Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VALINA Singka Subekti terus menelepon kantor-kantor Komisi Pemilihan Umum di sejumlah daerah. Waktu terus merayap mendekati lewat tengah malam. Tapi anggota Komisi Pemilihan Umum itu, dibantu dua staf sekretariat, dari kantor pusat KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, seperti ingin menghabiskan pekerjaan malam itu juga. Valina mengecek kesiapan bahan-bahan logistik pemilihan umum, yang banyak dikeluhkan terlambat sampai di daerah.
Valina kebagian piket Rabu malam lalu itu. Dan biasanya ia akan beranjak pulang lewat tengah malam. Sebelum itu, lampu-lampu di ruang rapat tempatnya bekerja menyala terang-benderang. Berkas-berkas data tertumpuk dan memencar di meja dan lantai berkarpet biru itu. Telepon, speaker, komputer, dan printer tersusun di atas meja. Bunyi ketikan pada keyboard komputer dan desis mesin printer laser meningkahi suara pembicaraan telepon itu.
Meski pelupuk matanya mulai berat menahan kantuk, Valina, Ketua Penyelenggara Jasa Logistik Pemilu KPU, sempat menolak TEMPO saat hendak mewawancarainya. "Masih banyak yang harus dicek," kata perempuan berkerudung itu.
Hari-hari terakhir menjelang coblosan ini, suasana KPU memang terlihat lebih sibuk dan tegang. Para anggota KPU semakin irit bicara kepada wartawan. Beberapa orang malah memilih mengurung diri di ruangannya sambil terus mengecek perkembangan logistik. Rapat evaluasi dilakukan setiap hari. Pulang lewat tengah malam seperti menjadi ritual baru. Maklumlah, berita tentang keterlambatan distribusi logistik pemilu telah menyita perhatian hampir seluruh warga Indonesia. Media massa tak hentinya memajang headline, bahkan sejak dua pekan lalu.
Ketegangan juga meningkat di lingkungan pemerintahan, terutama di lantai II gedung Departemen Dalam Negeri di Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Presiden Megawati Soekarnoputri telah menunjuk Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno untuk menangani jadwal logistik ini. Di ruang pantau Desk Pemilu itu, para staf Departemen Dalam Negeri harus memelototi dan memantau perkembangan pemilu 24 jam. Hari Sabarno pun harus melapor ke Istana hampir setiap hari. Mundurnya pemilu memang bisa jadi kondite buruk bagi pemerintah Megawati. Itu sebabnya Sabarno dan stafnya bekerja all-out.
Suasana yang sama juga terlihat di lantai lima Gedung Rupatama Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Di Ruang Kendali Operasi, ada sebuah TV layar datar di dinding yang tersusun dari puluhan TV ukuran 21 inci. Di samping kiri-kanan layar itu, puluhan televisi dipasang berkelompok sesuai dengan tiga pembagian waktu di Indonesia. Peralatan telekonferensi pun terpasang. Dari sana, pemantauan situasi keamanan dan logistik pemilu dilakukan.
Pemantauan habis-habisan ini memang tindak lanjut dari perintah Presiden Megawati untuk menyukseskan pemilu. Mega secara lisan juga telah memerintahkan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra supaya menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) jika tiba-tiba pemilu tak dapat dilaksanakan serentak pada 5 April. Perpu itu memang payung cadangan, karena yang menyelenggarakan pemilu adalah KPU. "Perpu itu hanya untuk siap-siap jika ada permintaan dari KPU," kata Yusril.
Dan agaknya perpu memang bakal diperlukan. Awalnya, KPU percaya diri bahwa pemilu bakal serentak pada 5 April. Tapi Senin pekan lalu mereka goyah. Setelah membahas masalah logistik dalam rapat maraton pekan lalu, KPU mulai mengindikasikan bahwa hari pencoblosan kemungkinan akan ditunda di beberapa daerah. "KPU memang menabrak Undang-Undang Pemilu No. 12/2003," kata Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin. Undang-undang itu mengatur bahwa logistik sudah harus sampai sepuluh hari menjelang pencoblosan, tepatnya 26 Maret. Dan itulah yang tidak bisa dipenuhi KPU.
Soal utama tentu surat suara. Semua percetakan sudah diminta menuntaskan pekerjaannya pada 10 Maret lalu untuk 660 juta surat suara. "Jadi, selambat-lambatnya 25 Maret semua surat suara sudah terdistribusi hingga ke tempat pemungutan suara," kata Chusnul Mar'iyah, Ketua Divisi Logistik. Ternyata belum semua percetakan bisa mencetak pada 10 Maret. Sebab, master film yang dijadwalkan selesai 13-14 Februari belum selesai dibuat.
Akibatnya, seperti dipantau tim TEMPO, distribusi surat suara di beberapa daerah tak merata. Surat suara DPRD kabupaten/kota di enam kabupaten di Nusa Tenggara Timur, dengan total 500 ribu, misalnya, baru selesai 60 persen. Surat suara untuk DPRD I dan DPD pun banyak yang kurang. "Hanya untuk DPR yang lengkap," kata juru bicara KPU NTT, Hanz Ch. Louk.
Di Sumatera Utara juga ada masalah. Di sana ditemukan belasan ribu kertas suara yang sudah dilubangi. Hal ini ditemukan di Kabupaten Dairi. Uniknya, kertas-kertas suara itu dilubangi dengan berbagai variasi. Ada yang berlubang tepat di kotak Partai Persatuan Pembangunan atas nama Amir Hamzah. Ada pula yang berlubang pada calon legislatif dari Partai Merdeka dan Partai Bulan Bintang.
Di Pacitan, daerah bergunung-gunung yang paling sulit dijangkau di Jawa Timur, kesulitan yang bakal terjadi adalah soal pengiriman data hasil penghitungan suara dari panitia pemungutan suara ke panitia pemilihan kecamatan. Di daerah-daerah terpencil, petugas harus berjalan kaki membawa data itu. Selain Pacitan, daerah di Jawa Timur yang sulit dijangkau adalah pulau-pulau kecil di perairan Selat Madura. Untuk itu, Direktorat Satuan Polisi Air dan Udara Polda Jawa Timur mempersiapkan tujuh speed boat.
Namun, di Pulau Bawean dipastikan data hasil pemilu akan terlambat karena komputer kiriman KPU selalu gagal terkoneksi dengan komputer data center milik KPU Pusat.
Ada lagi: surat suara untuk Jawa Timur VI justru sebagian nyelonong ke Kabupaten Brebes di Jawa Tengah. "Tapi, kalau di Jawa, penyelesaiannya mudah," ujar Valina.
Di daerah konflik juga banyak kendala. Sepekan terakhir menjelang pencoblosan, Poso kembali diliputi ketegangan. Senin pekan ini Poso memanas gara-gara penembakan dua warga sipil. Sampai kini puluhan ribu surat suara dan logistik pemilu lainnya tertahan di Ampana, ibu kota Kabupaten Tojo Una-una. Kendalanya, jadwal kapal menuju kepulauan itu baru berangkat tepat 5 April nanti. Bantuan dari aparat hingga kini masih ditunggu.
Di Aceh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, mengkhawatirkan pemilu tak bisa berlangsung di 52 desa karena alasan keamanan. Tapi Penguasa Darurat Militer Aceh, Mayjen TNI Endang Suwarya, hanya mengakui 48 desa yang rawan, itu pun sudah ada solusi untuk 5 April. "Mereka (penduduk—Red.) akan diboyong ke TPS-TPS terdekat," kata Endang.
Semoga solusi yang tepat. Tapi, dengan berbagai kendala, kelihatannya ada sejumlah daerah yang tidak bisa melaksanakan pemilu pada 5 April. Di daerah-daerah itu akan dilakukan pemilu lanjutan. Karena itu, Senin lalu KPU meminta pemerintah dan DPR mengeluarkan payung hukum untuk mengantisipasi pemilu lanjutan di daerah yang kiriman logistiknya terlambat. "Mau perpu atau keputusan presiden terserah, yang penting payung hukum," kata Nazaruddin.
Namun, permintaan itu kemudian "direvisi". KPU melihat peluang untuk menyelenggarakan pemilu serentak pada 5 April 2004. Jika pun ada keterlambatan, paling-paling hanya sehari—itu pun, menurut Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, jika proses distribusi logistik mengalami sesuatu yang tidak bisa dihindari (force majeure). Kalau itu yang terjadi, KPU cukup mengeluarkan surat keputusan, dan bukan perpu atau keputusan presiden.
Sikap KPU yang "mendua" ini dikritik partai politik yang tetap menginginkan pemilu serentak pada 5 April. Bila KPU meminta perpu, kata Roy B.B. Janis dari PDI Perjuangan, "Itu namanya faith accompli untuk menutupi kesalahan."
Rupanya, agar tak dituduh menutupi kesalahan, Valina dan kawan-kawan rela begadang bermalam-malam.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Agus Raharjo (Pacitan), Jems de Fortuna (Kupang), Yuswardi A. Suud (Aceh), dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo