PEMBAJAK Behrouz dan Ferechte tidak sempat terbang jauh. Pesawat Airbus yang mereka bajak, Selasa pekan lalu, ditolak mendarat di Kuwait. Terancam kehabisan bahan bakar, sepasang pembajak itu turun di Irak. Peristiwa ini terjadi dua pekan sesudah Airbus pertama, juga milik perusahaan Iran Air, dibajak ke Roma. Pembajak terdahulu, Eftekhari dan Rasgozar, dipenjarakan polisi Italia, sebaliknya Behrouz dan Ferechte. Mereka justru mendapa perlakuan istimewa. Kepada pasangan ini, berikut 200 penumpang dan awak pesawat, pemerintah Irak mengajukan tiga pilihan: Dulan ke Iran. menetap di Irak, atau pergi ke negara lain. "Mereka mendapat perlakuan sangat baik," tulis kantor berita Irak INA. Terakhir Baghdad minta Palang Merah Internasional mengatur pemulangan orang-orang Iran itu. Tapi nasib pesawat Airbus itu sama sekali tidak disebut-sebut. Pemerintah Iran tampak mendongkol sekali atas pembajakan tersebut. Radio Teheran, yang mengakui pesawat naas itu dibajak dalam penerbangan Shiraz-Teheran, menuduh pesawat tempur Irak dengan sengaja melanggar wilayah udara Kuwait dan memaksa Airbus itu berbelok ke Baghdad. Tapi tuduhan itu dibantah Irak. Kuwait pun menegaskan, tidak ada pesawat Irak yang menyusup ke wilayah mereka seperti dituduhkan Teheran. Selang beberapa saat, pemerintah Irak mengadakan konperensi pers, seraya menampilkan pasangan pembajak itu. Berbicara Prancis, Behrouz hanya memberi keterangan sedikit. Ia tidak bersedia menyebut nama lengkap dan daerah kelahirannya. Mengaku sebagai patriot, pemuda usia 20-an itu ingin segera melihat berakhirnya penindasan di Iran. Setelah itu, tanpa ragu, ia mengutarakan maksudnya untuk mendapatkan suaka politik di Irak. Kuat dugaan, motivasi seperti itu pula yang menggerakkan dua pria Iran membajak sebuah jet tempur, Kamis pekan silam. Mendarat dengan selamat di salah satu pangkalan udara di Irak, jet F-4 Phantom buatan Amerika Serikat dengan kedua pembajaknya itu disambut sebagai tamu rakyat Irak. Menpen Irak Latif Nsayyef Jassem malah mengatakan, negaranya siap menerima setiap pesawat Iran yang mau mendarat di Irak. Sebelum kedua pembajakan terakhir terjadi, harus diakui, secara militer, Irak memang berada dalam posisi menguntungkan. Apalagi sekarang, dengan empat pelarian Iran berikut sebuah Airbus dan sebuah jet tempur, Baghdad boleh dikatakan sudah menang moril. Jika laporan mengenai pengiriman ribuan sukarelawan Iran ke perbatasan Irak benar itu pun belum berarti kedudukan presiden Irak Saddam Hussein terancam. Baghdad sudah sejak lama siap menyambut prajurit Iran itu dengan MiG, buatan Rusia, ataupun Super Etendard, buatan Prancis, yang diperlengkapi dengan rudal Exocet. Andai kata itu belum cukup, masih ada barisan tank T27, di samping senjata kimia, yang dalam keadaan mendesak bisa saja digunakan. Meski pemakaian senjata kimia diprotes keras oleh AS, sebegitu jauh Irak sampai kini tidak dikenai sanksi apa pun. Justru selama dua tahun terakhir, Washington diam-diam memberi pinjaman US$ 1 milyar kepada Irak. Di samping itu, AS menyediakan pula US$ 570 juta khusus untuk membiayai pemasangan pipa minyak Irak ke pelabuhan Aqaba di Yordania. Sementara itu, Iran hampir tidak dapat berbuat apa-apa. Boikot penjualan senjata yang dilancarkan AS ternyata cukup efektif hingga Iran sulit memperoleh perlengkapan perang dari mana pun iuga. Kalaupun ada, Teheran sedang dilanda kekeringan dana pula. Penembakan sejumlah tanker yang berlayar di kawasan Teluk jelas merugikan Iran. Permintaan akan minyak negara itu merosot terus. hina Dewan Kerja Sama Teluk (DKT) memanfaatkan keterjepitan sang musuh untuk menggalang pertahanan bersama. Terakhir DKT, yang menghimpunkan tujuh negara Arab itu, berani mengancam akan memotong jalur ekspor minyak Iran. Tapi Irak, dalam upayanya menghentikan perang yang sudah berlangsung 43 bulan itu, semakin gencar menghantam terminal minyak Iran di Pulau Kharg. Maka, kawasan itu semakin tidak aman dan tanker minyak dari banyak negara tidak lagi berani mendekat ke sana. Akibatnya, pemerintah Iran terpaksa memindahkan terminal ke arah selatan yang dianggap lebih aman. Hal yang sama juga dilakukan beberapa negara Arab pengekspor minyak. Arab Saudi, misalnya, berangsur mengalihkan jalur ekspor minyaknya ke pelabuhan Laut Merah, sedangkan persatuan Emirat Arab ke pelabuhan di Laut Arab. Pengalihan pelabuhan itu terus terang tidak menguntungkan ari segi ekonomis. Tapi itu harus dilakukan negara Arab, karena mereka memperhitungkan perang Iran-Irak masih akan erlangsung paling sedikit dua tahun lagi. Tak jelas dasar pertimbangan yang mereka pakai. Yang jelas, sikap Iran memang sukar ditebak. Buktinya, sementara ketua Majelis Iran Rafsanjani menunjukkan sikap lunak kepada raja Arab Saudi Fahd, di Mekkah, pekan silam, rombongan haji Iran melancarkan demonstrasi. Sekitar 150.000 orang dikabarkan unjuk rasa dengan membakar boneka Paman Sam dan melambai-lambaikan gambar Ayatullah Khomeini. Walau hanya seorang cedera, sikap bermusuhan rakyat Iran terbukti masih cukup tebal. Adakah waktu dua tahun cukup untuk mengikisnya? Sulit dipastikan. Kematian Ayatullah Khomeini, misalnya, barangkali saja bisa mengakhiri perang, tapi itu pun masih tergantung dari siapa yang menggantikannya kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini