Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pintu Baru Irak Telah Membuka

Tiada lagi sokongan, Perdana Menteri Nuri al-Maliki akhirnya mundur. Penggantinya menerima warisan pekerjaan rumah mahaberat.

25 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar tak diduga datang dari Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki. Dalam sebuah pidato yang disiarkan televisi, Kamis dua pekan lalu, ia menyatakan mundur dari jabatannya. "Saya menarik pencalonan saya dan memberikan jalan kepada saudara saya, Dr Haidar al-Abadi, demi kepentingan Irak dan rakyat," kata Maliki, yang didampingi calon penggantinya, Haidar el-Abadi.

Keputusan itu terhitung di luar perkiraan. Hingga hari sebelumnya, ia masih berkeras akan bertahan di kursinya. Sudah menjadi perdana menteri selama delapan tahun, dalam satu pidato ia juga menekankan tekadnya untuk menggugat Presiden Irak Fuad Massoum. Massoum dinilai melanggar konstitusi karena menunjuk Abadi, rekan separtainya di Partai Dawa Islam yang mayoritas pendukungnya Syiah, menjadi perdana menteri dan diminta segera membentuk kabinet. "Saya pastikan pemerintah akan terus dan tak akan ada penggantian tanpa ada putusan pengadilan federal," katanya.

Penegasan itu terus dia ulang karena selama ini tekanan agar mundur kerap ia terima. Amerika Serikat, yang terus membantu Irak sejak penggulingan Saddam Hussein pada 2003, terhitung yang paling gencar mendesak. Washington selalu menuding Maliki salah urus dalam tubuh militer dan, yang lebih parah, "menyingkirkan" kelompok minoritas, terutama komunitas muslim Sunni yang dulu berkuasa, dalam pemerintahannya.

Kelompok minoritas memang terus menyuarakan kekecewaan terhadap Maliki. Selama dua periode kepemimpinannya sejak 2006, pria 64 tahun ini dituding oleh komunitas Sunni bukan hanya tak merekrut orang-orang Sunni dalam jajaran pemerintahannya, melainkan juga memenjarakan ribuan orang Sunni.

Dengan komunitas Kurdi, ia juga jarang akur. Masyarakat Kurdi dan Bagdad tak pernah bersepakat dalam urusan pembagian pendapatan dari minyak.

Tekanan Washington terhadap Maliki menguat setelah jatuhnya kota terbesar kedua di Irak, Mosul, ke tangan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah/al-Sham), yang kini menjadi IS (Negara Islam), pada Juni lalu. Pemerintah Barack Obama bahkan memberi syarat untuk bantuan dalam menghadapi kelompok yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi ini: terbentuknya pemerintahan yang inklusif.

Irak memang sedikit demi sedikit berkurang wilayahnya akibat dicaplok Negara Islam, yang dibentuk tahun lalu, yang cikal-bakalnya adalah Al-Qaidah di Irak. Setelah menguasai Mosul, milisi yang memanfaatkan sentimen Sunni ini semakin brutal. Ratusan ribu rakyat Irak terpaksa mengungsi mencari selamat. Pekan lalu, Negara Islam bahkan mengeluarkan video pemenggalan wartawan Amerika, James Foley, yang mereka tangkap di Suriah pada 2012.

Dengan semua tekanan itu, Maliki tak surut langkah. Ketika Iran sebagai sekutu besar lain yang selalu mendukungnya itu ikut mendesak, ia mengabaikannya. Bulan lalu, Jenderal Qassem Soleimani, komandan pasukan khusus Iran, Al-Quds, menemui Maliki dan membujuknya mundur. Tapi jawabannya: koalisi partainya menduduki kursi terbanyak di parlemen pada pemilihan umum April lalu, sehingga dia berhak membentuk pemerintahan.

Yang juga dia abaikan adalah seruan "lunak" pemimpin tertinggi Syiah di Irak, Ayatullah Ali Sistani. Bulan lalu Sistani membuat surat dengan tulisan tangan, menyerukan mufakat dalam penggantian Maliki. "Saya melihat perlunya percepatan pemilihan perdana menteri baru," kata Sistani dalam surat yang dipublikasikan sehari sebelum Maliki mundur itu.

Menurut Sistani, perdana menteri baru haruslah seseorang yang diterima semua pihak dan mampu bekerja sama dengan para pemimpin politik kelompok etnis dan agama yang ada untuk menyelamatkan negeri dari bahaya terorisme, perang sektarian, dan terpecah-belahnya bangsa. Seruan ini langsung mendapat respons dari komunitas Syiah dan Partai Dawa, dan muncullah nama Haidar al-Abadi.

Namun Maliki masih bertahan. Empat hari sebelum menyatakan mundur, ia malah mengerahkan pasukan di sekitar kompleks pemerintahan di pusat Bagdad yang biasa disebut zona internasional. Tindakan yang memunculkan praduga dia akan melawan demi mempertahankan posisinya-meski militer menyebutnya sebagai pengamanan biasa.

Hari-hari itu Bagdad begitu "riuh". Washington dan Teheran seolah-olah tak henti saling menelepon. Akhirnya, Senin dua pekan lalu, Fuad Massoum resmi menominasikan Abadi sebagai perdana menteri. "Negeri ini ada di tangan Anda," kata Massoum kepada Abadi.

Hari itu juga Obama berpidato mengucapkan selamat atas penunjukan Abadi. "Satu-satunya solusi yang ada bagi rakyat Irak adalah bersatu dan membentuk pemerintahan yang inklusif," ujar Obama dari tempat liburannya di Martha's Vineyard, Massachusetts.

Para pemimpin Iran pun mengikuti langkah Obama. Sehari kemudian Dewan Keamanan ikut "meneror" dengan menyeru Abadi sesegera mungkin membentuk pemerintahan. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, juga mengungkapkan dukungan. "Saya berharap perdana menteri baru di Irak akan membuka hubungan dan memimpin pembentukan pemerintahan baru serta memberikan pelajaran kepada siapa pun yang bertujuan makar di Irak," kata Ayatullah Ali Khamenei, seperti dinyatakan dalam pernyataan di situs dia.

Terakhir, Sistani menyerukan hal yang sama. Ia mempublikasikan surat yang dia buat sebulan sebelumnya. Maliki pun kehilangan "pegangan". Kamis malam, ia membuka pintu bagi Abadi dan pemerintahan baru di Bagdad.

l l l

Haidar al-Abadi, 62 tahun, bukanlah sosok baru di Bagdad. Doktor dari Universitas Manchester ini telah terjun ke politik sejak muda. Pada usia 15 tahun, ia bergabung dengan Partai Dawa, partai Syiah yang merupakan oposisi Partai Baath pimpinan Saddam Hussein. Saat itu Baath belum begitu "berkuasa".

Ketika Saddam mulai "unjuk kuasa" dengan menangkapi dan membunuh para aktivis Partai Dawa, Abadi, yang sedang belajar di London, memutuskan tak pulang. Ia tetap aktif di Partai Dawa. Di Irak, pada awal 1980-an, dua saudaranya dieksekusi oleh rezim Saddam. Satu saudara lagi dipenjara selama 10 tahun.

Baru setelah Saddam jatuh dalam invasi Amerika pada 2003, ia pulang. Pria yang dikenal sebagai teknokrat ini sempat menjabat menteri informasi, kemudian menjadi anggota parlemen hingga sebelum ditunjuk menjadi perdana menteri.

"Dia orang yang mempertimbangkan segalanya," kata Salman al-Jumaili, mantan anggota parlemen yang merupakan orang Sunni dan pernah bekerja dengan Abadi. "Dia tidak agresif karena tidak memiliki latar belakang militer di Partai Dawa."

Itulah yang dicari untuk Irak yang sedang tercerai-berai dan ditambah lagi dengan sepak terjang milisi Abu Bakar al-Baghdadi yang kian menggerogoti keutuhan negara. Tugas yang begitu berat menghadangnya. Seorang anggota parlemen berbisik kepadanya saat menyalaminya ketika ditunjuk menjadi perdana menteri. "Semoga Tuhan membantumu."

Dalam pidatonya, Abadi menegaskan soal keras tersebut. "Kita semua harus bekerja dalam melawan kampanye teroris di Irak dan menghentikan semua kelompok teroris," katanya.

Untuk itu, Abadi harus menunjukkan bahwa dia merangkul semua pihak di Irak, termasuk kelompok minoritas, dalam pembentukan kabinet. "Semua tergantung langkah pertamanya. Siapa menjadi menteri pertahanan, menteri dalam negeri. Seberapa besar otonomi bisa dia berikan kepada komunitas Sunni," kata Colin Kahl, mantan pejabat Pentagon yang mengurusi Timur Tengah.

Abadi sedikit beruntung telah mengantongi modal awal. Masyarakat internasional menyokongnya. Amerika, meski masih ribut di Washington tentang sejauh mana mereka akan menyokong, jelas menambah bantuan. Eropa juga bergerak. Prancis, Inggris, Jerman, Republik Cek, Belanda, dan Kanada menyatakan akan mengirim senjata untuk pasukan Kurdi atau setidaknya mempertimbangkannya. Kanada tak ketinggalan. "Kanada tak akan diam melihat Negara Islam terus membunuhi warga sipil dan kelompok agama minoritas," kata Perdana Menteri Stephen Harper.

Bantuan keuangan dari berbagai negara, termasuk Arab Saudi, Kuwait, dan Jepang, juga mengalir lewat Amerika untuk Irak.

Sedangkan dari dalam negeri, kelompok minoritas memberi isyarat positif. Seorang tokoh Sunni, Ali Hatem Sulaiman, telah menyatakan kemungkinan warga Sunni ikut mengangkat senjata bersama pasukan Irak dan Amerika menghadapi milisi Al-Baghdadi.

"Jalan kita tak akan mudah.... Berbagai tantangan serius menghadang. Tapi kita akan mengatasinya dengan persatuan, kerja sama, dan gandeng tangan," demikian tulisan pada akun Facebook Abadi.

Purwani D. Prabandari (Al Arabiya, The Guardian, AP, France24)


Minoritas yang Terus Terancam

Karim baru hendak sarapan ketika teleponnya berdering. Seorang kawannya menanyakan kabar pria yang bekerja dengan tentara Amerika di kawasan Sinjar yang tak jauh dari perbatasan Irak-Suriah ini. Maklum, beredar kabar bahwa warga Yazidi menjadi target Negara Islam (Islamic State/IS). Malam sebelumnya terjadi baku tembak yang menewaskan sekitar lima orang.

"Saya tidak tahu. Saya baik-baik saja... tidak… tidak baik," sahut pria Yazidi ini, tiga pekan lalu. "Sinjar di bawah kekuasaan IS."

Karim kemudian pergi ke rumah ayahnya, yang telah memberi tahu bahwa orang-orang mulai meninggalkan Sinjar melewati pegunungan, menuju Kurdistan. Ia langsung memutuskan bergabung. Bersama istri dan tiga anaknya yang masih bocah serta keluarga besarnya, ia mengungsi ke Dohuk. Demi keamanan, mereka bergabung dalam konvoi sekitar 300 mobil dari Sinjar.

Hari-hari berikutnya luas tersiar kabar nasib warga Yazidi semakin buruk. Negara Islam terus memperluas kekuasaannya di daerah Yazidi. Akibatnya tentu semakin banyak warga mengungsi. Bahkan ada kabar sekitar 30 ribu warga Yazidi terjebak di pegunungan dan sewaktu-waktu terancam sergapan milisi Abu Bakar al-Baghdadi itu. Mereka terancam kelaparan. "Agama ini dimusnahkan dari muka bumi," kata satu-satunya orang Yazidi yang duduk di parlemen Irak, Vian Dakheel, dengan emosional.

Masyarakat internasional tergerak. Amerika Serikat, selain memberikan bantuan logistik, mengirimkan pesawat tempurnya untuk menggempur milisi Negara Islam. Bantuan juga datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara lain.

Komunitas Yazidi adalah salah satu komunitas minoritas di Irak. Yazidi merupakan agama tua, campuran dari berbagai agama, yakni Zoroastrianisme dengan agama-agama belakangan, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Kaum Yazidi meyakini satu tuhan yang diwakili tujuh malaikat. Salah satu malaikat adalah Malak Tawous, yang dikirim ke bumi setelah menolak memberikan penghormatan kepada Adam. Kaum muslim menyebut malaikat yang disimbolkan dengan burung merak ini setan. Itulah kenapa pengikut Abu Bakar al-Baghdadi menyebut Yazidi sebagai penyembah setan.

Jumlah komunitas Yazidi di seluruh dunia hanya 700-an ribu. Mereka tersebar di Irak bagian utara, Suriah, dan Turki tenggara. Ada yang tinggal di Kaukasus, Eropa, dan Amerika. Di Irak diperkirakan lebih dari 500 ribu orang-lebih dari 200 ribu telah meninggalkan tanahnya, mengungsi.

Dalam sejarah kehidupan Yazidi, "pemberangusan" merupakan pengalaman yang tak asing. Menurut Vian Dakheel, sejauh ini telah terjadi 72 kali upaya genosida. Dari masa kekuasaan Mongolia pada abad ke-12 hingga saat kekuasaan kekaisaran Usmaniyah pada 1640-1910, juga pemerintahan Irak hingga 2003 saat tergulingnya Saddam Hussein. Dalam tragedi Agustus 2007 pun, 800-an orang Yazidi menjadi korban bom "bunuh diri". "Di Irak, tak ada perdamaian bagi Yazidi," kata Ali, penganut Yazidi yang meninggalkan Sinjar untuk mengungsi ke Lalish. Tapi mereka terus bertahan.

Purwani D. Prabandari (The New Yorker, Washington Post, Al Arabiya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus