sobat untuk menyebar isu. Biar disebar desas- desus di lorong semua kubu. Seandainya Polan benar mendapat dukungan atau didesak-desak oleh teman, saya toh menganjurkannya agar pakai berkelit-kelit dulu. Supaya dicalonkan, Polan mestinya perlu tetap waspada. Jangan- jangan cuma mau digunakan untuk tumbal, buat calon presiden bohong-bohongan saja. Sebab Polan toh perlu juga tahu diri. Ibarat ia kopral, harus menunggu isyarat jenderal, lewat perintah komandan yang andal. Kalau Polan eksponen partai yang piawai, mestinya perlu ikut konstitusi, mematuhi fatsun dan kehendak konstituensi. Tetapi rupanya Polan berpendirian lain. Indonesia punya banyak tokoh jempolan. Di antara jutaan warga negara yang berkepribadian serta berpengabdian, ada sekurang-kurangnya satu yang perlu berani maju, mendobrak kebekuan, merintis pembaruan. Itu kata Polan. Kalau satu lowongan juru tulis terbuka, setahu Polan, ada dua tiga ratus yang merasa pantas mendudukinya. Tatkala seorang direktur diperlukan, puluhan orang mengajukan lamaran. Bahkan ketika kursi gubernur lowong, lewat bisik-bisik, kasak-kusuk atau secara terbuka, lusinan orang mengungkapkan keinginan. Lalu, ketika satu kursi presiden hendak diperbincangkan, kenapa orang malu memperebutkan? Keluh Polan terheran-heran. Takut? Barangkali. Tidak etis? Mungkin. Budaya? Itulah yang mesti dipelajari. Karena di Indonesia, jangankan untuk jabatan presiden, untuk jadi ketua rukun tetangga saja, orang malu mengajukan diri sendiri untuk minta dicalonkan. ''Kamu saja ah, yang lebih pantas,'' kata Atmo kepada Paimin ketika namanya disebutkan sebagai aspiran ketua RT. ''Jangan begitu. Kalau rakyat menghendaki, Anda kan tidak boleh mengecewakan mereka,'' bujuk Paimin pada Atmo, sekadar basa- basi. Supaya Atmo tidak malu hati. ''Masih banyak yang lebih pantas. Sebaiknya ditawarkan dulu kepada yang lebih berhak dari saya,'' Atmo pun mulai membuka sedikit rahasia isi perutnya. Kalau bujuk rayu dan kasak-kusuk diteruskan, niscaya tinggal selangkah lagi Atmo tak mau lagi dimundurkan. Karena pencalonan sebagai ketua RT pada saatnya akan diterima sebagai ibadah, panggilan kejuangan, atau pelaksanaan amanat penderitaan rakyat. Tatkala orang bertanya-tanya kenapa Polan nekat melamar menjadi calon presiden, banyak orang main tebak-tebakan. ''Barangkali ketika Polan hendak kerja kantoran atau operator di pabrik sepatu, tak sampai hati melihat terlalu banyaknya saingan. Karena itu, hatinya yang lembut memilih menyilakan yang lain memenangkan ujian saringan,'' kata sahabat Polan yang kesatu. ''Mestinya Polan bisa melamar menjadi guru. Pekerjaan mulia, pahlawan tanpa tanda jasa. Biar gajinya kecil, banyak pahalanya,'' saran sahabatnya yang kedua. ''Mana mungkin Polan jadi guru. Dia bicaranya halus, suaranya merdu. Bagi orang sebaik hati seperti dia, pantang menipu murid yang ada di depan kelasnya. Polan pernah mengeluh pada saya, bagaimana guru itu bisa mengajar, kalau dia sendiri tak pernah membaca atau belajar?'' ujar teman yang kesatu tadi, membela. ''Kalau begitu, saya mengerti. Ia melamar menjadi calon presiden karena motivasi akal sehat dan 'kejuangan'. Karena pesaingnya cuma satu, secara teori, peluang memperoleh keberuntungan lebih besar daripada melamar menjadi guru, juru tulis, atau mandor di pabrik sepatu!'' Wajah teman Polan yang kedua pun berseri-seri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus