Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alarm tanda bahaya seolah berdengung di Istana Elysee setelah hasil pemilihan umum regional di Prancis diumumkan pada Ahad, 28 Maret lalu. Partai Persatuan untuk Gerakan Populer (UMP)ini partai pendukung Presiden Prancis Jacques Chirackalah telak. Kubu UMP dilibas habis-habisan oleh Partai Sosialis yang beraliansi dengan Partai Komunis dan Partai Hijau. Mereka merebut 24 dari 26 parlemen daerah di seantero Prancis.
Akibatnya, Perdana Menteri Jean-Pierre Raffarin mengundurkan diri pada Senin pekan lalu. Selang sehari, Chirac kembali menunjuk Raffarin untuk memimpin kabinet baru. Nah, di sinilah biang kerok itu bermula.
Raffarin bukan saja tidak populer di mata rakyat Prancis, tapi juga dipandang membikin susah warga negeri itu. Pasalnya, dia nekat menyunat dana pensiun dan kesehatan publik demi menyelamatkan angka defisit anggaran. "Ini (penunjukan kembali Raffarin oleh ChiracRed.) adalah kesalahan besar," kata Francois Hollande, pemimpin Partai Sosialis.
Sejak Raffarin menjabat perdana menteri pada 2002, Prancis mulai terbelit masalah. Ekonomi nyaris mandek, pengangguran melejit ke 9,6 persen (21 persen untuk penduduk di atas 25 tahun), defisit anggaran menggelembung. Padahal Prancis terikat dalam agenda Uni Eropa yang membatasi defisit anggaran negara anggota: tak boleh lebih dari 3 persen. Alhasil, Raffarin menggeber reformasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan Uni Eropa.
Celakanya, aksi sang Perdana Menteri terlalu agresif. Dia nekat mengutak-atik sektor pelayanan publik yang amat sensitif bagi rakyat Prancis: pendidikan, kesehatan, dan dana pensiun. Tiga sektor ini memang amat menyedot anggaran pemerintah. Dan Raffarin memenggalnya. Maka rakyat Prancis, dari buruh hingga dosen, meneriakkan protes lewat aksi demonstrasi untuk menentang kebijakan reformasi tersebut.
Amarah di jalanan itu kian menemukan bentuknya melalui pemilu regional. Rakyat Prancis membikin Partai UMP kalah telak. Sekitar 60 persen pemilih menyatakan bahwa pemilu itu menjadi ajang mereka menyalurkan kekecewaan dan kemarahan terhadap pemerintah yang telah memotong anggaran untuk sektor publik. "Saya merasa sektor publik Prancis telah disabotase," kata Elsa Ouinette, seorang warga Paris.
Bagi pemimpin faksi Sosialis di parlemen, Jean-Marc Ayrault, pesan rakyat kebanyakan semacam Elsa Ouinette ini adalah penolakan yang jelas dan tak cuma ditujukan kepada Raffarin, tapi juga terhadap Presiden Chirac. Koran ekonomi La Tribune menyebut kekalahan partai konservatif sebagai awal dari masa-masa akhir Chirac.
Berbagai suara menuntut Presiden mundur serta dilaksanakan percepatan pemilihan presiden yang seharusnya berlangsung pada 2007. Tapi Chirac bergemingmalah membentuk kabinet baru. "Ini menunjukkan Presiden sama sekali tuli terhadap pesan rakyat Prancis lewat pemilu," kata Laurent Fabius, bekas menteri keuangan dari kubu Sosialis.
Kalangan konservatif Prancis sebetulnya menyimpan nama yang dianggap lebih andal untuk mengobati ekonomi Prancis: Nicolas Sarkozy. Dia bekas menteri dalam negeri kabinet Raffarin. Tapi para pengamat menduga Chirac lebih suka mengangkat Raffarin karena Sarkozy secara terbuka pernah menyatakan niatnya untuk mengincar kursi presiden pada Pemilu 2007. Niat Sarkozy ini dianggap membuka front terhadap Chirac yang sudah mengelus jagonya, bekas perdana menteri Alain Juppe, sebagai kandidat presiden.
Chirac memberikan waktu pada Raffarin 100 hari untuk memulihkan kondisi. "Reformasi harus berlanjut karena dibutuhkan," ujar Raffarin. Toh dia mengakui, kebijakan tertentu harus dibuat lebih efisien dan fair. Dia berjanji melanjutkan program reformasi "Agenda 2006". Seberapa besar peluang keberhasilan Raffarin? Banyak pihak meragukannya. Tapi analis politik Paul Bacot menilai kebijakan Chirac mempertahankan Raffarin lebih baik daripada menunjuk orang baru. "Jika Anda terpaksa melewati jalanan penuh lubang, mendingan naik mobil rombeng ketimbang mobil baru," katanya.
Alhasil, menurut Bacot, Raffarin yang sudah babak-belur itu cukup bermanfaatlah bagi Chirac untuk menambal reformasi ekonomi Prancis yang kini tengah bocel-bocel.
Raihul Fadjri (The Guardian, The Economist, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo