Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, tiga pekan lalu, 15 anggota Dewan Keamanan mengeluarkan pernyataan keras. Isinya: kecaman atas penjualan minyak dari Suriah atau Irak oleh apa yang mereka pandang sebagai kelompok teroris. Mereka juga memperingatkan siapa pun yang membelinya dianggap melanggar sanksi PBB.
Yang dimaksud Dewan Keamanan adalah dua kelompok yang tadinya satu: Jabhat al-Nusra yang bergerak di Suriah serta Negara Islam Irak dan Suriah/Levant (ISIS), yang sudah berubah nama menjadi Negara Islam (Islamic State) dan telah menguasai sebagian besar wilayah Suriah bagian timur dan Irak bagian barat. Kelompok yang disebut terakhir bahkan mengekspos kekejiannya ke seluruh dunia; pekan lalu mereka mempublikasikan video eksekusi terhadap James Foley, wartawan asal Amerika yang hilang di Suriah hampir dua tahun lalu.
Rusialah yang pertama menyodorkan draf pernyataan Dewan Keamanan di bawah resolusi tersebut. Menurut Duta Besar Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin, Moskow memiliki bukti Negara Islam dan Jabhat al-Nusra terlibat dalam perdagangan minyak dan uangnya menjadi salah satu sumber pendanaan kegiatan mereka. Minyak itu berasal dari ladang atau pipa di wilayah Suriah dan Irak yang telah mereka kuasai.
Tudingan Rusia didukung pejabat daerah yang diduduki Negara Islam. "Kami telah memberikan konfirmasi laporan yang menunjukkan bahwa Negara Islam mengirim minyak mentah dari ladang minyak Najma di Mossul ke Suriah untuk diselundupkan ke salah satu tetangga Suriah," kata Husham al-Brefkani, Kepala Komite Energi Dewan Provinsi Mossul. "Negara Islam meraup keuntungan jutaan dolar dari perdagangan gelap ini."
Di Irak, saat ini kelompok militan yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi itu telah menguasai ladang minyak Najma dan Qayara, dekat Mosul, dan Himreen dan Ajil, dekat kampung halaman Saddam Hussein, Tikrit. Beberapa ladang itu menambah panjang daftar sumber minyak yang telah mereka kuasai di Suriah. Di negeri yang dipimpin Bashar al-Assad itu, Negara Islam menguasai hampir semua ladang minyak dan gas di Provinsi Deir al-Zor, yang berbatasan dengan Irak. Menurut laporan koran Asharq al-Awsat, kelompok ini menguasai 60-an persen minyak di Suriah dengan total produksi sekitar 180 ribu barel per hari.
Bila hasil penjualan minyak dari ladang di Irak dan Suriah digabungkan, Negara Islam mengantongi US$ 100 juta (sekitar Rp 1,1 triliun) per bulan. Dari Irak saja mereka diperkirakan mengantongi US$ 1-2 juta per hari. Tak ada angka yang pasti mengenai dana kelompok yang bermula dari Al-Qaidah ini.
Dengan tambahan sumber dana dari minyak, Negara Islam menjadi salah satu kelompok teroris kaya raya yang mampu membiayai kegiatannya dengan dana sendiri. Mereka menggunakannya untuk berbagai keperluan, antara lain membeli senjata, membayar anggota, "menyuap" suku-suku lokal demi mendapatkan dukungan, dan mendanai berbagai operasi.
Tentu pendapatan dari pasar gelap minyak itu bukan satu-satunya. Kelompok yang merekrut relawan dari berbagai negara itu juga mendapatkan uang dari pajak dan pungutan, misalnya pungutan terhadap truk-truk yang membawa barang yang memasuki Mossul. Satu truk besar ditarik US$ 400, sementara truk kecil US$ 150.
Lalu ke mana minyak "negeri Al-Baghdadi" itu mengalir? "Satu-satunya yang mungkin menjadi pembeli adalah perusahaan listrik pemerintah Suriah," kata David Butter, pengamat urusan Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, London.
Menurut Butter, minyak mentah dan produk yang sudah diolah dibawa dengan truk atau tanker ke Kota Manbij, timur Aleppo. Dari sana, minyak mentah dibawa ke tempat pengolahan di perbatasan dengan Turki, baru kemudian dijual.
Informasi lain menyebutkan, dari Suriah, minyak itu diselundupkan ke Turki, Iran, atau Kurdistan. Pengusaha Irak dikabarkan membeli "minyak haram" ini. Shwan Zulal, analis energi yang mengamati kawasan Kurdistan dan Irak di Carduchi Consulting di London, menambahkan informasi adanya pasar gelap di Yordania yang menampung minyak dari kawasan konflik di Irak dan Suriah.
Meski mendapat suntikan besar dari minyak gelap, Negara Islam tetap tak optimal dalam mendapatkan keuntungan dari ladang minyak yang mereka kuasai. Menurut Rami Abdel Rahman, Direktur Syrian Observatory for Human Rights yang bermarkas di London, minyak mereka hanya dibeli US$ 20-40 per barel. Padahal harga normal di pasar dunia sekitar US$ 100.
"Mereka memberikan diskon besar-besaran, sehingga hanya mendapat bagian kecil," ujar Michael Knight, ahli Timur Tengah di Washington Institute for Near East Policy. Adapun harga jual untuk penduduk lokal malah hanya US$ 12-18 per barel. "Untuk menarik dukungan warga lokal," kata Abdel Rahman.
Selain itu, ladang yang mereka kuasai tak berproduksi maksimal. Ladang minyak dan gas di Suriah dan Irak butuh perawatan yang tak begitu dimengerti oleh orang-orang Abu Bakar al-Baghdadi. Banyak pula ladang yang rusak akibat pertempuran, padahal mereka tak memiliki cukup teknisi untuk memperbaikinya. Mereka memang telah merekrut sejumlah insinyur muda untuk menanganinya, tapi itu tak cukup untuk membuat ladang beroperasi sempurna.
Pengamat politik Uni Emirat Arab yang tinggal di Suriah, Hassan Hassan, mengutip perdana menteri yang membelot, Riad Hijab, mengatakan Negara Islam hanya mampu mengolah 10 persen minyak yang tadinya dikelola pemerintah Damaskus. Hal itu masih ditambah adanya "gangguan" dari pemerintah Irak, yang menjadikan truk pembawa minyak "milik" Negara Islam sebagai salah satu target serangan.
Apesnya, pesawat-pesawat Amerika juga telah bergerak menyerang konvoi truk itu. Tiga pekan lalu, pemerintah Barack Obama telah menyetujui serangan udara ke kelompok Negara Islam. Pekan itu milisi Negara Islam telah mendekati Erbil, ibu kota Kurdi, yang menjadi pusat perusahaan minyak Amerika dan terdapat kantor konsulat jenderal Amerika.
Untuk jangka panjang, kemampuan Negara Islam untuk terus menyedot "emas hitam" dan menjadikannya sebagai sumber dana utama juga belum jelas. Selain kekurangan teknisi untuk memperbaiki kerusakan, mereka tak memiliki infrastruktur yang lengkap buat mendukung pengoperasian kilang minyak. Salah satunya adalah ketersediaan air. Sebab, menurut David Butter, kilang minyak membutuhkan banyak air. Padahal infrastruktur air di Deir al-Zor dan daerah Irak yang mereka kuasai kacau. Jadi sulit bagi Negara Islam untuk mempertahankan operasi ladang minyaknya.
Rintangan lain adalah bila muncul dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar akibat kilang yang bermasalah. Misalnya ketika pipa dari ladang di Kirkuk menuju tempat pengolahan di Baiji bocor, minyak mengotori Sungai Tigris. Dukungan masyarakat setempat, bila ada, akan menghilang. Maka banyak yang skeptis bahwa Negara Islam akan "berkibar" lama.
Daveed Gartestein-Ross, ahli terorisme di The Foundation for Defense of Democracies, memastikan pendapatan dari minyak akan cepat habis hanya untuk "menyuap" para pemimpin suku dan mitra koalisi serta membayar operasi harian mereka. Tapi rupanya niat Negara Islam tak sekadar meraup modal dari ladang minyak. "Kawasan Arab akan membara. Sumur dan jalur suplai minyak ke Barat akan kami ledakkan," demikian ancaman Negara Islam yang dimuat di media mereka, Tarjuman al-Asawirty.
Purwani Diyah Prabandari (The Daily Star, Foreign Policy, Al Arabiya News, RT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo